Ada yang Memang Sulit Dilupak...

By aixora_28

1.4K 367 186

Ini kisahku. Kisah Talitha Saraswati yang bertemu seorang cowok. Duduk satu meja, dapat kesempatan nyanyi bar... More

Intro
Momen Pertama
Momen Kedua
Momen Ketiga
Momen Keempat
Momen Kelima
Momen Keenam
Momen Ketujuh
Momen Kedelapan
Momen Kesembilan
Momen Kesepuluh
Momen Kedua Belas
Momen Ketiga Belas
Momen Keempat Belas
Momen Kelima Belas
Momen Keenam Belas
Momen Ketujuh Belas
Momen Kedelapan Belas
Momen Kesembilan Belas
Momen Kedua Puluh
Momen Kedua Puluh Satu
Momen Kedua Puluh Dua
Momen Kedua Puluh Tiga
Momen Kedua Puluh Empat
Momen Kedua Puluh Lima
Momen Kedua Puluh Enam
Momen Kedua Puluh Tujuh
Momen Kedua Puluh Delapan
Momen Kedua Puluh Sembilan
Momen Ketiga Puluh
Outro
Momen Istimewa 1 (PoV Raga): Kebohongan Jihan
Momen Istimewa 2 (PoV Raga): Kau Cinta Pertama dan Terakhirku

Momen Kesebelas

43 11 7
By aixora_28

Kondisi seperti ini lebih baik. Kamu dengan kesibukanmu dan aku dengan kesibukanku. Kita berada di dunia yang berbeda. Bukankah sejak awal pun demikian?
***

Senin pagi yang lumayan cerah setelah satu minggu penuh diguyur hujan. Untung saja letak sekolah ini bukan rawan banjir, meskipun diapit pesawahan dan dekat dengan sungai. Ya, satu dua bagian memang tergenang air yang cukup tinggi, misal saja lapangan upacara. Sebuah berkah untuk kami yang malas beradu dengan terik mentari pukul delapan pagi.

Aku bisa melihat dari koridor di depan kelas X-5 kalau penghuni ruangan itu sudah cukup ramai. Beberapa gadis tampak mengerubung di meja paling depan baris kedua dari pintu. Kebiasaan yang terjadi jika majalah edisi bulanan terbit. Meski kelas harus membayar untuk bisa mendapatkanya, tetapi kami tidak memprotes. Justru sangat menyambut baik karena beberapa teman yang suka menulis bisa mengirim karya mereka untuk diseleksi. Jika bagus dan beruntung, karya dan nama mereka akan mejeng di sana.

"Tha, buruan sini!" Tiana menghampiriku yang baru sampai di depan pintu. Buru-buru menarik agar segera mendekati kerumunan gadis.

"Ada apa lagi?" Sedikit trauma mengingat beberapa waktu lalu aku diinterogasi mereka.

"Diem-diem kamu punya secret admirer, ya?" Rusy langsung menuding.

Hah? Apa lagi ini? Secret admirer? Ngaco amat, sih, mereka! Mana ada cowok yang suka sama cewek biasa-biasa macam Talitha Saraswati! Ya, ada, sih, beberapa waktu lalu.

"Nih, baca!" Nuri menyerahkan majalah edisi bulan ini. "Di rubrik puisi," katanya lagi memberi tahu letak pasti rubrik yang harus kutengok.

Seperti permintaan gadis itu, aku mengecek halaman yang berisi beberapa puisi. Ekspresi tercengang tidak bisa tidak terlihat dari wajahku ketika membaca sebuah puisi yang jelas-jelas mencatut namaku.

Ini hanya pesan sederhana
Ungkapan rasa dari sang pujangga miskin kata
Bahwa ada debar yang tercipta temu bersua mata
Debar ingin mengenal lebih seorang gadis bernama Talitha

Ya, gadis dengan suara malaikat
Oleh senandungnya diriku terpikat

Mr. Cold

"Bukan Talitha aku kali. Memangnya di sini yang namanya Talitha aku doang?" Aku berusaha menutup kemungkinan jika puisi yang agak kemanisan itu bukan ditujukan untukku. Ya, kali nama Talitha cuma punyaku!

