Shy Shy Jwi ✔️

By A-GOLDIES-2005

10.6K 1.8K 302

Park Jisung, 17 tahun, dideklarasikan sebagai manusia yang terlahir untuk selalu berhias luka. Mulanya, Zhong... More

01. Seterang Bintang
02. Sekelam Malam
03. Keputusan Takdir
04. Pejuang dan Cobaannya
05. Si Tameng Baru
06. Patah Mimpi
07. Dia Bukan Aku
08. Jisung, Dulu, dan Mimpi
09. Sang Tuan Kesalahan
10. Dia, Kim Hoseung
11. Cara Untuk Bangkit
12. "Si Kebaikan"
13. Hai, Kesedihan
14. Korban Lainnya
15. Kaum Kesengsaraan
16. Luka Tak Terkisah
17. Langkah Pertanggungjawaban
18. Awal Dan Akhir
19. Jendela Kerapuhan
20. Jisung; Misteri
21. Semanis Madu
22. Jelmaan Seorang Korban
23. Monster Deonghwa
24. Monster dalam Mimpi
25. Peringkusan Pukul 4 Pagi
26. Dari Seorang Kakak
27. Secuil Arti Teman
28. Perumpamaan Dari Chenle
29. Chae Eun; Muara Pertikaian
30. Chenle; White Lies
31. Human Can't Be Perfect
33. Broken Childhood I
34. Broken Childhood II
35. Dia Berevolusi
36. Buah Pengkhianatan
37. Terlanjur Hancur
38. Let The World Feel
39. Tumbuh Di Atas Luka
40. Kisah Anyar

32. Kata Kim Doyoung

114 22 1
By A-GOLDIES-2005

Shim Jehoon.

Orang yang sempat berbagi secuil cerita mengenai kerumitan masalah antara Minkyung dan Chae Eun, juga orang yang Jisung mintai pendapat bila konfliknya dan Chenle terjadi padanya. Orang yang sempat memberinya sebuah saran. Katanya, cari kesibukan seandainya dia mau melupakan beratnya problematika hidup. Membuatnya pamit walau sekejap. Orang itu benar-benar menggaetnya. Menyusuri jalanan sembari melempar guyonan kecil. Dengan lapang dadanya, Jehoon berusaha mengusir gusarnya Park Jisung.

Jehoon baik. Dia ramah. Matanya yang biasanya menghilang ketika senyum lebarnya diulas, terkesan lucu untuk disaksikan. Iya! Senyum itu poin utamanya! Si tokoh utama untuk meyakinkan orang bahwa dia memang manusia berbudi baik.

Jisung mengagumi keramahannya. Bahkan ketika namanya sering disebutkan di sepanjang koridor, dia tetap membalas. Sesekali sambil mengacungkan telunjuk dan ibu jarinya yang membentuk menyerupai pistol atau mata kirinya yang sesekali mengedip. Ditambah dengan humornya yang bagus, Jehoon tidak akan mungkin kehabisan daftar teman dalam hidupnya. Malah mungkin jumlahnya nyaris jutaan, menghabiskan banyak lembar kertas sampai beberapa di antaranya tak terdata.

Ada satu hal yang sama antara Jehoon dan Chenle; mereka sama-sama social butterfly yang baik.

Mereka pandai menumbuhkan kenyamanan ketika bercengkrama. Mereka anti dengan yang dinamai canggung. Mereka pandai beradaptasi.

Jisung menemukan banyak kesamaan. Tapi tetap saja, Shim Jehoon dan Zhong Chenle itu dua pribadi yang berbeda namun disatukan lewat caranya memperlakukan dunia. Jehoon tahu banyak hal, Chenle juga. Bedanya, Jehoon tak pernah nyaris mengumpat karenanya sementara Chenle pernah sampai beberapa kali. Dan perbedaannya ada di sana; di tingkat kesabaran mereka.

