Sweet and Witch

salsabiloved tarafından

2K 471 138

Melvin yang dikenal sebagai siswa yang ramah itu hanya bersikap ketus kepada Shaina. Tidak ada yang mengetahu... Daha Fazla

Prolog
Cast (Updated)
one
two
three
four
five
six
seven
eight
nine
eleven
twelve
thirteen
fourteen

ten

99 22 4
salsabiloved tarafından

Happy reading

***

Di tengah perjalanan menuju rumah sakit, Ryan membuka percakapan. "Siapa yang dirawat?"

Shaina menaikkan alis sebentar. Jika Ryan tidak mengetahui kondisi Julia, berarti Mamanya itu memang merahasiakannya. Mungkin juga, Julia belum memberitahukan. Namun, Shaina tidak tahu sumber informasi yang didapat pasangan yang kemarin di depan ruang rawat Julia, hingga keduanya berani menemui gadis itu dan Julia.

"Mama gue," jawab Shaina, masih berkutat dengan ponsel miliknya.

"Tante Julia sakit? Kalau gitu gue harus ikut lo, njengukin Tante Ju."

Lewat center mirror, Ryan menantikan jawaban dari gadis yang terpantul di sana.

"Kalau mau jenguk, jangan bareng sama gue."

Shaina malas jika nanti Julia menganggapnya sudah menerima rencana pendekatan dia dan Ryan. Lagipula, dia telah membuat janji dengan laki-laki yang sudah menunggunya di sana.

Beberapa saat kemudian, Shaina jengah mendengar celotehan Ryan yang tiada henti. Karena muak, Shaina berdecak. Gadis itu malas meladeni--atau sekedar menerima masuk suara Ryan di indra pendengarannya. Orang yang sedang mengemudi itu hanya membicarakan sesuatu yang membosankan di telinga Shaina.

Lima detik sempat terdiam, Ryan membuka mulutnya kembali. "Si Melvin makannya apa, sih, pinter banget dia. Kemarin aja gue diajarin pelajaran geografi sama dia. Dia anak IPA kan? Gue sebagai senior dia jadi minder," ucap Ryan diakhiri tawa. Jarinya tergerak menyisir rambutnya. "Tapi, tetep gue lebih cakep."

"Gue turun di sini kalau lo masih buka mulut."

Bukannya terdiam, Ryan justru lanjut mengajak orang yang duduk di kursi belakang melanjutkan perbincangan sepihak nya. "Princess, kenapa lo segitunya ngejar-ngejar Melvin? Padahal kan pasti banyak yang mau sama lo."

"Cowok playboy, gue blacklist."

Mata Ryan bergantian melirik center mirror lalu ke kondisi jalan di depannya. Karena jam pulang sekolah, jalan beraspal yang dilalui cukup ramai. Gadis di belakangnya itu pintar sekali membuat mentalnya tersentil hanya dengan kata-kata.

"Emang lo tau si Melvin nggak playboy? Siapa tahu hide cewek dia banyak. Dia cakep, pinter, si Kenza aja masih ngotot dapetin si Melvin."

"Gue cuman mau Melvin," ucapnya sambil memainkan ponsel.

"Anjir, Princess Sha udah buta akan cinta."

Cinta? Shaina benci mendengar kata itu. Mengapa orang-orang dengan mudah mengatakannya untuk menunjukkan ketulusan kepada pasangan mereka. Seolah itu adalah kebahagiaan terbesar dalam hidup. Bagi Shaina, hanya pengkhianatan dan rasa sakit yang akan ada di dalamnya. Merasa dicintai, harus siap juga menjadi yang tersakiti.

Tersenyum miring, Shaina mulai mengangkat kepalanya. "Shut up!"

Ryan memilih fokus kembali ke kemudinya, tidak ingin membuat Shaina kesal lagi. Banyak wanita yang sudah ditemui Ryan, dan dia tidak segan untuk menggoda dan menjadikan mereka kekasih. Namun, baru Shaina yang membuatnya tidak berkutik ketika berhadapan ataupun bedebat dengannya. Bukan rasa takut, tetapi Shaina selalu saja punya balasan yang terkadang menjadi boomerang sendiri baginya.

Beberapa menit di perjalanan, mereka sampai di tempat yang dituju, Ryan menghetikan mobilnya. Selama itu juga, Ryan menahan diri untuk mengeluarkan perkataannya.

"Tante Ju dirawat di sini juga?"