"Ish, Tha! Yang namanya Talitha di sekolah ini, dari kelas X sampai XII, tuh, ya, cuma kamu. Only you!" Runa menegaskan.

Yang lain mengangguk-angguk setuju membuatku mati kutu. Siapa lagi cowok kurang kerjaan yang suka sama Talitha, sih? Tolonglah! Talitha ini cewek biasa-biasa saja. Jangan bikin iri para cewek populer di sekolah ini karena bukan nama mereka yang masuk ke majalah terbit.

"Lagi pada nggosipin apa, sih?" Raga muncul di antara kami.

"Ini, nih, Ga. Talitha punya penggemar rahasia." Nuri yang menyahut.

"Masa?" Raga begitu sangsi dengan fakta yang dibawa Nuri. Jangankan Raga, aku saja sangsi. Bisa saja, 'kan, itu bukan untuk Talitha aku? Bisa saja ada Talitha lain di sekolah ini, 'kan?

"Hu um, Ga. Nih, ada puisi buat Talitha di majalah edisi bulan ini." Tiana mengangsurkan majalah yang tadi kupegang, ke arah Raga.

Cowok itu bukannya cuek malah mengecek kebenaran yang dibawa para cewek tukang gosip kelas ini.

Ehm, sejujurnya, aku sedikit penasaran bagaimana ekspresi Raga saat tahu ada yang diam-diam memperhatikanku. Kan, ya, siapa tahu ....

Aku terbahak seketika, membuat para gadis juga Raga langsung menatapku aneh.

"Kenapa, sih, Tha? Kok, tiba-tiba ngakak?" Melisa menatap ngeri kepadaku.

"Enggak, enggak. Enggak apa-apa. Udah, ah. Aku mau ke bangkuku." Sambil mengibas-ngibas tangan tak jelas, aku berlalu dari kerumunan menuju meja di pojok utara. Masih sambil menertawakan apa yang terpikir tadi.

Astaga, Talitha! Stop menghalu terlalu tinggi!

***

Begitu jam istirahat datang, aku langsung ke Mading, mengabaikan ajakan Nuri dan yang lain untuk mencicipi menu baru di kantin Mbak Yana. Aku ingin mencari tahu siapa penulis puisi itu dan apakah memang ditujukan untuk Talitha aku. Kejadian ini akan mengundang banyak atensi dari seluruh warga sekolah. Jelas aku akan dijadikan bahan gunjingan. Sudah barang tentu, Talitha Saraswati akan menjadi sorotan dan itulah yang paling aku tidak suka.

Setiap karya yang masuk ke majalah terbit harus disetor lebih dulu ke email redaksi Mading. Setidaknya, nama pengirim dari karya itu akan bisa diketahui dari riwayat pesan yang diterima.

"Ciye, Talitha. Punya secret admirer, nih, ya?" Kak Reksa yang memang selalu ada di ruang Mading setiap jam istirahat, mulai menggodaku.

"Diem, deh, Kak. Jangan mancing keributan!" Tatapanku menggalak ke arahnya sebelum fokus mengecek satu per satu email masuk sejak sebulan belakangan.

"Bentar lagi, kepopuleran Talitha bakal mengejar Lusiana." Kak Reksa masih berseloroh.

Aku tak peduli. Aku harus menemukan pelaku yang sudah menjadikanku bulan-bulanan. Seenaknya menjadi admirer cewek yang biasa-biasa saja.

Sayangnya, pencarianku sia-sia. Tidak ada satu pun pengirim email yang mengirimkan naskah puisi tersebut.

Siapa? Siapa yang melakukannya? Jika tidak ada di email, lalu bagaimana bisa puisi itu nyantol di majalah terbit?