Seharusnya, Jisung tak terlalu merasakan perbedaan antara 2 orang yang terlalu mencolok. Jehoon dan Chenle sama-sama tipe yang enggan untuk diam. Mulutnya hampir tidak pernah dibiarkan bungkam selama jalanan menyongsong langkah kakinya.

Sekali lagi, tetap saja mereka tidak sama.

Persentase kenyamanannya ketika bersama Chenle dan Jehoon jelas berbeda. Walau keduanya sama-sama punya banyak cara untuk menghibur, tapi Jisung sulit menyamakan 2 orang yang berbeda. Meski demikian, Jisung bukan berarti menyimpulkan si kapten basket mempesona ini bukan orang yang baik. Bukan dan tidak sama sekali.

Chenle dan Jehoon...

Jehoon dan Chenle...

Jisung menoleh. Nyaris terkekeh ketika menjumpai mulut Jehoon yang tengah menganga, terarah padanya. Jisung menerka, rupanya dia berniat mengembangkan topik percakapan yang lain lagi. Tapi lebih cepat dari Jehoon, Jisung mendului.

"Jehoon." Panggilnya yang lantas disambut dehem kecil dari sang empu nama. "Kamu nggak mau ngundang Chenle buat masuk ke klub basketmu? Dia nggak pernah bilang ke kamu tentang apapun?"

Netra itu mulanya terpaut. Menanti-nanti pertanyaan dari lawan bicaranya. Tapi sedetik setelahnya, Jehoon menoleh—atau malah membuang tatapannya—Jisung tidak tahu. Satu kata singkat yang keluar dari bibirnya sekedar, "oh." Kemudian diam untuk beberapa sekon. "Tentang apa maksudnya?"

"Basket." Jisung menjawab kelewat lugas. "Karena aku pikir, dia sesuka itu sama basket, jadi agak nggak mungkin kalau dia nggak masuk klub basket padahal ada wadah yang siap menampung skill basketnya."

Bahu itu diangkat. "Aku nggak tahu, Jisung. Dia nggak pernah ngomongin seputar klub basket."

Jisung masih belum memutuskan tatapannya ketika Jehoon beralih menunduk berbarengan dengan kedua tangannya yang disimpan hangat di dalam saku celana. "Kalau gitu, kamu nggak mau nawarin dia? Dia suka banget sama basket, jadi seandainya dipaksa sedikiiit aja, dia pasti mau."

Jehoon lantas menoleh. Menampilkan gurat wajahnya yang tak secerah sebelumnya. "Aku nggak yakin. Kemarin waktu kamu bilang dia hebat main basket, mukanya agak tertekan. Mungkin dia emang nggak punya niat buat gabung sama kita walaupun kita butuh dia dan bakal seneng banget seandainya dia ikut." Bibirnya dilipat ke dalam. "Tapi kalau dia nggak punya niat, kita juga nggak bisa maksa. Ngelakuin sesuatu tanpa kemauan itu pasti berat."

Park Jisung bukan pembaca keadaan yang baik, juga bukan seorang penerka handal seperti Zhong Chenle. Satu-satunya yang melintas setelah penjelasan singkat dari Jehoon menghampiri benaknya adalah; Chenle pasti punya alasan lain. Walaupun rasanya sedikit tidak pas untuk diterima, tapi Jisung tidak bisa mengira-ngira bagaimana pastinya.

Sebab Jisung terlalu tahu, amat sangat mengerti bahwa Chenle enggan melepas basket dan tetek-bengeknya.

"Kalau aku lupain basket, itu sama aja kayak aku lupa masih punya nyawa dan malah terjun dari atap."

Jisung tergiur untuk menyimpulkan bahwa ada sesuatu yang janggal atau malah bisa dikatakan aneh. Satu opsi tersisa. Dia bisa menyelidiki lewat Shim Jehoon yang masih bersisian dengannya. Ada banyak macam pertanyaan yang pelan-pelan bisa mengungkap alasan sesungguhnya.

Tapi Jisung tidak sempat.

