Testudines:Amongraga

By SiskaWdr10

5.6K 480 230

[Series stories F.3 familly] ⚠️Bisa dibaca terpisah⚠️ Ketika rumah bukan lagi tempat berpulang. "Anak perempu... More

01.Tukang ojeg telepati
02.Surat lamaran menikah
03.Pola pikir Mr.Amongraga
04.Pentingnya menghargai
05.Apa definisi rumah?
06.Nikotin dan ruang bebas
07.Penerus dari peradaban
08.Merima dua kemungkinan
09.Titik berhentinya di lo
10.Gadis pistanthrophobia
11.Sya, semesta minta maaf.
12.Perisai berlekung manis
13.Seisi dunia adalah Raga
14.Raga is not a monster
15.Pemenang kehidupan
17.Dewasanya figur ayah
18.Sekalipun egois terbesar
19.Tungkai yang kembali mati
20.Kini hujan yang bersaksi
21.Siapa, takdir? that bullshit.
22.Jalan main setiap karakter
23.Sekuat racun peptisida
24.Ada dalam dua kubu sama
25.Beberapa keadaan pelik itu
26.Harapan bercita-cita ada?
27.Pelan-pelan agar sejalan
28.Muncul dari hal sepele
29.Ibu peri pemilik hati tulus
30.Adalah bagian yang patah
31.Arah kian menyepi kesian
32.Seruput coklat hari Rabu
33.Ruang tak pernah hilang
34.Yang bangkit yang sakit
35. Hiii

16.Rumah tentang seseorang

137 12 0
By SiskaWdr10

16.Rumah tentang seseorang

Dipikir-pikir lucu juga semua terjadi, bersama Raga hal mustahil sekalipun selalu memiliki penjelasan, daun jatuh punya tujuan dan senyum yang tercipta hadir oleh perasaan. Sekiranya itulah Raga, lautan rindu ribuan cahaya harapan di masa depan ada bersamanya.

Kesempatan di atas motornya seperti sekarang ini, Nesya nyaman mendengarnya menjelaskan gumpalan awan. "Namanya awan Cumulus atau disebut juga bunga kol. Indah tapi jarang-jarang di Jakarta."

"Karna banyak polusi udara, ya?"

"Iya, makannya besok gue mau sekolah naik kuda aja, lebih ramah lingkungan. Lo mau ikut?"

"Mauuu."

"Beli dulu nanti kudanya, mau yang item atau putih?" tanya Raga, Nesya berdecih.

"Kuda catur mah gue juga punya kali!" sebal Nesya, Raga tertawa.

"Tau kenapa ban bajai ada tiga?" tanya Raga, Nesya mengikuti arah pandang Raga.

"Kenapa?"

"Karna yang tidak terhingga cuma kasih ibu," enteng Raga berucap. Nesya kali ini tertawa setuju.

"Sepanjang masa," lanjut Nesya membuat Raga tertawa juga, wajah cerah Nesya ada di pantulan kaca spion yang sengaja Raga arahkan pada nona manis itu.

Karna begitu lah tabiat kesukaan Raga. Melihat senyum Nesya terbit tanpa terpaksa.

"Lo tim bubur diaduk atau nggak?" tanya Nesya, Raga bergumam.

"Nggak."

"Ih?! kenapa?"

"Kalo di satuin takut syirik-syirikan."

Nesya tertawa kecil. "Emangnya anak TK?"

"Kalo lo sendiri, pilih bubur atau gue?" Raga bertanya cukup kencang.

"Bubur lah!"

"Kecil," balasnya dengan bahu mengedik.

"Apanya?"

"Saingan gue, bukan si cowok yang punya kebon tujuh hektar cuma bubur doang, gampang itu mah," jelas Raga.

Nesya berdesis tahan senyum. Soal kura-kura berumah keras di lampu merah kemarin membuat niat awal Raga untuk mengajaknya ke kebun binatang.

"MANG!" menyapa tukang parkir dengan lambaian tangan ke atas.

Entah, Raga pada tukang apapun selalu merasa sudah lama kenal, lihat sekarang. Riang mengobrol sambil merangkul.

"Nesya, kenal nggak?" tanya Raga menautkan alis.

"Hah? eh--nggak," balas Nesya linglung.

"Sama," enteng menjawab. Si Mamang terkekeh. "Kenalan lah, tak kenal maka kenalan."