Kalau memang tidak ada ada, kemungkinannya pesan tersebut sudah lebih dulu dihapus yang artinya, bisa jadi, pelaku puisi tersebut itu adalah orang yang dengan bebas keluar dan masuk ke akun email Mading.

Jadi, penulisnya adalah anak Mading? Masa, sih?

***

Semua rampung pada waktunya. Proyek menulis yang kami agendakan telah selesai, bahkan sebelum ulangan umum semeter ganjil. Dengan begini aku bisa lebih fokus belajar. Pada ulangan tengah semester sebelumnya, nilaiku sudah cukup memuaskan. Memang ada beberapa mata pelajaran yang perlu lebih ditingkatkan, semisal Bahasa Inggris. Sejak dulu pun pelajaran yang satu ini sudah menjadi momok tersendiri untuk Talitha Saraswati.

Menjelang masa berakhirnya kegiatan belajar mengajar pada semester ganjil membuatku lebih sering berada di ruang Mading. Selain mengerjakan proyek menulis, kami juga harus menyiapkan regu turun lapang untuk meliput turnamen bulutangkis sekabupaten yang pelaksanaannya tepat pada minggu pertama libur panjang. Jika aku terpilih untuk turun lapang di turnamen sekarang, artinya aku harus izin satu minggu tidak menjaga toko Mbak Ginuk. Beliau tidak akan keberatan, tetapi aku yang sayang. Sayang karena harus mengikhlaskan gaji penuh satu minggu yang bisa kupakai untuk membeli dua sampai tiga buku bacaan baru.

Ah, iya. Selama beberapa minggu ini aku tidak pulang diantar Raga. Cowok itu sibuk latihan karena terpilih sebagai perwakilan tim bulutangkis sekolah. Bahkan masuk ke tim inti sebagai pengisi Man Single. Tidak heran, sih. Beberapa kali aku melihat dia latihan, jelas cowok itu mumpuni untuk ikut turnamen. Kepekaannya dalam menghadapi shuttle cock benar-benar keren. Semoga saja dia bisa naik podium tertinggi di turnamen kali ini.

Jangan tanya soal bagaimana hubungan kami. Tidak ada yang berubah. Cowok itu selalu irit berbincang denganku jika di kelas. Tidak pernah pula menegaskan tentang hubungan macam apa yang kami bangun.

Aku pun masih belum menemukan Mr. Cold yang menulis puisi terkhusus untukku. Yakin itu untukku? Tentu saja. Karena setelah kucek satu per satu daftar isi per kelas, hanya ada satu nama Talitha. Hanya Talitha Saraswati yang mendiami kelas X-5. Meski aku masih menduga satu kemungkinan lain. Puisi itu hanya fiksi yang meminjam namaku, bukan diperuntukkan bagi Talitha.

Fiuh!

Sia-sia usahaku untuk menjadi siswi biasa-biasa saja yang tidak menonjol dalam hal apa pun. Semua berawal dari penampilan seni di Persami kemarin. Ditambah lagi aksi manggung bersama Raga di HUT SMP sebelah yang sudah pasti dihadiri beberapa anak SMA dan SMK sekitar. Kak Reksa saja tahu. Artinya cowok ini nonton, 'kan?

Porseni nanti, aku tidak masuk saja daripada diminta menjadi perwakilan untuk lomba nyanyi.

Aku lihat pintu kelas masih buka. Kamu masih di sana?

Sebuah SMS masuk dari Raga.

Hu um

Ini hari Sabtu, tetapi Kak Rosiana meliburkan kami untuk persiapan menjelang ulangan umum. Berhubung setiap Sabtu aku tidak menjaga toko, maka kuputuskan untuk menikmati sore di sekolah. Pun tadi saat bel pulang, hujan masih menderas. Semangatku untuk segera pulang seketika menguap. Jadilah aku menghabiskan waktu di kelas ini. Tadi, sih, masih ada Tiana, Akmal, Nuri, Melisa, dan Dei. Sepertinya, begitu hujan agak reda, mereka langsung pulang. Kok, aku tidak sadar keluarnya mereka, ya? Apa saking khidmatnya melamun?