Dia diterpa keterkejutan. Tubuhnya mematung, berhenti di tempat sementara Jehoon masih belum menyadari langkahnya yang dijeda sesaat. Jehoon dan 1001 satu topik pembicaraannya benar-benar menyita seluruh atensi Jisung. Jadi, anak itu sampai tak bisa mengingat kemana kakinya melangkah. Kemana jalan yang ia tuju. Sampai mana kakinya menghantarkannya.

Jehoon berhenti. Rungunya tak lagi bisa mendengar tapak kaki lain selain miliknya. Kepalanya menoleh. "Jisung? Kenapa berhenti?"

Yang ditanya tidak serta-merta menjawab. Jisung bungkam. Dia tahu ada sesuatu yang mengerikan. Dia tahu dia tak seharusnya ada di sini. Tapi matanya terlalu keras kepala menentang perintah otaknya. Dia membeku, tak bergeming.

Jehoon mulai terbengong-bengong. Tangan kanannya diayunkan. "Jisung? Hei, kamu ngelamun." Bersama semburat kebingungan yang tak teratasi, Jehoon berhasil menyedot kesabaran milik si kawan baru.

"A-ah iya." Dia terkekeh. Canggung dan melahirkan atmosfer yang tak keruan apa namanya. "Jehoon, kita mau kemana?"

"Makan kimchi jjigae, aku udah janji traktir kamu kan?" Dia mengingatkan. Membawa anggukkan pelan dari Jisung.

"Masih jauh?"

Jehoon menoleh. Menatap jalanannya yang seakan tak berujung. Kosong, senyap seakan kawasannya tak lagi berpenghuni. Paling-paling pejalan kaki yang jarang melintas. Bahkan mungkin bisa dihitung dengan jari. Kurang lebih sekitar 15 orang termasuk penghuni sebuah rumah bercat oranye yang nampak nyaman diselemuti sepi.

Tidak banyak rumah yang dijejer. Itu tandanya tidak banyak pula interaksi yang terjalin.

"Sebentar lagi. Setelah keluar dari gang ini, kita sampai di jalan raya. Deket halte, kita nyebrang dan sampai." Matanya menyipit ketika pandangannya menjangkau sinar kecil di ujung sana bersama sekelibat mobil yang sesekali melintas. Selesai menggambarkan, Jehoon menoleh. "Kenapa? Kamu capek?"

Dia mencari-cari. Sesuatu yang mana bentuknya tetesan air sebesar bulir jagung atau dadanya yang kembang kempis kehabisan oksigen. Jisung masih berdiri tegak. Kulitnya masih belum terjamah keringat. Dadanya setenang beriak air tanpa ombak sekecil apapun. Tangannya belum jatuh menopang tubuhnya pada lututnya sendiri. Tidak ada tanda-tanda kelelahan yang menggelayuti.

"Nggak." Jisung menggeleng sekali. "Jehoon, bisa kita cari jalan lain? Aku tahu jalan lain walaupun agak sedikit memutar. Ada anjing galak di rumah itu. Aku takut dia....ngejar."

Disuguhi alisnya yang menukik ke bawah, matanya yang membulat penuh kilat ketakutan, Jehoon tak sanggup. Dia tidak setega itu membiarkan si semampai Park ini tunggang langgang dikejar anjing.

"Cuma anjing galak kan? Dia dirantai?"

Lagi, kepala itu menggeleng. "Aku rasa dia agak gila. Parah banget, sering gigit orang katanya karena nggak dirantai." Makin memelas, Jisung memohon. "Ya, ya, ya? Kita putar balik."

Pada akhirnya, Jehoon mengangguk. Memutar tumitnya. Meninggalkan seberkas cahaya di seberang sana yang bagai portal. Lebih cepat menghantarkannya pada titik tujuan.