"Eh bukannya tak kenal maka tak sayang, den?" bingung si Mamang. Raga dramatis memegang dada pura-pura terkejut.

"Saya laki maco lho mas, sayang-sayang?" katanya. Perut Nesya geli, terbahak kemudian. Matanya memecing melihat puluhan motor pariwitasa. "Inilah bukti kerja keras tidak akan mengkhianati hasil, liat sya si Mamang banyak motor nggak sombong."

"PUNYA ORANG!" pelotot Nesya sebal, Mamang tertawa menghargai anak muda yang coba membuat gadisnya tersenyum.

"Karna apa, mang?" bertanya dengan nada jenaka.

"Semua cuma titipan dari Allah," ujar si Mamang. Raga mengacungkan jempol setuju.

Jam tangan Raga mungkin hampir seharga lima sampai tujuh kendaraan disini tetapi pemakainya merakyat, bunda dan ayah tidak melarang Raga memakai apapun yang dilarang adalah memiliki sifat meninggi.

"Oke lah, saya sama Nesya masuk dulu mang ada rapat sama lumba-lumba," pamitnya dibalas tawa serta anggukan.

Sungguh, kalau boleh jujur kalian tidak akan bosan bila mendengarnya bercengkrama dengan siapapun walau topik yang di ambil terkadang membuat heran.

Beres urusan tiket mereka berkeliling, kicauan burung menyambut saling bersautan dengan suara hewan-hewan di kandang mereka masing, pohon mengakar hampir terlihat di sepanjang jalan menjadikan sekitar teduh, hanya beberapa cercah cahaya yang masuk dari sela-sela daun meranggas yang berjarak.

"Hutang negara nggak usah dipikirin yang penting mah perikanan lancar, bukan, udah bukan Bu Susi lagi menterinya. Apa, mau nyalon? bapak kan nggak ada rambutnya apa yang mau disalonin?" cerocos Raga pada lumba-lumba, dia benar-benar berdiskusi tentang negara dengan para hewan biru menggemaskan ini. "Oh, nyalon jadi menteri? bilang dong pak, ngode mulu kaya cewek," katanya melirik Nesya yang mengusap-ngusap kepala lumba-lumba.

"Apaan? nggak tuh, sok tau lo."

Range frekuensi suara lumba-luma berdenging memenuhi penjuru ruangan luas serba bercat putih ini, kebiasanya yang selalu menyundul-nyundul mengajak bermain amat membuktikan spesies mereka ramah.

"WEEH GAK ADIL?" seruan Raga marah. Nesya sendiri tercenung pipinya dikecup oleh lumba-lumba, rambut sebahu Nesya terciprat air.

"Apa?" tanya Nesya mengusap wajah.

Raga membuang muka, mimiknya jutek dibuat-buat. "Enak aja ngambil bagian gue."

"Bagian?" Nesya terdiam sebentar, sejurus wajah jutek Raga basah oleh cipratkan Nesya. "GARING LO!"

"Ini udah basah, sya?"

"DIEM."

Mengalum tawanya, bukan lagi tawa menyebalkan bagi Nesya, kali ini tawanya terdengar menyenangkan, menjelama sejenis nikotin. Candu.

Tahu apa yang Nesya coba ketika bertemu kura-kura?

"Assallamu'allaikum," salam Nesya lugu, mengetuk tiga kali.

Raga berdehem mengubur sesaat rasa ingin memeluk gadis lucu di sebelahnya ini. "Wallaikumsalam... INI PADA KENAPA SIH?" amuk Raga cemberut. "KENAPA INI HEWAN-HEWAN GAK ADIL?" Raga protes, menepuk pelan rumah kura-kura. "Pak saya kemarin salam lima kali nggak dijawab-jawab lho pak? Mandang fisik apa gimana nih? tau aja pak yang cakep. Saya gak terima ya, pak."

Gigi Nesya sampai pegal banyak tertawa. Apalagi saat penjaga mengucapkan. "Itu jenis kelaminnya perempuan, Kak."

Menghilangkan malu Raga menggaruk tengkuk. "Bukan, Bu. Tenang tagihan daster Ibu udah saya lunasin, besok-besok mau beli lagi bilang aja."

"Oh udah pinter nyogok lo ya? jangan mau Bu, korbannya banyak," bisik Nesya menutup sebelah mulut tetapi masih dapat terdengar.

"Lo mau juga? motif apa, batik mau?"

Nesya berdeisis memutar bola mata. "Nggak, gue belum mau pake daster."