Kucek ponsel dan tidak ada lagi balasan SMS darinya. Kembali kutatap jendela utara yang mengembun akibat hujan beberapa saat lalu. Tampak mendung masih menggelayut di langit. Seharusnya aku segera pulang agar tidak kembali terjebak hujan. Namun, langkah ini begitu berat. Masih ingin berlama-lama di sini. Mumpung tidak ada tanggungan apa pun, baik di rumah, di ruang Mading, maupun di toko Mbak Ginuk. Jika beruntung dan petang nanti sudah cerah, aku bisa kembali melihat sunset yang seperti beberapa waktu lalu. Flamboyan di depan sekolah juga masih berbunga, bahkan bertambah lebat. Warna oranyenya sangat cantik jika dilihat saat senja.

"Asyik banget nontonin jendela?"

Aku menoleh ke suara di pintu masuk. Dia berdiri sambil menyender ke kosen pintu. Kedua tangannya menyilang di dada. Rambut kriwilnya tampak lepek. Aku masih bisa melihat jejak keringat di wajah dan kaos hitam yang dipakai.

"Mumpung jendelanya enggak protes kulihatin mulu." Aku kembali menatap jendela. Posisiku duduk di atas meja.

Langkahnya terdengar mendekati tempatku. Diturunkan kembali bangku yang sudah ditaruh terbalik ke atas meja--meja kami--untuk diduduki.

"Tumben enggak langsung pulang."

"Lagi pengen lama-lama di sini aja."

"Enggak ke toko Mbak Ginuk?"

"Kan, Sabtu. Aku dikasih libur."

"Mading?"

Aku menggeleng. "Kak Rosiana ngasih libur untuk persiapan menjelang ulum."

"Oh."

"Kok, tahu kalau aku yang masih ada di kelas?" tanyaku balik. Iya, juga, ya. Kok, dia tahu kalau aku yang masih di kelas, ya?

"Insting aja."

"Masa?" Aku tantang kedua matanya.

"Serius." Jari telunjuk dan tengahnya membentuk huruf V.

Aku tidak percaya. Kelas ini berhadapan langsung dengan lapangan bulutangkis. Tentu saja dia bisa melihat siapa yang ada di dalam sini dari lapangan.

"Masih enggak percaya." Aku melengos dan kembali memperhatikan arakan awan di langit utara.

"Kamu enggak harus percaya, kok."

Ish! Susah banget menghidupkan obrolan dengan makhluk satu ini.

Sepanjang beberapa menit, kami sama-sama diam. Kadang bingung juga ingin mengobrol apa dengannya. Meski kami berdekatan seperti ini, tetap saja seperti ada tembok tak kasat mata yang menghalangi ruang masing-masing.

"Tha?"

"Hm?"

"Udah ketemu sama si penulis puisi kemarin?"

Aku menggeleng dengan wajah frustrasi. Sampai detik ini, aku tidak menemukan pelakunya. Entahlah. Tidak banyak orang yang bisa kucurigai di Mading. Sempat menginterogasi Kak Reksa, memintanya mengaku, tetapi dia bilang bukan dia. Aku sendiri yakin kalau itu bukan dia, sekalipun Kak Reksa mengaku suka kepadaku. Pasalnya, membuat puisi romansa bukanlah keahlian si Kakak Buaya.

Dia berdiri di hadapanku kini, bersender ke tembok. Tatapannya lurus menantang kedua mataku.

"Kamu percaya enggak kalau puisi itu aku yang bikin?"

Tawaku meledak mendengar pengakuan paling tidak masuk akal darinya. Puisi itu buatan dia? Tidak, itu tidak mungkin. Setiap tugas puisi dari Bu Nurma saja, dia selalu mendapat nilai pas-pasan.