Jisung memimpin langkah bersama Jehoon yang disambar kebingungan. Sesekali, kepalanya menoleh ke belakang. Bangunan bercat oranye itu memang lengang dan minim suara yang mana artinya sunyi senyap. Tapi tampak dari luar, masih menyerupai bangunan normal biasa. Tidak ada pohon yang dibiarkan tumbuh tinggi besar menghalangi pandangan dan menciptakan kesan mistis. Singkatnya, rumah itu normal. Tidak ada sahutan anjing sekecil apapun. Terlampau tenang untuk digambarkan seperti pengakuan Jisung barusan.

Lantas apa? Apa alasannya kenapa Jisung rela membuang tenaganya lebih banyak ketimbang lewat melintas selama 10 detik di sisi kanan rumah oranye itu?

Sebab Shim Jehoon tak pernah tahu. Jisung membencinya. Di sana. Di sebuah neraka yang menjanjikan banyak kebahagiaan, malah dibakar hangus menyisakan luka abadi.

ꗃꠂꠥ

Kim Doyoung itu pekerja keras walau sedikit diselingi kekanak-kanakan.

Wujudnya memang sekedar kertas yang mana bila ketumpahan kopi atau tidak sengaja dijatuhi percikan api, maka dia akan hangus. Sepele tapi butuh penanganan yang ekstra. Bukan kertasnya, tapi isinya. Doyoung sering menopang kepalanya. Keningnya dipijit, berharap beban hidup yang disuguhkan lewat kertas-kertas itu melenyap, atau setidaknya berkurang sedikit. Kalau kamu menjumpainya dalam kondisi itu, maka kamu mungkin perlu tahu bahwa yang memenuhi otaknya saat itu adalah sebuah pertanyaan; bagaimana memusnahkan semua kertasnya tanpa konsekuensi sebagai embel-embel di belakangnya?

Doyoung termasuk manusia malam. Ketika Jisung mulai naik ke atas tempat tidurnya, berselimut sebatas dagunya kemudian kelopak matanya perlahan tertutup, ketika itu semangat Doyoung melalap habis rasa kantuknya.

Lalu saat siang tiba? Tentu saja ada penurunan performa pada kerja kerasnya. Seandainya dipersentase, mungkin sekitar 0,5% bila dirinya terbangun dengan bugar tanpa adanya paksaan; seperti dering alarm atau parahnya panggilan klien. Tapi hari ini lain.

Bagi Doyoung, tumpukan kertas sialan itu ketika ia tatap, seolah menjerit. Memintanya untuk cepat menamatkan segalanya kemudian menerima segepok uang dan kakinya bisa menumpang ke atas meja sembari menyeruput kopi hangat. Itu motivasi, supaya Kim Doyoung memutuskan hubungannya dengan kertas-kertas kusut itu.

Sayangnya, dia tidak sanggup. Kecepatannya bekerja masih dalam kemampuan manusia, bukan robot. Dia butuh makan. Perutnya perlu diisi sesuatu. Makan dulu baru kerja. Slogan itu berhasil menghantarkannya pada kesuksesan yang baru tercapai 50%.

Mobilnya diparkir. Ketika kakinya melangkah masuk ke bangunan di pinggir jalan yang di beberapa sudutnya penuh warna krem, lidahnya heboh meraung-raung. Kalguksu! Kalguksu! Kalguksu! Untungnya Doyoung masih ingat tata cara membungkam mulut yang baik dan benar.

Jadi, kakinya melangkah ke tempat dimana seorang gadis berjaga di balik meja. Dia menawari dengan penuh keramahan. Tipe pekerja yang baik. Kemudian Doyoung menyebut kalguksu. Si gadis mengangguk patuh lantas memberi arahan bagi Doyoung untuk menunggu beberapa menit.

Selesai! Tinggal duduk mengungkang-ungkang kakinya di atas kursi sembari melepas penat.

Tubuhnya berbalik. Mencari-cari dimana agaknya posisi bangku yang pas untuknya. Yang penuh dengan objek, yang bisa mencegah bosannya untuk bertamu. Kemudian, voila! Ada seseorang di tepi jendela. Kepalanya menoleh, menopang dagu. Mungkin sibuk melalang-buana.

