KE MANA HABISNYA UANG YANG KU...

By dwi-indrawati

16.8K 472 16

Sebelum baca, jangan lupa untuk follow akunku dan kasih vote yang banyak ya, Kak. Riris bekerja keras di kota... More

Part 1
Part 2
Part 3
Part 4
Part 5
Part 6
Part 7
Part 8
Part 9
Part 10
Part 12
Part 13
Part 14
Part 15

Part 11

939 29 0
By dwi-indrawati

Sepoi angin bertiup menghembus wajah pria yang tengah berdiri di atas balkon lantai dua rumah Oma Eliz. Bertumpu pada dua siku yang diletakkan di atas teralis balkon, sepasang mata elangnya menatap ke bawah.

Tepatnya, pada sebuah mobil taksi yang sedang berhenti di luar pagar setinggi hampir dua meter yang menjadi pembatas halaman rumah dengan jalanan kompleks.

Pikir Ares, siapa yang memesan taksi? Apakah ada yang hendak bepergian?

Pertanyaan Ares pun terjawab ketika sosok gadis manis berambut panjang itu berjalan sambil menjinjing tas berwarna hitam di tangan kirinya.

Tubuh ramping Riris terlihat begitu ringan saat melangkah menuju pagar. Seakan tak sabar ingin naik ke taksi dan segera pergi.

Kening Ares berkerut ketika Riris membuka, lalu menutup pagar. Dan pada saat gadis itu dalam posisi menghadap ke arahnya, sepasang mata mereka saling bertatapan.

Ada debaran halus yang terasa kala sepasang mata jernih itu membalas tatapannya. Debaran itu masih saja terasa meskipun Riris telah masuk ke dalam taksi yang akhirnya membawanya meluncur pergi.

Langkah kaki Ares lebar-lebar saat berjalan masuk ke dalam, terus menuju anak tangga dan menuruninya dengan cepat. Sang Oma sedang berada di halaman samping, sedang memberi makan ikan-ikan hias ditemani oleh Mbak Sumi.

"Oma," sapa Ares, membuat wanita berkacamata tebal itu langsung menoleh.

"Kenapa, Res?" balas Oma sambil melempar senyum teduhnya.

"Aku mau ke luar sebentar. Ada urusan," ujar Ares.

"Ke mana? Menjemput istrimu? Sudah hampir sepekan kamu di sini, tapi Vivian belum datang juga," balas Oma Eliz. Tangan kanannya kembali bergerak melemparkan makanan ikan ke dalam kolam.

"Dia tidak akan datang, Oma. Aku pergi dulu," pamit Ares lalu segera pergi, diikuti tatapan penuh tanya dari Oma Eliz.

"Tuan muda Ares itu, ganteng ya, Oma. Kayak bule," ucap Mbak Sumi sepeninggal Ares bersama mobil sedan mewahnya.

"Papanya kan, setengah bule," balas Oma Eliz. Mbak Sumi pun baru teringat, bahwa mendiang suami majikannya ini adalah seorang WNA asal negeri Belanda.

"Ayo kita masuk, saya lagi pengen minum yang seger-seger," ajak Oma Eliz pada Mbak Sumi.

***

Taksi yang membawa Riris akhirnya tiba di terminal bus Pulo Gebang. Setelah membayar, Riris pun turun dan langsung menuju loket. Setelah mendapatkan tiket, Riris pun segera naik ke dalam bus dan duduk di bangku sesuai yang ia dapatkan.

Setelah seluruh penumpang telah siap, bus pun mulai bergerak perlahan meninggalkan terminal. Riris mengambil air minum kemasan yang sempat ia beli sesaat sebelum masuk ke bus tadi dari dalam tas, lalu meminumnya beberapa teguk.

Rasanya begitu segar dan sejuk kala membasahi tenggorokan yang sejak tadi dahaga. Bersamaan dengan bus yang melaju semakin kencang, Riris justru teringat pada pemandangan saat ia keluar dari rumah Oma Eliz, menghampiri taksi yang telah menjemputnya.

