Testudines:Amongraga

By SiskaWdr10

5.6K 480 230

[Series stories F.3 familly] ⚠️Bisa dibaca terpisah⚠️ Ketika rumah bukan lagi tempat berpulang. "Anak perempu... More

01.Tukang ojeg telepati
02.Surat lamaran menikah
03.Pola pikir Mr.Amongraga
04.Pentingnya menghargai
05.Apa definisi rumah?
06.Nikotin dan ruang bebas
07.Penerus dari peradaban
08.Merima dua kemungkinan
09.Titik berhentinya di lo
10.Gadis pistanthrophobia
11.Sya, semesta minta maaf.
12.Perisai berlekung manis
13.Seisi dunia adalah Raga
14.Raga is not a monster
15.Pemenang kehidupan
16.Rumah tentang seseorang
17.Dewasanya figur ayah
18.Sekalipun egois terbesar
19.Tungkai yang kembali mati
20.Kini hujan yang bersaksi
22.Jalan main setiap karakter
23.Sekuat racun peptisida
24.Ada dalam dua kubu sama
25.Beberapa keadaan pelik itu
26.Harapan bercita-cita ada?
27.Pelan-pelan agar sejalan
28.Muncul dari hal sepele
29.Ibu peri pemilik hati tulus
30.Adalah bagian yang patah
31.Arah kian menyepi kesian
32.Seruput coklat hari Rabu
33.Ruang tak pernah hilang
34.Yang bangkit yang sakit
35. Hiii

21.Siapa, takdir? that bullshit.

128 14 7
By SiskaWdr10

21.Siapa, takdir? that bullshit.

"KENAPA HARI INI HUJAN!" Raga mengulang kata sama lantaran tidak mendapat tanggapan.

Pak Abinaka sendiri menautkan alis, masih mencerna kemana arah pertanyataan terhubung, barang kali pendengarannya ada yang salah atau saat ini Raga sepenunnya dikendalikan alkohol. Dilihat dari cara berdiri tegak, alkohol tidak akurat untuk disalahkan.

"Apa pertanyaan mu memiliki nilai penting untuk saya jawab?"

"Gimana bisa kepala sekolah gak bisa jawab pertanyaan semudah itu?" sarkas Raga menyeringai. "SALAH BAPAK! HUJAN DERAS TURUN HARI INI SALAH BAPAK!" naik lagi volume sentakannya.

Masih dalam jari menopang tubuh di meja Pak Abinaka berpostur tubuh gagah tinggi tertawa rendah, segala jenis perasaan ia kontrol baik-baik. "Salah saya? pendapat mu begitu buruk sekali," katanya berjalan mendekati Raga. "Saya baru ingat siapa gerangan orang yang minim sopan santun ini. Prestasi mu amat melejit sewaktu kelas sepuluh, tidak salah lagi... Amongraga? satu Marga dengan Xabiru Amongraga Ricardo?"

Nama itu disebut, berhasil mempora-porandakan pikirannya.

"Pemilik cetering paling tersohor, para petinggi jika mengandakan acara selalu memilih bisnis milik ayah mu itu, juga bila tidak salah beliau memiliki group organisasi induk celematik yang rupanya kemarin merekrut perusahaan baru dari hasil kerja sama dengan Hartigan group?" manggut-manggut sendiri membiarkan Raga terbakar kesal, apa pentingnya membahas biodata orang tuanya.

"Juga, ah, Raisa?" mendengar nama Bunda Raga mendelik penuh ancaman. "Ibu mu, banyak kabar beredar dia tidak lagi diragukan dalam profesinya itu, jaksa penuntut? artikelnya rilis kemarin, beliau berhasil memecahkan kasus yang sempat ditelan bumi, telak sampai akhir banding kasus sengketa buronan pejanggal itu kena hukum sesuai pasal. Wow. Kamu terlahir dari lingkungan orang-orang hebat, tidak mengerti mengapa hasil didiknya seperti ini? mereka terlalu sibuk bekerja, hah?"

Tujuan utama pak Abina melemahkan raga lewat orang yang paling berarti, mempengaruhi jalur omong kosong. Matanya bergerak menatap sekeliling, hancur semua. "Ck, ck, ck, miris saya melihat mu. Mau jadi apa anak muda bila bergantung pada harta orang tua yang jadi bersikap sekenaknya?"

"Jadi apapun, asal jangan jadi Tuhan," sarkastik balik Raga. Hei, pertanyaan itu jelas bermakna: masa depan mu sudah suram. Padahalkan penentu jalan hidup hanya Tuhan yang tahu.