Belum sempat membukakan pintu mobil untuk Shaina, gadis itu turun terlebih dahulu dengan langkah cepat. Ryan pun hanya bisa mengangkat sudut bibirnya dengan paksa--mencoba bersabar.

Sesaat Ryan baru duduk kembali di kemudinya, Shaina yang telah melangkah tiga langkah dari tempat sebelumnya, tiba-tiba memutar arah ke mobil Ryan dan mengetuk-ngetuk kaca mobil hingga terbuka.

"Kenapa? Mau ditemenin, Princess? Sekalian gue nengokin temen baru gue."

Shaina enggan memikirkan apa yang dimaksud Ryan. Dia menyeringai dan berkata, "Gue lupa kasih tahu lo. Pak Diman itu sopir pribadi gue."

Ryan sama sekali tidak marah kepada gadis itu, dia tertawa keras seraya memperhatikan langkah Shaina hingga masuk pintu lobi.

"Oh, sopir dia namanya Pak Diman." Dia terkekeh geli. "Anjir, gue disamain sama sopir itu," gumamnya meninggalkan pelataran rumah sakit.

Setelah memasuki gedung rumah sakit, Shaina mengedarkan pandangan, mencari keberadaan laki-laki menjengkelkan itu. Tidak butuh waktu lama, Melvin terlihat di antara orang-orang yang duduk di kursi panjang di dekat meja informasi. Laki-laki yang masih berseragam itu menunduk, menggerakkan jarinya di layar ponsel.

Dari dekat pintu lobi ini, Shaina bisa melihat Melvin. Orang yang ditatap belum sadar akan kehadirannya hingga laki-laki itu mulai berdiri.

Beberapa saat, dentingan terdengar dari ponsel Shaina.

Melvin

[Gue pergi.]

Shaina seketika mengangkat satu sudut bibirnya. Dia Menekan tombol hijau, menghubungi Melvin. Perlu beberapa detik untuk panggilan itu tersambung.

"Arah jam enam."

Melvin menoleh ke belakang, menghela napas ringan setelah melihat
Shaina melambaikan tangan, lalu menghampirinya. Kemudian, panggilan itu diputuskan sepihak oleh laki-laki itu.

Setelah berdiri di depan Melvin, Shaina langsung menarik lengan Melvin menuju pintu lift. "Ke ruang Mama gue langsung."

Pintu elevator terbuka. Beberapa orang yang di dalam berhamburan keluar. Kini giliran mereka berdua untuk menggunakannya.

Melvin melepaskan cekalan tangan gadis itu dari lengannya. Menggeser tubuhnya setengah langkah dari Shaina, laki-laki itu menjaga jarak. Melvin enggan membuat Shaina salah paham dan mengira dirinya sudah membuat ruang untuk Shaina lebih dekat dengannya.

"Iya, gue maafin." Suara lembut sekaligus tegas itu mengisi keheningan.

Shaina yang sedang menekan nomor lantai yang dituju pun mengerutkan dahi, memicingkan mata kepada orang di sampingnya. Dia menaikkan alis, merasa heran.

Melvin yang mendapat tatapan mata tajam seperti itu pun terlihat biasa saja. Menerawang lurus ke depan, meskipun hanya ada ruangan kosong dibatasi pintu besi.

"Saat lo bikin kesalahan sama orang, lo harus minta maaf."

"Gue?"

"Lo bikin gue nunggu di sini selama hampir empat puluh lima menit. Tiga puluh menit seharusnya cukup dari sekolah ke sini."

Sekitar satu jam lagi dia harus segera ke kafe milik Ryan. Itu bagian shift-nya di week day, dan jam kerja pukul sembilan pagi untuk hari akhir pekan. Biasanya dia akan datang lebih awal, tetapi disebabkan suatu alasan, dia datang telat beberapa menit.

Seperti dua hari sebelumnya, Melvin tiba di kafe agak mulur dari biasanya. Pasti hari ini juga dia akan terlambat. Walaupun Ryan tidak mempermasalahkan, tetap saja Melvin tidak enak hati. Apalagi dari awal Ryan sudah percaya padanya untuk bekerja paruh waktu di sana.

Melvin mengingat perkataan Ryan kemarin ketika dia sampai di kafe setelah dari rumah sakit. "Vin, santai aja, anjir. Lo kayak sama CEO perusahaan apa aja. Kita temen kali, mau lo ke kafe jam tujuh atau sepuluh malem, pintu kafe ini akan terbuka lebar buat lo."