Ingatan bagaimana tatap tajam mata Ares yang dari jarak jauh pun bahkan sanggup memakunya, nyaris membuat Riris nyaris tidak bisa bergerak seolah lumpuh.

Telah sepekan cucu Oma Eliz itu tinggal di sana, dan sepertinya tak ada tanda-tanda pria itu akan pergi. Istri yang katanya akan menyusul juga tak kunjung datang.

Tanpa sadar bibir Riris mendesah lemah. Gadis itu lalu merutuki diri sendiri, mengingatkan pada statusnya yang hanya seorang pekerja di rumah besar milik janda kaya yang tak lain adalah Oma Eliz tersebut.

Keberadaan Ares di sana sama sekali bukan urusannya. Lagipula, kenapa dia harus sibuk memikirkan pria itu? Itu rumah neneknya, jadi dia bebas mau tinggal berapa lama, atau bahkan selamanya sekalipun.

Kepala Riris menempel pada kaca jendela bus yang melaju kencang di atas aspal jalan raya. Kelibat rumah-rumah penduduk sudah mulai jarang terlihat. Riris menikmati pemandangan luar sembari memikirkan sang ibu.

Sesuai rencana sebelumnya, Riris memang sengaja tak memberi tahukan pada Vita dan Yadi mengenai kepulangannya kali ini. Di antara rasa rindu yang menggebu kepada sang ibu, hati Riris juga diselimuti perasaan tak nyaman yang sulit ia definisikan.

Riris merasa seperti ada sesuatu yang akan menyambutnya. Entah apa. Riris hanya berharap semoga bukan hal buruk yang menantinya di kampung.

Dalam hati Riris tak hentinya merapalkan doa. Berharap semoga keluarganya baik-baik, terutama sang ibu.

Bus sempat singgah di sebuah rumah makan agar para penumpang bisa mengisi perut, salat maupun hanya sekadar merokok melepaskan penat.

Karena belum terlalu lapar, maka Riris hanya membeli sebungkus roti isi cokelat dan minuman sebagai pelepas dahaga. Perjalanan masih lumayan jauh, masih sekitar lima jam lagi.

Setelah kurang lebih setengah jam beristirahat, kondektur bus pun memanggil para penumpang untuk kembali ke bus sebab perjalanan akan segera dilanjutkan.

Sepanjang kiri kanan jalan yang dilalui bus, hanya diapit oleh hutan. Terkadang pula pemandangan berganti laut di sepanjang pantai. Saat senja, Riris melihat kilau keemasan pada permukaan air laut yang terlihat tenang.

Bus terus melaju, sementara langit juga terus berarak. Matahari mulai terbenam di ufuk barat dan lampu-lampu jalanan pun mulai menyala. Sesekali Riris meminum airnya, sesekali pula ia berbincang dengan seorang wanita paro baya yang mendapat tempat duduk di sebelahnya.

"Sudah nikah, Nduk?" tanya wanita yang mengaku bernama Bu Wasti tersebut ramah.

"Ndereng (belum), Bu," jawab Riris tak kalah ramah dan santun.

"Berapa umurmu, Nduk?" Bu Wasti kembali bertanya.

"Dua puluh dua, Bu."

"Masih muda, Nduk. Tapi sudah cukup umur untuk berumah tangga."

Riris hanya tersenyum menanggapi ucapan Bu Wasti. Selanjutnya, sisa perjalanan mereka lanjutkan dengan mengobrol santai.

Dari obrolan tersebut, Riris mengetahui bahwa Bu Wasti memiliki seorang putra yang berprofesi sebagai seorang pegawai bank swasta di Jakarta.

Dan Bu Wasti baru saja mengunjungi putranya sekalian berziarah ke makam almarhum suami yang meninggal dan dimakamkan di sana.

"Ingin sekali rasanya Ibuk jodohin kamu sama Rasyid, Ris. Meskipun kita baru pertama kali bertemu, tetapi Ibuk bisa merasakan kalau kamu ini gadis yang baik, santun, dan kelak pasti manut sama suami jika sudah berumah tangga," ucap Bu Wasti sambil meneliti wajah Riris.