"Hebat!" tepuk tangannya sengaja kencang. "Jawaban mu jauh lebih baik ketimbang menyalahkan saya atas turunnya hujan!"

Raga tertawa merendahkan, tidak kalah kencang. Membuat anak-anak diluar ditimbun beribu pertanyaan, apakah baku hantam berubah maaf-maafpan lalu sayonara bersama?

Tawa itu justru membuat atmosfer mencekam. "CUKUP, TIDAK ADA YANG LUCU!"

"SEMUA SALAH BAPAK! BAPAK YANG BIKIN HARI INI HUJAN! BAPAK, JELAS BAPAK!" Raga mengatur nafas, menyibak rambut kelimisnya, tetesan air dari seragam Raga juga membahasi lantai. "NGAKU, PAK! NGAKU, SALAH BAPAK!"

PLAK!

Kupingnya coba Achung tempelkan makin dekat, Aelius bergerak naik ke punggung Castor mengintip suara keras apa itu.

Punggung tangan digunakan mengusap darah di hidung, baru saja ketika Raga berteriak murka kamus tebal menghantam wajahnya. Senyuman kiri terbit melihat Pak Abinaka lepas kontrol emosi.

"SUDAH GILA! OTAK ANAK BEGAJULAN SEPERTI MU TERTINGGAL DI WARKOP! MANA BISA MENYALAHKAN SEMUA TINDAKAN BODOH MU INI KARENA... HUJAN?! ANGGAPAN GILAK MU ITU TIDAK PANTAS DIPANGGIL PELAJAR."

"GILA? LHO, KENAPA, PAK?! GAK MAU DISALAHIN?!"

"JELAS KARNA ITU BUKAN SALAH SAYA!"

Mereka berdebat intonasi tinggi.

"BUKAN SALAH BAPAK? TERUS SALAH SIAPA?" tanya Raga menaikan satu kaki ke meja, membungkuk sedikit tubuh.

"Raga seriusan nanya itu?" Castor ikut bingung beserta anak lain.

"Ingetin tor, pamali udah tua tu kepsek jangan diajak debat, langsung sikat aja," saran Aelius jenaka. Mereka sedari dulu sulit memamahi tindakan Raga.

"KAMU PIKIR APA, SAYA MELAKUKAN RITUAL TURUN HUJAN? MENYAMBAH RATU AWAN? TIDAK, ANARKIS SAJA DITEGAKAN TAPI OTAK SANGAT KUNO!"

Sekali lagi Raga menyeringai. "Terus...." rendah suaranya. "Siapa, pak? Seandaikan ada yang bisa disalahin atas turunnya hujan hari ini, siapa?"

"Jam mapel bologi mu dipakai untuk tidur?" ketus Bapak menyeringai lebih lebar. "Atau apa, ingin jawaban di luar ilmu pengetahuan? TAKDIR!" lantang kata di ujung, kembali mengulang. "TAKDIR YANG BISA DISALAHKAN!" jarinya bengis menunjuk nyalang wajah Raga. "Tidak ada yang bisa disalahkan selain takdir. Asal kamu tau takdir sudah tidak bisa diganggu gugat lagi keputusannya, mau baik ataupun buruk tetap harus dijalani, juga sekalipun berkali-kali kamu menyalahkan saya, tidak akan saya akui! saya bukan manusia culas yang mau disalahkan atas apa yang bukan salah saya. Coba pikir, siapa orang yang mau disalahkan atas kesalahan orang lain, JELAS?!"

Belum puas dia kembali mencudah sembarang kemudian berkata sengit. "Dasar pelajar yang tidak terpelajar!"

Keduanya diam untuk sepuluh detik, senyum kemenangan terpancar di ukiran bibirnya.

"Dan sekalipun sepanjang jalan selama hidupnya Nesya nyalahin dirinya sendiri atas hadirnya dari hasil perselingkuhan tetep bukan salah dia kan, pak?" dingin ucapannya telak menembak logika benak Pak Abinaka. "Siapa pak, siapa anak yang minta punya keluarga hancur? emang Nesya bisa minta mau lahir dari keluarga harmonis?" naik lagi nadanya. "MIKIR ENGGA? BAPAK AJA GAK MAU DISALAHIN ATAS TURUNNYA HUJAN, APALAGI NESYA, DIA JUGA KALO BISA MILIH GAK MAU DISALAHIN ATAS KEBURUKAN KELUARGANYA! GAK MAU DISALAHIN ATAS APA YANG BUKAN KEHENDAK DIA, APA, HAH, APA? SEMUA MIMPINYA BAHKAN IKUT HANCUR, PAK!"