"Tau nggak alasan gue minta lo kerja part time di sini? Lo cakep, pinter, rajin, Vin. Pengunjung kafe gue pasti rame. Mama gue juga pasti seneng produknya laku," ucap Dion ketika Melvin dua hari bekerja paruh waktu di sana.

Melvin terkadang heran, Ryan yang sebaik dan pengertian itu bermusuhan dengan Dion, sahabatnya. Hanya karena memperebutkan seorang perempuan, kebaikan mereka seperti hanya sifat yang sesaat.

"Lo ninggalin gue di parkiran. Nggak ada yang nyuruh lo buat stay di situ sampai gue datang."

Melvin menurunkan pandangannya, menatap netra Shaina dengan ekor matanya. "Kan lo yang butuh."

Shaina tertegun, merasa apa yang dikatakan Melvin itu benar. Seketika gadis itu lupa cara menelan ludah selama dua detik. Namun, dengan cepat Shaina berekspresi normal kembali. Hingga pintu besi itu terbuka, dan mengambil atensi Shaina yang tadi sempat mematung. Sedangkan Melvin, dia keluar terlebih dahulu.

Seorang perempuan yang terlihat masih muda terhenti ketika akan masuk menuju lift tempat Shaina berada. Mantan pacar dari Ryan ada di hadapannya. "Lo nggak mau turun?" tanya perempuan itu.

Menyadari siapa yang tadi keluar dari elevator, Bella menghentikan langkah Shaina. Laki-laki yang baru saja melewatinya itu mengatakan pada Dion kalau dia akan bekerja paruh waktu. Namun, sekarang justru kembali ke sini, dan dengan Shaina pula.

Bella berdecak. Lagipula dia juga tidak mengetahui di mana tempat yang akan dituju Melvin, untuk apa memikirkan hal itu. Anehnya, keberadaan Shaina justru membuatnya bertanya-tanya.

"Kenapa lo bisa bareng sama Melvin?"

Shaina melirik gadis di depannya sebentar. "Bukan urusan lo." Lalu, dia mengejar Melvin dan mengapit lengannya, tidak peduli dengan perempuan tadi. Shaina juga malas berbasa-basi dengannya.

"Adik kelas sekarang nggak ada sopan-sopannya sama senior," cibir Bella seraya memasuki elevator.

Berjalan di lorong rumah sakit, Melvin yang merasakan ada yang mengapit lengannya pun mencoba melepaskan walaupun hanya elakan yang didapat.

Shaina semakin mengeratkan cengkramannya. "Biar kelihatan natural."

Melvin untuk sekian kalinya menghela napas kasar. Kali ini saja, Melvin akan membiarkannya.

Setelah masuk ke ruang Julia dirawat, Shaina terdiam di daun pintu membelakangi Melvin. 

Mamanya dengan pakaian rapi, memakai blazer cokelat muda dengan kemeja putih, itu tengah membenarkan tatanan rambutnya di cermin yang berada di tembok, dengan bantuan asisten perempuannya.

Shaina terperangah, tidak habis pikir dengan sikap 'workaholic' Julia.

"Ma, udah mau kerja lagi?" tanya Shaina dengan ketus, masih di depan pintu. "Nggak sayang banget sama hidup." Gadis itu tersenyum kecut.

Melvin sempat heran dengan perilaku Shaina yang justru terdiam seperti tadi. Dia hanya menunggu sampai Shaina mempersilahkan dia untuk masuk. Karena sebelum sampai di ruangan beberapa menit yang lalu, Shaina menginteruksinya seperti itu. Kalau sudah begini, Melvin jadi bingung ingin melakukan apa. Alhasil, Melvin memutuskan untuk memasuki ruangan dengan telapak tangan yang bertautan dengan jari-jari Shaina.

"Shaina?" Julia baru menyadari kehadiran Shaina pun mendekati dan mencium pucuk kapala putrinya. "Mama ada hal yang harus diurus, klien Mama banyak yang nunggu. Kasian kan kalau rancangan busana mereka jadi tertunda," terang Julia disertai kekehan kecil.

Kembali, Shaina tersenyum kecut. Lelah dengan sifat Julia yang lebih mementingkan pekerjaannya daripada hal yang seharusnya Julia prioritaskan.

"Siapa itu, Sha?" tanya Julia begitu Melvin berdiri di samping Shaina.

"Dia pacar Sha." Menekan setiap kata yang diucapkan, Shaina ingin Julia mengerti apa yang dimaksudnya.

Menyadari Melvin masih berdiri kaku, dia memberi kode lewat ekor matanya, agar Melvin berbicara pada Julia.