Doyoung melangkah. Mengejutkannya lewat derit kursi yang ditarik.

"Kayaknya negara ini harus buat hukum biar nggak banyak anak yang bolos sekolah."

Dia, si pemuda yang mulanya terpikat dengan pemandangan di luar jendela—Zhong Chenle—mendongak sekilas sebelum hembusan nafas beratnya lepas.

Jauh dari keceriaannya, Chenle nampak murung. Awan hitam tak kasat mata seakan tengah menaungi kepalanya kemanapun kakinya membawa pergi. Doyoung tentu saja bukan orang yang tergolong lama mengenal si anak konglomerat ini. Tapi siapapun itu, sekalipun bocah 5 tahun yang menjumpai gurat wajahnya bagai seorang ayah tanpa pekerjaan ini, pasti tahu bahwa dia tidak sedang baik-baik saja.

"Kamu kelihatannya bukan anak yang suka bolos. Dari cerita Jisung, aku pikir kamu anak yang bahkan nggak mau melarikan diri meskipun kamu punya masalah di sekolah. Kayak, takut sama guru matematika, misalnya?"

Chenle mendecih kecil. Tangan kanannya masih setia menopang dagunya. Obsidiannya tetap berpaku pada jalanan di luar sana. Menangkap beberapa pejalan kaki yang sesekali mengeluh kepanasan. "Harusnya dia yang takut sama aku."

Doyoung harusnya tergelak geli. Tapi yang ia lakukan justru bungkam dengan sedikit setrum keterkejutan yang membuatnya tak bereaksi sesaat. "Jawaban yang bagus." Sahutan itu meluncur berupa gumaman kecil. "Kalau gitu, apa masalahnya?"

Sebentar, Chenle melirik. "Hyung beneran belum tahu? Jisung nggak cerita atau belum?"

Yang ditanya mengangkat bahunya. Tatapan itu sempat dikuasai oleh keraguan. "Nggak tahu. Belum, mungkin?"

Kehilangan minatnya untuk menjadi pengamat lingkungan dadakan, Chenle mengenyahkan tatapannya. Tangan kanannya dibiarkan teronggok di samping patbingsoo-nya. Tersisa sedikit, seperempat mungkin? Kacang merahnya dibiarkan tersebar. Esnya diserang hawa panas yang kemudian menyulapnya menjadi tetesan air.

"Aneh. Aku kira dia udah kasih tahu semuanya. Apalagi ke Hyung." Chenle mengedikkan dagunya. Membuat Doyoung mulai menciptakan asumsinya yang berserakan.

"Kalau gitu, masalahnya pasti besar atau paling nggak sedikit rumit." Doyoung menerka. "Jisung punya alasan sendiri seandainya dia nggak cerita sesuatu. Apalagi tentang masalah yang lumayan berat. Dia cenderung mikir jalan keluarnya sendiri."

Di depannya, Chenle menyambut dengan kerutan pada keningnya. "Kenapa?"

Butuh sesuatu untuk melabuhkan punggungnya yang turut berpartisipasi membantu penyelesaian pekerjaannya, Doyoung merebah pada sandaran kursi. "Katanya ada beberapa hal yang nggak harusnya dikasih tahu. Terutama masalah, apalagi kalau besar. Dia bilang, itu sama aja kayak rahasia. Karena masalah pasti ada salah satu orang yang buat kesalahan di dalamnya. Dan dia nggak mau beberin itu ke orang. Dia cuma mau ngelindungin siapapun yang ada di dalam masalah itu biar dia nggak kena semprot pakai kesan buruk orang-orang."

Chenle menimang-nimang. Sebuah pengertian baru tentang kebiasaan Park Jisung. Dia mengerling. Bahkan Jisung menolak bercurah hati pada kakak sepupunya sendiri. Kim Doyoung bukan orang sembarangan yang seandainya ada seseorang menghampirinya, memintanya solusi, dia hanya akan mengatakan; yang sabar ya, itu ujian. Tidak, itu bukan tipe Kim Doyoung.