Netra berkilat tajam Raga berkaca-kaca, terputar senyum Nesya tempo itu kala dia meminta sekali saja untuk egois, untuk bahagia yang telah hancur atas kejamnya jalan hidup.

"DAN TADI BAPAK BILANG, SEANDAIKAN ADA YANG BISA DISALAHIN ITU TAKDIR KAN? CIH, THAT BULSHIT!" nafasnya tercekat. Kepala terasa berat. "MATI-MATIAN PAK, MATI-MATIAN SAYA BUAT DIA SENENG, BUAT DIA NGERASA KITA SAMA, KITA LAYAK BAHAGIA. LAYAK DAPETIN APAPUN TANPA NYINGGUNG KE ARAH SANA, KE ARAH YANG DIA HARUS NYAKITIN DIRINYA SENDIRI BERKALI-KALI DEMI BISA NERIMA!"

"Sialan, anying jadi melow," kata Aelius menyeka sudut mata. Begitu pula anak lain, Raga benar, Nesya... tidak pernah merasa baik kecuali setelah lomba di umumkan, bahagianya hanya sebentar---pergi begitu saja.

"BAPAK SEBARIN RUMORNYA DEMI NGEJATOHIN DIA, APA UNTUNGNYA? SAYA YANG HAMPIR SEMUA GURU TAU BUSUKNYA LEBIH TAU CARA NGEJAGA PERASAAN WANITA, GAK MALU, PAK? GAK MALU SAMA ANAK OTAK WARKOP INI?" mengetuk-ngetuk pelisnya, tengil.

BRAK!

Kursi ditendang lagi, mengeram lebih keras. "Dasar kepala sekolah gak punya kepala!" umpat Raga sebagai penutup.

Tidak punya kepala artinya tidak punya otak, Raga... Castor tahu dalam kendali emosi pun logikanya jitu melesatkan lawan.

Sementara Pak Abina mengantupkan mulut, pintar sekali membuatnya tinggi kemudian dijatuhkan ke dasar jurang terdalam.

Sebetulnya Nesya belum bisa dikatakan sembuh tapi dia ngeyel minta izin masuk pada Bi Fitri, dua hari setelah kejadian buruk dengan Major, si tubuh bertato itu ditugaskan ke luar kota seminggu, leluasa Nesya bernafas lega.

Bibirnya pucat, wajah pias, ditambahkan Nesya memang tidak pernah memakai lipstik---salah besar kalau beranggapan agar demi natural, no. Tahu sendiri keperluan dia banyak sekali, beruntung gen terbaik Ibunya menurun. Iya, kan begitu? Tuhan maha adil.

Langkah kaki terhenti di persimpangan koridor, apa hanya ia yang merasa tengah jadi pusat perhatian, menajamkan pendengaran, bisik-bisik namanya dan Raga dibicarakan jelas terdengar hingga kicauan burung saja terendam.

"Raga mana?" Nesya bertanya pada anak warbes dikantin, mereka saling lirik. Separuh terkejut.

"Udah sembuh, sya?" Castor menyengir kikuk.

"RAGA MANA?!" ulang Nesya ditekankan.

"Nenangin diri di rooftop." Aelius menjawab setelah kena sikut Achung.

"Jadi bener? bener dia berantem sama kepsek karna gue?" tiga puluh anak basah kuyup itu telak tak bergeming. Nesya berdecak, berlari menghiraukan gosip hangat mengenai dirinya di sepanjang koridor.

Gerimis turun lagi. Samar di kejauhan guntur petir berbunyi. Raga duduk tepi rooftop, kakinya menjuntai kebawah, angin lembab meniup anak rambutnya. Dia sepenuhnya basah kuyup, dari tangan darah mengucur segar, wajah lebamnya amat kalut.

Berpikir keras, kenapa Nesya menyembunyikan ini? puluhan kemungkinan buruk selalu ia tepis, Raga tetap berpikir posisif meski tidak dipungkiri hatinya hancur melebur. Sampai suara Pak Indro menyadarkan. Beliau tukang service sekolah.

"Ngapain disini? hujan atuh!" katanya khawatir. "Turun ayo takut sakit kehujanan kamu "

Raga tersenyum tipis. "Takut kok sama hujan, gak enak sama Allah pak." Biasa, jenawa suara anak itu terkekeh khas.

"Bener sih, ih tetep aja. Kan kalo kamu sakit siapa atuh yang bikinin bapak kopi sambil main catur?" Pak Indro tidak mengenal Raga yang kata para guru begajulan, dimatanya Raga anak baik yang mudah berbaur tanpa melihat kasta.