Melvin mendekat ke sebelah Shaina, lalu tersenyum ramah kepada wanita paruh baya di depannya. "Saya Melvin, Tante."

Julia meneliti wajah Melvin, senyuman tulus yang wanita paruh baya itu tangkap dari sosok remaja gagah di depannya. Julia telah melihat banyak laki-laki tampan yang seumuran dengan putrinya, tetapi wajah tampan Melvin tentu saja tidak biasa. Bahkan, menurutnya, Ryan pun tidak mempunyai pesona sekuat itu.

"Ganteng banget ya, Sha."

Mendengar pujian dari Julia, membuat Shaina geli sendiri. Pasti banyak bertebaran laki-laki di luar sana yang lebih tampan dan tidak kaku seperti lelaki di sampingnya itu.

Tidak sadar ditatap oleh Shaina, Melvin mengeluarkan termos kecil seukuran botol mineral itu dari tas-nya, kemudian memberikannya pada Julia. "Minuman jahe, ibu saya yang buat, tante."

Sebelum menemui Shaina di lobi rumah sakit, Melvin memang berencana untuk mengunjungi Dion. Dari rumah, ibunya menyuruh Melvin untuk membawakan minuman jahe untuk sahabatnya itu.

Namun, Melvin akan memberikan kepada Julia, karena Dion sudah dibuatkan obat herbal oleh asisten rumah tangganya yang menjaga Dion di rumah sakit. Dan juga Dion tidak mau harus meminum minuman tidak mengenakkan itu lagi.

Julia tersenyum hingga matanya sedikit menyipit, dan menerima termos kecil itu. Wajah pucatnya sudah tidak terlalu terlihat, tertutup oleh riasan. Wanita itu berkata,  "Terima kasih banyak, Melvin. Pasti nanti Tante minum, buat daya tahan tubuh Tante."

Melvin juga ikut menyunggingkan senyum. "Sama-sama, Tante."

Seorang perempuan berusia tiga puluhan mendekati Julia. "Nyonya Ju, mobil kita sudah siap."

"Shaina, kamu jaga diri baik-baik, ya," pamit Julia, lalu dia berniat memeluk anaknya, sebelum Shaina menarik diri dan pergi keluar ruangan. Gadis itu meninggalkan Melvin yang canggung di hadapan orang tua Shaina.

Sikap anak dan ibu itu sangat berbeda jauh, seperti cermin. Terlihat sama, tetapi dengan terbalik.

Bukannya sedih karena Shaina menolak pelukannya, justru kalimat candaan yang keluar dari bibir Julia. "Melvin, kok kamu mau, sih, sama anak Tante."

"Terpaksa, Tante," ucap Melvin dalam hati. Dia tidak cukup berani mengatakan itu, dan akhirnya hanya senyuman yang bisa Melvin jadikan jawaban.

Julia yang melihat Melvin yang seperti itu pun ikut tersenyum, lalu memegang lengan Melvin. "Tolong jaga Shaina, ya. Tante tahu kamu anak baik," pesan Julia, lalu keluar dari ruangan sunyi itu, diikuti perempuan di belakangnya.

"Saya nggak janji, Tante," gumam Melvin setelah Julia melangkah jauh.

•------------------•-------------------•

Hai! Aku harap kalian menyukai bagian ini. Kalau kalian suka, jangan lupa tekan bintangnya, yaa.

Terimakasih.

>•<

Okumaya devam et

Bunları da Beğeneceksin

6.7M 218K 75
"Mau nenen," pinta Atlas manja. "Aku bukan mama kamu!" "Tapi lo budak gue. Sini cepetan!" Tidak akan ada yang pernah menduga ketua geng ZEE, doyan ne...
1.4M 67.1K 24
semua part pendek. "JIKA MENCINTAI TAK HARUS MEMILIKI, MAKA BOLEHKAN SAYA MENGHAMILIMU TANPA MENIKAH" Bimanuel Dirgantara. "GUE BUKAN HOMO BANGSAT"...
2.4M 127K 61
"Walaupun وَاَخْبَرُوا بِاسْنَيْنِ اَوْبِاَكْثَرَ عَنْ وَاحِدِ Ulama' nahwu mempperbolehkan mubtada' satu mempunyai dua khobar bahkan lebih, Tapi aku...
1M 96.7K 53
"Jangan lupa Yunifer, saat ini di dalam perutmu sedang ada anakku, kau tak bisa lari ke mana-mana," ujar Alaric dengan ekspresi datarnya. * * * Pang...