Dia pengacara. Lidahnya pandai meluncurkan berbagai macam untaian kalimat. Solusi termasuk ke dalamnya. Memecahkan suatu permasalahan sudah makanan sehari-harinya. Singkatnya, Kim Doyoung ini sasaran empuk bila Jisung amat sangat membutuhkan solusi atau dipaksa mencabut keputusan.

Tapi dia tidak melakukannya. Itu faktanya.

"Sekalipun ke orang lain? Ke orang yang dia percayai?"

Doyoung terkekeh. Bersamaan dengan itu, kalguksu yang dinanti-nantikannya tiba. Asapnya membumbung tinggi. Menyebar aromanya kemana-mana. "Kamu pikir siapa orang yang paling dia percayai? Udah pasti aku." Sumpitnya diraih selepas bibirnya beralih mengucap terima kasih. Sang pelayan pamit dan Chenle mulai dikuasai oleh bungkam. Jadi Doyoung membungkuk kecil, memuaskan lidahnya dengan kaldu yang meronta-ronta lezatnya. "Kalau gitu, masalahmu menyangkut Jisung?"

Getir dan pahitnya bercampur menjadi satu. Melahirkan kekecewaan yang sempat bersembunyi untuk beberapa saat. "Ya." Jawaban singkatnya menyambangi udara kelewat cepat. "Dan udah pasti aku yang salah." Kemudian kepalanya jatuh terkulai lemas.

"Terus kamu malah nggak masuk ke sekolah? Nyangkut di sini pakai seragam mu? Ninggalin Jisung sendirian?"

"Aku nggak mau ganggu dia karena ada aku di sana." Kalimat itu meluncur. Entah merujuk pada pembelaan diri atau apa.

"Kalau gitu, kamu harus minta maaf. Dia pasti kesepian." Doyoung mengusulkan.

Sekelibat, bayangan itu bertamu ke dalam benaknya. Gambaran bagaimana tersiksanya si pendiam itu terduduk tanpa kawan. Ketika tawa saling sahut-menyahut dimana-mana, Jisung tetap mengunci mulut. Enggan bergabung dan tetap tinggal pada sangkar kesepiannya walau dia nyaris kehilangan nafas di dalam sana.

Tapi secepat debu yang ditiup angin, secepat itu pula Chenle selesai dengan gambaran di benaknya. Andai-andai itu lenyap. Pamit tanpa kata ketika netranya menjumpai si tokoh penguasa cengkrama ini muncul dari balik pintu.

"Atau malah nggak?" Chenle yang lebih dulu menyadari, memaku pandangannya. Menguncinya pada Jisung yang tengah menolehkan kepalanya. Kemudian, dor!

Mereka bertemu. Dalam satu pandang dan dalam satu tatap yang sama. Dia memang Park Jisung. Nampak enteng tanpa adanya kesepian yang menggelayuti pundaknya.

Dia di sana. Bersama Shim Jehoon.

ꗃꠂꠥ

Continue Reading

You'll Also Like

7.5M 1.2K 1
[Sudah Terbit ] They fight, they fix, they stay.
1.5M 218K 40
COMPLETED✓✓ "Bukannya insecure tapi gue sadar diri aja kalo gue cuman tanah dibanding kak Mark yang langit." -Lee Haechan "I'll got you." -Mark Lee [...
3.8M 665K 31
[SUDAH TERBIT] BAGIAN KEDUA TULISAN SASTRA Bulan juni datang lagi. Padahal sisa-sisa juni tahun lalu belum sepenuhnya selesai. Beberapa sedih dan ses...
1.3M 167K 20
「❀」Bagaimana kehidupan chenle yang harus hidup dalam dunia 'hitam' bersama buah hati yang dikandungnya. 🗒 ❛ Complete༉‧₊˚✧ ┄ঃ❃۬◦۪۪̥ै┈┈✷ౣ◎்۫۫✵┈ •remak...