Raga tertawa kecil. "Atuh yasudah Mamang duluan ini abis benerin sound tadi kehujanan." Pak indro melengos kala telah mendapatkan anggukan.

Teriakan berikutnya membuat Raga langsung berdiri, Nesya menghampiri dengan nafas tersengal, tampak wajahnya merah padam sampai telinga.

PLAK!

Tamparan mendarat ke luka-luka lebam rahang Raga, sangking kencang hingga sudut bibirnya keluar darah, berbelok sempurna ke samping. Rela disumpah apapun, enam menit lalu Raga sungguh tidak memikirkan kemungkinan apa yang sekarang terjadi. Jauh sekali.

"UDAH NGERASA JAGO LO RIBUT SAMA KEPSEK KARNA NGEBELA GUE? KEREN? HEBAT? ENGGAK!" bentak Nesya, tenggorokannya sampai kering korantang akibat menjerit.

Jeda terpakai untuk saling mengatur nafas.

"DARI AWAL GUE TAU, RAGA. TAU LO ANAK KALANGAN ATAS, TAU CUMA PAKE NUNJUK APA YANG LO MAU BISA LANGSUNG TERKABUL. TAU GUE, TAU. ENGGAK KAYA GUE, JANGANKAN BELAGU MAU BAHAGIA, ORANG TUA AJA GUE GAK PUNYA! KASIAN? MIRIS? IYA! IYA! TAPI GUE...." menunjuk diri sendiri, menggeleng kukuh. "GUE GAK PERNAH MINTA DIBELA, DIJAGA, DIPERLAKUIN SEGITUNYA. LO PIKIR GUE LEMAH?"

Kelopak mata Raga sedari tadi tertutup, posisinya juga masih terhenyak. Setia mendengarkan pengakuan Nesya yang dia berani sumpah semua ucapannya ilusi.

"Lo pikir apaaan, sih, ga?" Nesya melangkah mendekat. "Dongeng basi, dimana si pangeran sekolah kaya raya nyelamatin cewek tolol, dongo, lemah tapi mukanya sempurna gak ada cela? sadar Raga! dongeng itu sampah!" sekali lagi dia berteriak kencang susul menyusul dengan cetaran petir.

"BAJINGAN!" umpat Nesya, tas dipundak ia buka digunakan sebagai senjata memukul-mukul dada bidang Raga tanpa ampun. "GUE BUKAN PENGEMIS, GUE GAK MINTA KASIAN LO! GAK BUTUH, GAK BUTUH!" fakta kalau dia hanya anak hamil di luar nikah mengaung kembali. "AHKKKKK! SAMPAH!"

Sekali gerakan tas tersebut Raga renggut kasar.

BRAK!

Terlempar ketumpukan bangku-bangku susun serta kursi rusak. Kilat tajamnya cepat terhubung dengan serat amarah Nesya, keduanya pekat berapi-api. Namun, Raga tetap menguasai sekitar yang mendadak dingin, menegang. Lihat sendiri Nesya ikut terperanjat, serekan suara sepatu bergesek ke belakang dapat terdengar.

Hei apa ini, siapa orang di depan Nesya? kenapa berlipat ganda menyeramkan. Bulu kuduk meremang, lidah terbelit, kelu bersuara---sekedar gerakan mulut saja tidak bisa.

"Pengecut," itulah ucapan pertama Raga. "Lo pengecut, Nesya."

Bukan, bukan, bukan. Kemana lenyapnya pandangan teduh, ukiran hangat dan suara lembutnya. Dia siapa? seakan ada saklar on/off perubah jati diri, jika benar keberadaannya mode ini sangat Nesya kutuk.

"Pengecut paling handal nyembunyiin rasa sakit, sekuat itu sampe gak mau bagi ke gue?"

Kata tidak mau berbagi berhasil mencelos ke hati Nesya.

"Batu tepi pantai keropos terus-terusan kena hantaman air, baja bisa berkarat kena tetes hujan yang terus-terusan turun, dan lo?" Raga tertawa sumbang. "Kenapa ya, sya, kenapa gue nggak pernah nyadar lo sekuat itu? atau disini gue yang terlalu maksa pengen dianggap ada?"

"Terus lo mau gue apa, nangis-nangis peluk lo, ngaduin kalo gue gak dapet keadilan karena seharusnya gue gak usah sok-sok-an mau seneng. Gitu, ga? gitu?!" Nesya memberanikan diri menaikan intonasi meski bibirnya bergetar. "GUE BENCI DIANGGAP LEMAH!"