"Jangan becanda, Raga! Nilai untuk tugas puisi kamu aja enggak lebih besar dari punya Akmal."

"Sudah kuduga. Kamu enggak akan percaya."

"Iyalah. Ngaco banget itu, sih."

"Padahal ...."

"Apa?" Dia tadi bergumam, tapi aku tidak bisa mendengar lanjutannya.

"Enggak. Bukan apa-apa. Aku laper. Temani aku ke kantin, mau?"

"Traktir, tapi."

"Iya. Ayo!"

"Okeh, eh, tapi aku enggak langsung pulang sehabis dari kantin."

"Mau ngapain?"

"Lihat sunset."

"Entar aku temani. Bawa aja tasnya langsung ke kantin terus kunci pintu kelas."

"Siap!"
***

Satu semester sudah aku di sekolah ini. Asam manisnya menjadi murid kelas X pun setengah jalan terlewati. Satu minggu sebelum pembagian rapot, sekolah akan mengadakan Porseni alias pekan olahraga dan seni. Akan ada banyak hal yang diperlombakan. Mulai dari lomba bulutangkis, basket, futsal, cerdas cermat, deklamasi puisi, mendongeng, dan nyanyi. Aku sudah mewanti-wanti ke Akmal untuk tidak ikut lomba menyanyi dan memilih masuk ke tim Cerdas Cermat.

"Lagian, Mal. Kan, lomba nyanyinya khusus solo. Enggak boleh duet, we."

"Kamu bisa nyanyi solo, 'kan?" Akmal masih kukuh mendorongku ke jurang.

"You tahu I enggak bisa nyanyi kalau enggak duet, 'kan?" Aku sampai berkacak pinggang di depan cowok ini agar si Bapak KM bisa mengerti posisiku.

"Ya, terus siapa, dong? Yang bisa nyanyi di kelas X-5, kan, cuma kamu, Tha."

"Dih, pakai enggak inget! Kan, masih ada Raga. Dia jago juga, 'kan?" Aku menatap galak Akmal. Kadang-kadang dia pelupa parah.

"O, iya! Raga!" Akmal langsung menoleh ke bangku yang diduduki Raga. "Ga, perwakilan nyanyi, ya?"

"Hah? Kan, perwakilan bultang, Mal."

"Double enggak apa-apa. Lagian enggak bentrok, kok. Bultang hari Jumat kalau Nyanyi hari Rabu."

"Solo?"

"Iyalah. Enggak denger tadi kita debat?"

Raga tampak menimbang. Ada enggan di wajahnya. Tatapannya justru mengarah kepadaku. Aku langsung menangkup kedua tangan sebagai isyarat agar cowok itu mau menjadi perwakilan.

"Okeh, deh."

Akmal kembali menatapku.

"Nah, semua udah beres, 'kan? Siapa untuk mewakili siapa udah okeh semua, 'kan?"

"Iya, iya. Heran. Punya suara bagus, tapi enggak mau unjuk gigi."

"Males."

Akmal menepuk dahi.

Langkahku bergegas menuju ruang Mading. Hilir mudik anggota menjadi pemandangan yang pertama kali kutemui. Beberapa senior tampak menata buku-buku yang kemarin kami selesaikan. Selain untuk arsip, beberapa di antaranya untuk guru-guru dan rekan yang mengapresiasi usaha kamu dengan membelinya. Meski tidak banyak, tetapi keuntungannya lumayan untuk kas Mading.

Usai mengantar beberapa eksemplar ke peng-order, aku bersiap-siap terjun untuk liputan Porseni. Syukurnya aku tidak mengalami remedial. Semua nilai ulangan umum semester ganjil berada di titik aman, bahkan melebihi ekspektasi. Jadi, selama satu minggu berjalannya Porseni, aku bebas dari tanggungan mumet susulan akibat remedial.