"Kalo bukan cewek daster artinya lo cewek seblak ya?" tatapan heran Nesya memecing pada Raga. "Iya itu lho yang maniak seblak, tiap kumpul wajib beli seblak?"

Kepala Nesya menggeleng diiringi tawa. "Ngaco, nggak. Gue sayang usus."

"Sayang juga."

"Juga apa?"

"Sayang orang yang sayang usus," katanya menadapatkan cubitan perut dari Nesya.

Kura-kura disini berukuran cukup besar, mereka termasuk hewan amfibi yang dimana bisa hidup di darat juga dalam air. Diselingi candaan si rambut putih Nesya terus memberikan kura-kura makan.

"Testudines."

"Teletabis?"

"Berpelukan, dong?"

Oke, Nesya menyesal telah mempelesetkan kata yang akhirnya jadi keuntungan bagi Raga. "Ogah, apaan Testudines?"

"Nama ilmiah kura-kura," katanya bergestur kalem, mode guru dadakan sepertinya akan berlangsung segera. "Tau?"

"Baru aja tau, tadi."

Raga terkekeh. "Tau dongeng kura-kura ngalahin monyet di balap lari?"

"Tau, monyet yang kalah karna nyepelein kura-kura, kalo gak salah? gue nggak terlalu suka dongeng," ujar Nesya, tipis menampilkan senyum kecut.

"Pesan lain, seberat apapun beban kalo kita usaha pasti bisa. Apa yang bikin berat?" tanya Raga, posisi mereka jongkok depan kura-kura.

"Yaa, rumahnya lah!"

"Dikesempatan lain rumahnya bikin beban dan di momen hujan petir angin kenceng rumah jadi alasannya buat bersyukur nggak perlu repot-repot nyari perlindungan, gak percaya? tanya langsung," saran Raga melirik kura-kura. Nesya merenung. Benar.

Tempurung kura-kura punya kekurangan serta kelebihan, dan----bukannya hidup juga memang seperti itu?

Direnungan Nesya suara berat Raga nyaring kembali berbunyi, lembut diresapi. "Sesulit apapun resiko punya rumah kura-kura bakal jauh lebih kesulitan kalo nggak punya tempat berlindungnya. Filosofi ini juga berlaku buat mahluk paling istimewa ciptaan Tuhan kaya kita, sya. Bagi beberapa orang rumah adalah tentang seseorang, tempat pulang dari berperang. Ngelawan berbagai skenerio pahit dari Tuhan, kita kuat dan Tuhan percaya umatnya hebat."

"Jadi orang-orang yang terlalu lama dikasih skenario pahit dia paling kuat dan paling hebat?" tanya Nesya, wajahnya cerah.

"Yeaah, good girl. Tuhan percaya orang itu bisa ngelewatinnya," jawab Raga menyunggikan senyum juga tatapan penuh arti. "Sya?"

"Iyaa?"

Jeda. Kening Nesya terlipat meminta Raga lanjut berucap. Oh, entah apa jantung Nesya berdebar tidak karuan karena sebelum lanjut berucap Raga menarik nafas dalam-dalam.

Semakin membeku takala pundaknya dicekal dua tangan Raga, hanya tatapan teduh tanpa suara, abu-abu sekitar Nesya berubah berwarna. "Can you be my home dan jadiin gue tempat pulang lo?"

Mungkin ajakan Raga di detik ini ada diatas tingkat mengajak berpacaran atau berkomitmen, embel-embel jalani saja dulu.

Siapapun tolong jelaskan pada Nesya yang payah sekali hal-hal berbau seperti ini karna biasanya Nesya hanya tahu dari novel-novel romance, sekali sebelumnya tidak pernah merasakan.

Santai-santai begitu bagi Raga mengikat hubungan dengan gadis juga baru pertama kali dalam hidupnya. Untuk mengusir kecangguangan Raga cepat-cepet terkekeh khas, perhitungan otaknya sudah tahu Nesya akan berucap apa.

"Mungkin dari awal lo emang bukan tukang ojeg yang dikirim takdir buat bikin gue nggak kejebak hujan, tapi lo ... lo lebih dari itu," balas Nesya menyengir kikuk, untuk tiga detik kedepan wajah keduanya menggilkan, siapapun pasti tertawa melihatnya.

"Kok gak garing?" itulah respon Raga yang membuat Nesya mendongkak, langit terlihat gelap. Maklum saja sebab kata 'garing' keramat milik nona manis.