Dua tangan Raga mencekam bahu Nesya. "GUE CINTA SAMA LO, HARUS GUE TERIAKIN GINI SUPAYA LO SADAR? GAK ADA KASIAN, GAK ADA NGANGGAP LO LEMAH."

"Cinta apa yang bikin salah satunya terluka? Raga, pake cara lo gegabah di ruang kepala sekolah bikin akhirnya semua makin tau, tau sisi hina gue. Tau kalo rumor yang Zanika sebar itu nyata. PUASSSS? PUASSS, GA?"

Seketika itu cengkraman Raga mengendur dia mengusap kasar wajahnya, menendang-nendang udara. Semua kenapa jadi berkelit. Raga bergumamam samar sambil terus menjambak kasar rambutnya. "Terlalu digenggam bikin sakit, ga. Dan yang lo harus sadar dari awal yang lo genggam itu kaktus," kata Nesya kecut.

"Udahhh," gumam Raga.

"Kaktus, raga."

"Udahhh."

"Kaktus yang nyerap air bukan batu atau baja yang berkali-kali dihantam air. Beda, ga. Beda."

"Udahhh," gumaman getir Raga membuat Nesya terus mengepal tangan hingga buku-buku jarinya memutih.

"Beda."

"UDAAAAHH!" bentaknya dengan nafas menderu. "MAU SEBERAPA LAMA LAGI LO BERTAHAN KAYA GINI? KENAPA KALO EMANG IYA TUJUAN UTAMA GUE BIKIN LO NUMPAHIN TANGISAN KE PELUKAN GUE? DRAMA? DONGENG? TERSERAH. SIAPA YANG TEGA LIAT ORANG YANG DIA SAYANG MIMPINYA HANCUR BERAKHIR JADI PENGECUT YANG BERANI NANGIS DI BAWAH HUJAN, POJOK KAMAR, TEMPAT-TEMPAT YANG SEMUA ORANG GAK TAU. KENAPA, NESYA? LO GAK MAU DUNIA TAU KALO LO GAK SEKUAT KELIATANNYA?"

"YA LO PIKIR INI SEMUA MUDAH?"

"LO GAK PERNAH NYOBA, GIMANA LANGSUNG BILANG GAK BISA? LO TERUS AJA LARI, LARI, LARI."

"RAGAA....?"

"MAU BILANG GUE GAK NGERTI?"

Ya Raga benar, alasan tersebutlah yang membuat Nesya menunduk diam. Ini kali pertama Raga membentaknya, mengeluarkan segala hal-hal yang Nesya pikir----Raga bisa menuntutnya pelan-pelan untuk beranjak pergi.

Walau begitu air matanya tetap tidak mengeluarkan tanda-tanda akan keluar, Nesya tetap menenggak angkuh khasnya.

"Kesalahan terbesar gue ngasih seluruh kepercayaan ke lo," ucap Nesya sampai pupil mata Raga membesar, ini sama saja kembali mencetuskan perdebatan.

"Salah?"

"Iya," balas Nesya terdengar tenang. "Yang harusnya nyadar tuh gue, kenyataanya hidup lo kan emang dongeng. Lo peran utamanya dan gue peran sampingan yang gantiin peran utama, gue yang harusnya keluar. Karna liat.... akhirnya gue sendiri yang susah harus nyeimbangin sandingan sama tokoh utama. Bukan si tokoh utama yang enak aja ikutin alur cerita."

Jeda.

"Lo yang awal pertemuan bilang jangan gampang percaya sama orang tapi lo sendiri yang ngancurin pernyataan lo itu," pungkas Nesya datar. "Bisa juga---ini maksud lo itu? korelasinya jangan percaya sama bajingan kaya lo?" lanjut Nesya.

Manik Nesya memejam lagi, menggeleng pelan. "Lo nggak paham ga, iya bener. Lo gak bakal ngerti," lanjut Nesya. Selarik kesedihan terserat disana, kesiur angin menerpa wajah keduanya.

Dua sudut bibir Raga melengkung ke bawah, air muka dinginnya bertambah kuat. "Ya emang kapan sih, kapan gue pernah ngertiin lo? sekali aja gak pernah kan? kapan, sya, kapan?" tidak membentak namun penuh tekanan. "Mau sampe gue ngebelah bumi sekalipun lo gak pernah percaya seriusnya gue. Kadang gue selalu ngerasa gue udah gila-gilanya nunjukin semua sisi brengseknya gue, kelemahan, ketakutan. Sisi-sisi yang kasih tau ke lo kalo, 'ini gue, gue seada-adanya yang lo denger langsung dari orangnya'. Tapi lo? perasaan gue gak pernah maksa lo cerita, maksa lo kasih tau alasan muka lo luka sana-sini, atau maksa lo kenapa setakut itu buat gue genggam. Yang gue minta cuma.... cuma sekedar pengakuan kalo lo bisa cape, karna gak ada yang lebih sakit dari denger lo bilang-bilang baik-baik dalem keadaan mental hancur ketimbang liat lo nangis."