Perlombaan hari pertama dimulai dengan mendongeng, deklamasi puisi, dan basket. Aku memilih meliput pertandingan basket. Lumayan, 'kan? Sambil menyelam minum sirup. Selain menyelesaikan tugas, aku bisa cuci mata. Dengar-dengar, tim basket sekolah ini memiliki stok cowok-cowok tampan yang cukup bikin kenyang mata saat memandang. Terbukti dengan banyaknya penonton cewek memenuhi pinggir lapangan. Pertandingan paling menarik untuk hari pertama.

Untuk hari kedua, aku tidak ikut meliput karena harus memenuhi tugas negara bersama Akmal, Dwi, dan Melisa. Tim Cerdas Cermat X-5 lumayan kuat. Bahkan, kami bisa melengserkan tim-tim kelas XI dan XlI. Sebenarnya, sistem permainannya sendiri tidak berbentuk tim. Penilaian tetap dilakukan secara perorangan. Siapa yang bisa bertahan sampai akhir, ya, dialah pemenangnya.

Entah sedang beruntung atau memang kapasitas otak kami yang lumayan. Pada sesi final menyisakan aku, Dei, dan seorang cewek dari kelas XI. Beban sekaligus haru. Sorak-sorai dukungan terdengar dari pinggir lapangan bulutangkis yang dijadikan arena adu cerdas kali ini.

Sayangnya, Dei harus gugur di pertanyaan final kelima. Menyisakan aku dan cewek kelas XI. Gila kali, ya, kalau sampai aku bisa mengalahkan si kelas XI ini?

"Bisa, Tha! Bisa!" Itu teriakan Nuri. Teriakan paling semangat yang sejak tadi kudengar.

"Ayo, Tha! Demi X-5!" Itu Tiana. Sebelas dua belas dengan Nuri tipe semangatnya.

Aku meringis canggung ke lawan yang duduk di sebelah kanan. Bukan ingin menjatuhkan martabatnya sebagai kakak kelas, tetapi sebagai junior, aku harus bisa menunjukkan taring.

Asal jangan setelah ini kepopuleranku memuncak. Semakin menjadi sorotan khalayak, semakin tinggi kesempatan seseorang untuk populer dan itu bukan jalanku.

Setelah melewati lima belas pertanyaan final, kami sampai di garis akhir. Pemenangnya?

"Hu hu hu. Talitha keren!" Tiana langsung menubrukku begitu jawaban dari pertanyaan terakhir keluar dan lawanku tidak memiliki jawaban yang sama.

"Enggak sia-sia ngotot masuk ke tim Cerdas Cermat." Nuri menepuk-nepuk bahuku, seolah pelatih bangga ke anak asuhnya.

"Peluk Talitha juga, ah!" Dei sudah ingin memelukku, tetapi langsung ditarik Akmal.

"Cowok enggak pake peluk-peluk yang bukan istrinya!" Akmal memperingatkan dengan mimik galak.

"Pelit, ah, Akmal!" Dei memberengut.

Sementara aku hampir sesak napas karena dipeluk oleh hampir seluruh gadis X-5.

"Tolong lepasin, wei! Talitha bisa mati sesak napas ini!" gubrisku, tetapi tak didengar dan mereka masih memelukku dalam euforia yang tak bisa dilerai.

Nikmati nasibmu, Tha!

***

Continue Reading

You'll Also Like

1.2M 82.6K 70
Sebelumnya, Andra selalu mengutuk hari-harinya saat bertemu Adyra. Tapi semakin lama, bayangan sorot mata ceria sekaligus meneduhkan itu selalu memen...
3.7M 352K 58
(Novel Di Usia 16 sudah tersedia di toko buku offline dan online @maple_books) Maira masih menunduk, tidak berani menatap lawan bicaranya saat ini, s...
ALEANDRA By checel

Teen Fiction

276K 21.9K 36
Menurut Aleya dunia itu kejam,takdir itu mempermainkan dan nasib buruk yang selalu menghantui nya. Terlahir dari keluarga yang tak menginginkan nya m...