Diperlakukan begitu, membuat Riris hanya bisa tersenyum malu dengan wajah sedikit merona merah.

"Manalah mau anak Ibuk dengan gadis seperti saya, Buk. Cuma seorang gadis miskin yang kerja di Jakarta hanya sebagai pembantu rumah tangga." Bukan bermaksud merendah, tapi Riris merasa sikapnya ini merupakan wujud dari rasa sadar dirinya.

"Di mata Gusti Allah semua manusia itu sama, Nduk. Yang membedakan cuma akhlaknya saja. Semoga siapa pun jodohmu kelak, dia adalah lelaki baik yang bisa mengasihi, mengayomi, juga membahagiakan kamu, Nduk," ucap wanita paro baya itu setulus hati dan diamini oleh Riris dengan sungguh-sungguh.

Tanpa terasa, bus yang mereka tumpangi akhirnya memasuki kota Jogja. Dada Riris rasanya mengembang sebab bisa melihat lagi kota kelahirannya. Kota istimewa yang banyak dikunjungi oleh wisatawan dalam dan luar negeri, serta berstatus sebagai kota pelajar.

Hingar bingar dan padatnya para pengunjung di sepanjang jalan Malioboro yang terkenal, membuat dada Riris buncah.

Bus berhenti di terminal Jombor. Riris, Bu Wasti, dan para penumpang lain akhirnya turun dari Bus dengan membawa barang bawaan masing-masing.

"Rumahmu jauh dari sini, Nduk? Ada yang jemput?" Bu Wasti bertanya pada Riris saat mereka semua telah turun dari dalam bus.

"Enggak, Bu. Sekitar lima belas menitan dari sini. Nanti gampang bisa naik ojek, Bu," jawab Riris.

"Numpang saja sekalian sama Ibuk, mau? Itu anak Ibuk sudah datang jemput." Bu Wasti menunjuk ke arah seorang gadis berkacamata yang tengah berjalan ke arah mereka berdiri.

"Matur nuwun atas tawarannya, Ibuk. Tapi ndak papa, saya naik ojek saja. Lagipula deket," tolak Riris halus seraya menangkup kedua tangan di depan dada.

Bu Wasti tersenyum, lalu menepuk pundak Riris pelan, seraya berujar, "hati-hati di jalan ya, Nduk. Mugi-mugi (semoga) kita bisa bertemu lagi lain waktu."

"Aamiin. Insya Allah kalau ada rejeki dan umur panjang nggeh, Buk," jawab Riris.

Kedua orang yang baru saling mengenal beberapa jam yang lalu itu akhirnya berpisah. Bu Wasti bersama sang putri berjalan menuju mobil mereka yang terparkir di halaman, sedang Riris langsung membuka aplikasi untuk memesan ojek online.

***

Di atas kendaraan roda dua milik driver ojek yang melaju, dada Riris terasa berdebar makin kencang. Jarak gang rumahnya hanya tinggal beberapa puluh meter lagi saja. Motor kemudian berbelok ke sebuah gang yang merupakan gang rumah Riris.

Waktu hampir menunjukkan pukul sembilan malam saat ini. Rumah Riris terletak hampir di ujung gang. Motor bergerak pelan karena masih ramai anak-anak kecil yang sedang bermain.

Maklum, ini malam minggu. Mungkin orangtua mereka mengijinkan karena besok mereka libur sekolah.

Saat hampir mencapai rumahnya, beberapa ibu-ibu yang tampak sedang asyik berkumpul sambil mengawasi anak-anak mereka bermain, langsung mengenali Riris.

"Loh, Riris? Stop dulu ... stop!" Salah seorang ibu-ibu agak memaksa menghentikan laju motor yang ditumpangi Riris.

"Yu Naroh," sapa Riris yang mengenali tetangga sebelah rumahnya tersebut.

"Riris ... ya Alloh, jadi beneran ini Riris!" Yu Naroh tampak sangat senang melihat Riris pulang.