Nesya masih diam mematung.

"Maksain senyum dan maksain hidup di raga yang jiwanya udah dari lama mati." Raga sendiri tak menyangka ia semudah ini berkata.

Sebab untuk pertama kalinya pula Raga mengakui Nesya gadis pertama yang membuatnya patah.

Merasa sudah deket kepada seseorang yang asing akan hadirnya kita.

"Makasih, makasih udah jujur. Akhirnya kita sama-sama tau, sama-sama sadar, usaha buat bikin seneng satu sama lain yaitu berpisah...." kata terakhir nyaris hangus.

"Pergi...." Raga ikut serta menyetujui ucapan Nesya. "Pisah adalah kepergian, pergi.... pergi sejauh yang lo bisa."

Jantung Nesya berdetak kencang tidak menyangka, sampai keputusan akhir, kakinya melangkah mundur. Meninggalkan satu-satunya orang yang dia yakin meski satu dunia membenci Raga tetap disisi.

Omong kosong.

Kesedihan Raga didukung oleh hujan yang terus membesar, larik petir bersautan. Luka di disekujur tubuh luruh bersama tetes hujan, warnanya merah pekat, mengalir mengikuti arah air.

Turun tangga koridor kelas sepuluh Nesya terkejut bukan main, disaat nafasnya belum stabil, ia sudah terkena siraman air warna hitam---campuran got, telur busuk, kotoran, juga entah apa---yang jelas baunya amat menyengat. Berlanjut tepung terigu, pewarna makanan, dan puluhan kertas gulungan yang dilempar padanya. Ini bukan sesi bahagia, dikerjain teman untuk perayaan ulang tahun, melainkan sesi terburuk dalam hidup Nesya.

Setiap anak tepi pembatas koridor menonton, menyoraki, makian tidak ketinggalan. Nesya mengusap wajah, melihat ratusan perempuan di depan memandangnya nyalang, tangan mereka terdapat kamera perekam. Tertawa puas bersama.

"HAI-HAI GUYSSS! LIAT NI CEWEK YANG DARI TADI SUARANYA KEDENGARAN SATU SEKOLAH!" Zanika mendekatkan kamera ke wajah berantakan Nesya. "Gimana-gimana, masih mau main-main sama gue? gak selevel, bau busuk kaya lo sekelasnya sama sampah!"

Terdengar?

Kebetulan sialan, Pak Indro tadi tengah mencoba-coba sound yang terhubung dengan speaker sekolah dan naasnya lupa ia matikan, hingga perdebatan di rooftop tadi terdengar oleh seluruh anak. Menggemparkan satu sekolah.

"MALU."

"GAK PUNYA MUKA APA TUH CEWEK?"

"GILA, IDIOT!"

"GANGGUAN JIWA."

Umpatan mereka diiringi lemparan isi tong sampah. "Crazy sih lo, dikasih hati minta duit! tau malu!" umpatan Zanika masih belum mendapat respon.

Tidak lama dari itu barisan cewek-cewek yang ususnya ingin Nesya jadikan tetelan membuka barisan menampilkan seseorang yang seringainya tidak kalah membuat rahang Nesya mengeras.

"Hai?" sapanya, senyuman palsu masih dilihatkan. "GUYSSS UDAH DONG! KALIAN GAK KASIAN APA SAMA DIA? GUE SIH...ENGGAK!"

Tawa mereka menyatu di udara.

Tebak siapa.

Tampilannya tidak jauh beda dengan Zanika, gadis itu meraih kamera yang anak-anak sodorkan, menyiarkan langsung wajah Nesya di akun base sekolah Kintaro. Penonton live riuh memberikan emot ular dalam kolom komentar. "Ini orangnya guysss! yaps! orang yang udah dibantu tapi malah lempar batu. Raga tuh kurang apasih? ngebalain lo sampe semua fasilitas kepsek rusak bikin gempar dibales nampar! HELLO, OTAK LO WARAS?!"

Alis Nesya makin menukik tajam, ketika kita di titik paling terpuruk disitu akan terlihat semua sifat orang terdekat kita, mana yang benar tulus dan mana yang demi formalitas.