"Karna bentar lagi mau ujan," kekeh Nesya. Kedua manusia tersebut tertawa.

Kata Raga harus cepat pulang untuk menghindari para hewan-hewan menyukai tawanya, pada hewan saja Raga enggan berbagi.

"Duduk tunggu disini, gue mau beli H02," perintah Raga serius, biarkan dirinya yang mengantri. Raga tahu terlalu lama berdiri bisa membuat kaki kesemutan.

"H02?"

"Air," santai menjawab sambil menyentil kening Nesya, celah jarinya bergerak menyisir rambut.

Nesya ditinggalkan dengan mulut sedikit terbuka. "BIO GUE GAK JELEK-JELEK AMAT YA!" misuh Nesya berteriak, sebal menyadari senyum mengejek Raga yang tahu dia sedikit lemot.

"Eh, apaan nih yang jatoh." memang dari saku celana Raga ada benda jatuh, kunci motor. "Thank you?"

Oke....

Semua kunci dasarnya sama saja, disini pembedanya ialah gantungan. Ingat malam kala Nesya dimintai tanda tangan oleh Raga? ia diam-diam sempat menuliskan. Thank you ditambahi bentuk love. Ah, jangan membalas bentuk love, dia memang betulan membuatnya dalam keadaan sadar.

Kertas tersebut oleh si menyebalkan Raga gunting kemudian dilaminating dan berakhir jadi gantungan kunci.

"Idih, kerajinan banget?" dengus Nesya mengipasi wajah sendiri menghilangkan rona pipi merah.

Mengantri bukan kegiatan menyenangkan, bagian menyengkan ada kala mata kepalanya sendiri melihat dari jauh Nesya duduk sebelah Kakek tua mengobrol pakai bahasa isyarat, sesekali tertawa.

Si kakek pamit pergi bersamaan dengan datangnya Raga. "Nih."

"Siapa yang minta ice cream?" suara jutek khas keluar dari mulut Nesya. "Gak mau."

Raga duduk di sebelah Nesya, gadis itu menyambar kasar botol Aqua yang diampit ketiak Raga. "Sayang lho sya, ini manis."

"Gak," ketus Nesya datar. Usil Raga mendekatkan ice cream rasa coklat ke dekat pipi, Nesya menggeram marah sambil menepis kasar.

Ice cream yang sama sekali belum dicicipi jatuh ke bawah. Raga tertegun. "GAK USAH MAKSA!"

"Oke," finall Raga mengalah. Tahu suana hati Nesya begitu memburuk hanya karna melihat ice cream menggugah selera ini.

Senyap melingkupi kursi besi. Ice cream stroberi Raga sisa setengah. "Bentar lagi ujan, mau ujanan?"

"Kulit lo sensitif," tolak Nesya enggan memandang Raga yang tersenyum simpul.

"Takut gue sakit, sya?"

"Cih."

"Kakek tadi siapa lo?" mencomot topik enam menit lali. Bahu Nesya mengedik. "Orang gak kenal?"

"Iya."

"Ngobrol apa tadi?"

Penasaran Raga membuahkan hasil manis, wajah Nesya belok ke arahnya. "Kakek tadi datang berdua sama cucunya, khusus, karna hari ini cucu kecilnya ulang tahun. Kakek mau ngado kalung emas, tapi tokonya gak mau nerima uang recehan." Nesya tertawa kecil diimbuhi kecut. "Selagi gak maling kenapa larangan konyol itu ada?"

"Itu alasan lo kasihin kalung lo ke kakek tadi?" iris mata Nesya bergerak ke kiri agar tidak bertemu netera cokelat Raga.

"Cucunya perempuan, umur empat taun. Lucu, cantik.... kuat, karna ayah ibunya udah nggak ada, si kakek bayar kok pake uang receh tadi," kata Nesya meronggoh saku rok abu, mengeluarkan ratusan uang bentuk koin yang tersimpan dalam pelastik es. Lanjut tersenyum seluas samudra.

Kesadaran Raga muncul ketika cairan ice cream mengenai tangannya. "Belajar bahasa isyarat dari mana?"

"Mendiang nenek. Nenek gue tunarugu bawaan lahir, kakek tadi bikin gue ke inget beliau," ucap Nesya, netranya menjukan rasa iklas meski teramat sulit.