Ibu-ibu yang lain juga segera berkumpul. Mereka juga senang sebab akhirnya Riris kembali. Sebab merasa tak enak pada supir ojol, akhirnya Riris memilih turun dan langsung membayar ongkos. Sang driver mengucapkan terima kasih sebelum putar balik dan melesat pergi.

"Ya Allah, untung kamu pulang, Ris. Kasihan sekali ibukmu selama ini tersiksa lahir batinnya gara-gara si Vita sama abangmu itu."

Yu Naroh langsung memulai bicaranya setelah mereka memaksa Riris untuk mampir dan duduk lesehan di teras salah satu rumah tetangga yang kebetulan menjadi tempat mereka berkumpul.

Cerita pun kemudian mengalir. Tak hanya dari mulut Yu Naroh, tapi juga dari tetangga lainnya yang pernah mendengar serta menyaksikan sendiri sikap kasar Vita terhadap Bu Supiah.

Kuduk Riris terasa meremang. Tak menyangka jika kepulangannya akan disambut dengan cerita tak mengenakkan seperti yang didengarnya sekarang ini.

Hatinya gamang, antara percaya dan tidak jika kakak iparnya berlaku sedemikian kejam terhadap ibunya. Tapi Riris juga tahu, selama ini para tetangga selalu bersikap baik kepada keluarganya. Terutama Yu Naroh yang rumahnya paling dekat dengan rumah mereka.

Rasanya tak mungkin para tetangganya ini berbohong kepadanya, apalagi mengarang cinta. Seolah dapat memahami kebimbangan di hati Riris, Yu Naroh pun kembali berkata, "kamu ikut Yu Naroh ke rumah dulu, Ris. Jangan langsung pulang ke rumahmu. Kita buktikan sama-sama kebenarannya. Gimana?"

Riris menatap tetangganya tersebut. Masih ragu. Namun setelah didesak oleh para tetangga yang lain, gadis berhidung bangir itu pun mengangguk setuju.

Riris mengikuti langkah Yu Naroh menuju rumahnya yang bersebelahan dengan rumah ibu. Memandang rumah itu, hati Riris kembali gerimis dihujani rindu. Tak sabar sebenarnya ingin berjumpa dengan ibu tercinta.

Riris baru hendak memasuki pekarangan depan rumah Yu Naroh ketika terdengar suara teriakan melengking dari dalam rumah sederhana semi permanen yang merupakan rumah Bu Supiah.

Riris dan Yu Naroh saling bertukar pandang. Wajah Riris langsung pias ketika telinganya juga mendengar suara lain berupa tangis lirih.

"Yu, itu ibuk," ucap Riris lirih.

Gadis itu hendak langsung berlari ke rumahnya, namun Yu Naroh mencegah dengan cara menahan lengan Riris.

"Mana ponselmu, Ris? Tunggu lah di luar rumahmu dan rekam suara kegaduhan ini. Jadikan barang bukti di kepolisian nanti. Kakak iparmu itu sudah waktunya dapat pelajaran."

Ucapan Yu Naroh membuat Riris tercengang.

Continue Reading

You'll Also Like

KANAGARA [END] By isma_rh

Mystery / Thriller

8.5M 586K 93
[Telah Terbit di Penerbit Galaxy Media] "Dia berdarah, lo mati." Cerita tawuran antar geng murid SMA satu tahun lalu sempat beredar hingga gempar, me...
6.8K 396 17
Bagi yang tak tahan dengan adegan dewasa🔞+hubungi straight, Yuri dan bl+lagi adegan pembantaian+pembunuh, disarankan untuk jangan baca cerita ini. T...
515K 33K 43
Berisi tentang kekejaman pria bernama Valter D'onofrio, dia dikenal sebagai Senor V. Darah, kasino, dan kegelapan adalah dunianya. Tak ada yang dapat...
3.2M 226K 29
SELESAI ✔️ "Lo nggak akan bisa keluar dari hidup gue setelah ini. Lucy, lo milik gue. Satu-satunya." - Dean Caldwell Daren Hidup Lucy awalnya baik-ba...