Monica. Iya, permen karet. Hanya manis di awal, sekarang habis-habisan menusuk Nesya dari belakang, TOS riang gembira dengan kawan barunya, Zanika.

"Ngerasa paling cantik sedunia lo nolak Raga? IWWW. Cewek muna, gue sama anak lain udah tau kedok buruk lo dari hari pas lo nampar Raga di lapangan. Bagus kalo akhirnya Raga jauh dari beban kaya lo!" tambah Monica ketus memuotar bola mata.

Sorakan makin kencang.

"HUUUUUH, CAPER!"

"CARMUK, BIKIN JIJIK!"

"SPEK PICK ME GIRL BANGET, CIH!"

Dada Nesya menggebu, ubun-ubun berasap. Monica menyeringai, tidak sia-sia juga sok baiknya ini. Begitu pula Zanika, dia merasa tenang plus amat puas.

Singkatnya, sebagian orang mulai menggunjing Zanika karena ketahuan memprovokasi (menyebarkan aib keluarga Nesya) dan datanglah Monica, menawarkan bantuan akan mengalihkan kasus itu agar Nesya jadi kambing hitam. Berawal dia tau Nesya pagi ini akan masuk kemudian sengaja memanaskan Raga agar anak itu meledak sesuai keinginannya lantas sesuai isi chat jawaban Nesya kemarin malam, dia... benci dianggap lemah.

Perihal sound juga mereka ambil bagian.

Bergerak satu langkah ke dekat telinga Nesya kemudian berbisik. "Lo kalah, Raga is mine, dia gak pantes sama cewek sakit jiwa. understand?"

Rasanya baru pagi tadi Monica mengrimnya pesan semangat, pengingat minum obat sekarang terlihat laknat.

Kejadiannya begitu cepat, marak pembullyan masih saja terjadi.

"Sekali lagi lo macem-macem sama gue, liat aja apa yang bakal gue lakuin," kalimat perudnung sekolah. Selalu sepertinya.

"Kenapa diem aja? eh-eh guys, mau nangis dia!" Monica mengerutkan bibir, pura-pura sedih. "Aaaaa, utu-utu, kok sedih sih? perasaan tadi koar-koar deh ngatain Raga?"

Serangan pedas lain ikut ambil bagian. Nesya menarik nafas dalam, menenggak, balas dengan tawa lebih membahana. Seram, sungguh. Pertanyaan mengapa berseling diantara kerutan kening mereka.

"HAHAHAHAH, KALIAN KOK BISA-BISANYA DI HASUT SAMA MEREKA BERDUA?" teriak Nesya menyapu pandangan ke atas. "GAK HERAN JUGA SIH, BISA ULAR EMANG CEPET NYEBARNYA," sarkastik terucapkan. Berikutnya gemuruh tepuk tangan sendiri. "KERJA BAGUS, KERJA BAGUS. PIKET KELAS SUSAH, JUM'AT BERSIH NGARET, NGERUNDUNG NOMER SATU. KEREN LO SEMUA!"

Zanika pun Monica saling lirik, harapan mereka punah. Justru malah jadi boomerang bunuh diri. Berganti melirik merendahkan ke arah dua wanita itu. Nesya menyeringai. "Atas kerja keras lo berdua, harus gue kasih hadiah...."

Hitungan tiga tubuh Nesya loncat memeluk dua sekongkol sialan tersebut yang langsung menjerit, sementara anak lain kocar-kacir berlari. Bahu kedua gadis itu ditepuk-tepuk oleh Nesya. "THANKS BESTIH, BESTIH, BESTIH, BANGSAT LAH!"

"LEPAS, UEEEK! BAU BANGET LO, SIALAN!" Zanika coba menepis, tidak kuat ingin muntah.

"GILA LO, GILA!" maki Monica. Nesya terkikik lagi.

"Kenapa, baru nyadar?" tanya Nesya lalu gesit bergerak ke anak lain untuk---memeperkan kotoran di tubuhnya. "WOI ELAH GAK ASIK LO PADA! BERBAGI ITU INDAH!"

Prinsip Nesya begini, dari pada diceloteh cewek aneh lebih baik sekalian aneh beneran.

Aksi jambak-jambakan dalam pertempuran perempuan tidak pernah absen, dan itu terjadi sekarang. Keberuntungan lawan Nesya rambutnya panjang-panjang, mudah saja dijenggut. Mana ada Nesya menangis karna orang-orang mental patungan ini?