Suara Raga tercekat di kerongkongan. "Dia pergi duluan karna penyakit diabetes, makannya gue nggak suka manis kalau bukan coklat panas," imbuhnya. Raga tersedak, bibirnya celemot ice cream.

"Sya... maaf---"

"Pulang!" ajak Nesya menarik lengan Raga sebab gerimis mulai turun.

Menepi di depan toilet umum, miliaran tetes hujar berlomba-lomba mendarat ke permukaan. "Gak suka manis tapi suka gue, gimana si sya?" tanya Raga percaya diri.

"Lo asem."

Tampias air hujan membasahi ujung sepatunya, disitulah Nesya bergumam. "Makasih hujan."

Telinga tajam Raga sayup mendengar.

********

Sisi jalan pukul delapan malam, pecel lele jadi hidangan makan malam sebelum penutup hari melelahkan karna sudah rapat dengan lumba-lumba dan membahas filosopi tempurung kura-kura.

"Bentar, gue mau cuci tangan dulu," ujar Nesya mendapat anggukan Raga.

Cepat berbalik setelah dirasa bersih, Nesya tertegun sesaat ketika meyaksikan Raga jongkok memberikan makan kucing paha ayam mentah. Raga kenal kebiasaan Nesya bila dipertemukan kucing, lebih sibuk memberikan kucing makan sampai melupakan perut kosongnya.

Kejadian kecil yang menghapus seluruh pernyataan Nesya jika Raga memang tidak bisa disamakan dengan major. Mereka dua diri yang bergender sama namun berbeda dalam memperlakukan wanita.

Dua sudut bibirnya terangkat disusul pandangan hangat.

"Major gak suka makan di tempat kaya gini," kata Nesya lanjut memasukan lalapan.

"Sukanya dimana?"

"Dimana aja asal jangan sisi jalan, depan dia gue gak pernah senyum kalo bukan senyum kiri. Di tempat bebas kaya gini biasanya kalo beli sama gue dia minta bungkus, makan di rumah. Karna apa tebak?" alis Nesya terangkat.

"Karna ada kucing, depan kucing lo banyak senyum dan dia gak mau liat lo bahagia walau cuma senyum kecil doang," balas Raga santai. Nesya tersedak segera minum.

"Lo?" kehabisan kata. "Lo serem tau gak, raga?" mimik terkejutnya lucu.

"Dan major jadiin kucing musuhnya?"

"RAGAAAA?!" nadanya meninggi hingga si Mamang menoleh.

"Siapapun yang bikin lo seneng bakalan dijadiin musuhnya termasuk gue, tapi gue gak takut, major punya tato gue punya lo," enteng Raga menyengir. Dua kali Nesya tersedak.

Untuk menatap mata Raga saja Nesya malu, alhasil diam menghabiskan makanan.

"Kata Bunda biar gak sakit makan ikan jangan sama cucuknya." Raga tidak betah lama-lama kunci mulut.

"Bunda bilang apa lagi?"

"Kalo makan jangan pake kaki, gak sopan."

"Lebih ke kurang ajar kali?"

Raga terkekeh, mengangguk. Nesya bergumam seraya menguyah. "Lo deket banget ya ga sama, bunda?"

Suara tegakan air dari kerongkongan Raga samar terdengar. "Iya. Tapi masa dia gak udang gue dinikahannya sama papa? ah tapi nggak papa, soalnya pas sama ayah gue diundang ko, waktu itu gue masih kecil jadi gak bisa bantuin bunda buka amplop."

"Lo ... punya bokap dua?" tanya Nesya melihat selarik kesedihan di gurat wajah Raga. Anak itu mengangguk, Nesya tersenyum simpul. "Nyokap gue juga dua. Wisss keren banget ya, kita? orang-orang kan cuma satu."

Bercandanya anak brokenhome segelap ini?

"Keren bin yatim sih gue," jawab Raga jenawa. Nesya tertawa.

Tiba-tiba saja Nesya menceletuk. "Bunda lo pasti mau punya mantu yang cantik ya? karna kalo gue liat-liat lo nggak jelek-jelek amat."

"Bilang gue cakep susah amat?"

Nesya mengibaskan tangan. "Gak akan."

"Cantik?" Raga bergumam, menunjuk wanita di seberang jalan. "Mbak disana cantik gak?" arah tunjuk Raga dilirik oleh Nesya.

"Cantik."

"Kalo yang duduk di taman rambut riap-riap sana, cantik?"