Sering berkelahi dengan Major ternyata memiliki manfaat, dia pandai menakis, memelantingkan tangan musuh dan bogeman yang tepat sasaran. Nesya juga dikeroyok, sementara penonton silih menyoraki.

"AHKKK, SIALAN!" hidung Monica mengeluarkan darah, Zanika sendiri tersungkur setelah mencakar wajah Nesya.

Anak warbes setelah melihat siaran langsung pontang-panting berlali ke arena. Tepat ketika mereka datang keadaan lawan-lawan Nesya tergeletak lemah di lantai. Dia sendiri masih tarik-tarikan dengan Monica.

Castor bergerak memisahkan, berdiri diantara keduanya. "UDAH! APA-APAAN SIH LO!" bentaknya galak pada Nesya, melirik ke arah sekeliling. Monica menunjukan mimik paling tersakiti. "LO GILA, SYA?"

Sengatan listrik sekala besar mengenai hati kecil Nesya, sorot berapi-api tadi berubah kosong. Balik menatap Castor kemudian anak-anak warbes yang serat bencinya kental terlihat dari tatapan mereka untuk Nesya.

"IYA, IYA, IYA, IYA GUE GILA. APALAGI? KATAIN GUE SEPUAS LO!" bentak Nesya. "KATAIN TOR DI DEPAN GUE, JANGAN DIEM-DIEM NUSUK DARI BELAKANG. KALO MAU JADI BANGSAT, BANGSAT SEKALIAN. GAK USAH NANGGUNG!"

"IYAAAA, LO MIKIR GIMANA PERASAAN RAGA SETELAH DIHINA GAK? DIA GAK PERNAH SEMARAH TADI KALO BUKAN DEMI LO!"

Nesya tertawa hambar, manggut-manggut. "Jadi gimana, gue orang gila gak berperasaan? itu bikin lo ngerasa lebih baik? terus apa bedanya sama lo semua yang sekarang main hakim sendiri." Menyeka wajah, air kotoran menyeruak ke hidung Castor. "Nindas gue rame-rame. Pantes gue sebut waras?"

Hening.

"KITA GAK BAKAL MULAI KALO LO GAK MULAI DULUAN!" sulut Monica terisak. "SAKIT TAU GAK DITONJOK!"

"Sakit? mau gue tambah?" tawar Nesya menarik kerah seragam Monica, demi apapun ia muak sekali.

Histeris jeritan palsu Monica menggelegar. Castor kelimpungan memisahkan, Achung ikut peran tambah Aelius. "BERHENTI, LO---LIAT DONG MONICA UDAH BABAK BELUR!" Castor mulai terbawa suasana. Padahal Nesya jauh lebih buruk keadaannya.

"TERSERAH! LO LEBIH GILA TAU GAK NGEBELAIN CEWEK YANG SUKA SAMA TEMEN LO! GAK TAU KAN LO? MONICA GAK BENER-BENER TOBAT BAIK KE LO, DIA TETEP AJA JADIIN LO ALAT BUAT DEKET SAMA RAGA."

"NESYAA!" sentak Achung sebab Castor terhenyak ditempat.

"APAA, APAA. AYO SEPUASNYA KATAIN GUE, LO SEMUA SAMA! SAMA-SAMA SETAN!" nafas menderu Nesya makin menggebu. Dua jari tengahnya terancung ke atas. "FUCK YOU, SIALAN!"

Menerobos sekumpulan anak warbes berdiri, meninggalkan ingar bingar kerusuhan dengan perasaan yang susunanya sudah berantakan. Dimana awalanya urutan cinta mendominasi kini beralih saling menyakiti hingga berakhir benci.

Benci yang membawa ke titik berhenti, percaya adalah celaka paling sengaja.

*******

Continue Reading

You'll Also Like

521K 39.4K 45
"Seru juga. Udah selesai dramanya, sayang?" "You look so scared, baby. What's going on?" "Hai, Lui. Finally, we meet, yeah." "Calm down, L. Mereka cu...
235K 28.4K 25
⚠️ BL Gimana sih rasanya pacaran tapi harus sembunyi-sembunyi? Tanya aja sama Ega Effendito yang harus pacaran sama kebanggaan sekolah, yang prestas...
2.4M 133K 29
Madava Fanegar itu pria sakit jiwa. Hidupnya berjalan tanpa akal sehat dan perasaan manusiawi. Madava Fanegar itu seorang psikopat keji. Namanya dike...
945K 2.9K 19
21+ Ria, seorang ibu tunggal, berjuang mengasuh bayinya dan menghadapi trauma masa lalu. Alex, adik iparnya, jatuh hati padanya, tetapi Sheila, adik...