"Cantik."

Yang ketiga Raga menunjuk wanita berbadan gemuk dekat ruko. "Cantik, kenapa sih? cantik itu relatif ga, cara ngebandingin gak akan bikin gue bilang si kulit putih juaranya."

"Terus ngapain nanya gitu kalo dari awal cantik itu relatif di mata lo?" tanya si rambut putih.

"Ya emang, itu kan menurut gue bukan menurut lo. Jadi gue cantik?" sedikit narsis tetapi dia terkadang sering merasa jadi babu bila disandingkan dengan Raga.

"Kalo menurut gue yang cantik itu banyak, lo salah satunya. Karna cantik udah bukan hal yang langka jadi bunda mintanya cari yang baik, eh ternyata lo punya dua-duanya."

Ribuan kupu-kupu terbang diperut Nesya, meski responya hanya berdecih. "Banyak lagi cuma lo belum ketemu aja, gue nggak sebaik keliatannya. Kenapa harus gue?"

"Hari ketiga sekolah di kintaro kenapa lo gak jajan?" alis Nesya bertaut, coba mengingat.

"Karna duit gue abis ngeborong koran anak kecil di lampu merah, kasian dia sedih liat gue pake baju seko-----LO NILAI GUE BAIK CUMA KARNA ITU?" meningkat suaranya tidak menyangka Raga melihat kejadian itu.

"Ini tentang kenapa kan? penduduk kota Jakarta mencapai 10,56 juta jiwa. Gue pilihnya elo, lo tanya kenapa? gue juga bingung, kenapa dari banyaknya penduduk Jakarta cuma lo yang bantu anak kecil itu?" telak Nesya terdiam oleh untaian santai kata-kata Raga.

"Gue.... gue cuma gak mau bikin dia sedih, dan... dan korannya nggak laku-laku, ga. Anak itu juga bilang belum makan. Sori kalo emang agak ngaco, gue juga takut. Takut hukum di Indonesia makin dianggap bahan lawakan cuma karna ada rakyat kecil yang nyuri makanan, sanksi dakwa mereka lebih diberatin dari pada koruptor. Banyak khasus yang udah-udah, dari pada harus koar-koar setelah kejadian bakalan jauh lebih baik antisipasi duluan kan, ga? dari hal kecil itu gue mungkin gak jajan sehari tapi nggak papa, itu nggak akan bikin gue mati," jelas Nesya. Ketentuan nikah sudah terbayang-bayang dipikiran Raga.

"Besok-besok ajak gue ya? biar lo punya temen buat nggak jajan pake alesan nyari reperesi buku belajar di perpus," gurau Raga mengedipkan satu mata.

Mati sudah harga diri Nesya.

******

Sekujur badan terasa lengket, helem diberikan pada sang pemilik, bergegas turun. Satu hal, Nesya meronggoh rok abu, tutup pulpen dibuka menggunakan gigi kemudian lengan Raga ia tarik.

"Thanks for time?" ejaan Raga dibalas anggukan oleh Nesya yang semakin menarik lengan Raga, ternyata belum selesai.

Diakhiri love yang sama seperti digantungkan kunci, menpiskan jarak, Nesya berbisik pada telinga Raga sampai harus jingkat.

"Jangan lupa dilaminating juga," katanya melongos tidak tanggung jawab.

Di motornya Raga membeku, otak memgambil keputasan akhir yang bukan menggambarkan diri seoarang Maharaja Amongraga.

Ia tidak akan mandi agar bacaannya tidak hilang.

Tidak mandi.

*******

Raga pernah rambut pendek terus item, gini('∩。• ᵕ •。∩')


Continue Reading

You'll Also Like

950K 2.9K 19
21+ Ria, seorang ibu tunggal, berjuang mengasuh bayinya dan menghadapi trauma masa lalu. Alex, adik iparnya, jatuh hati padanya, tetapi Sheila, adik...
529K 40.4K 46
"Seru juga. Udah selesai dramanya, sayang?" "You look so scared, baby. What's going on?" "Hai, Lui. Finally, we meet, yeah." "Calm down, L. Mereka cu...
2.6M 235K 63
⚠️ Ini cerita BL Askar Riendra. Seorang pemuda workaholic, yang mati karena terlalu lelah bekerja. Bukannya ke alam baka, dia malah terbangun ditubuh...
4.4M 98.7K 48
Klik lalu scroolllll baca. 18+ 21+