Danau itu gelap.
Entah apa yang menanti William di bawah sana.
Namun hatinya sudah menuntun ke tempat itu. Keraguan, ketakutan, semuanya itu tidak ada lagi. Hanya ada keyakinan dan penerimaan.
William melompat, meluncur masuk ke dalam danau. Berenang dalam gelap, mendekatkan diri, pada sesuatu yang terus memanggil hatinya.
Ia terus berenang, semakin dalam, hingga akhirnya ia melihatnya.
Melihat semuanya. Dasar danau yang terang benderang, dan seekor harimau besar berbulu putih cemerlang yang tengah duduk menatapnya.
"Lama sekali, Ardnar." Suara hewan itu terdengar.
Aneh juga, suaranya bisa terdengar dalam air.
"Lama sekali kau baru menemukanku. Untuk kali ini kau kalah."
William berenang mendekat, lalu melayang di depannya, dan membalas, "Aku bukan Ardnar."
Ini juga aneh. Di dalam air ia bisa bicara, dan suaranya bisa terdengar.
Sepasang mata merah harimau itu—yang jarak antar kedua matanya sebentangan tangan—menatap tajam. "Lalu siapa yang bermain denganku ini?"
"Aku Vahnar, putra Vilnar putra Radnar putra ... entah siapa lagi."
Rokhan si harimau tampak bingung, tetapi kemudian mengangguk.
"Hmm ... aku tahu putra siapa lagi, urut-urutannya dari Radnar sampai ke Hinnar Si Pembantai." Harimau itu menggeram. "Kaukah orangnya? Hmm. Ardnar sudah memilihmu. Aku melihat dirinya di dalam dirimu. Kau benar-benar gila, berani datang ke tempat ini."
"Tuan Rokhan, kau sudah tahu kenapa aku kemari?"
"Tentu saja," jawab harimau itu ketus. "Kau mau mengambil pedang itu. Tapi jawab dulu satu pertanyaan dariku. Buat apa kau mengambilnya? Apakah kau seperti Hinnar?"
"Satu? Itu dua pertanyaan!" William kemudian menghela napasnya. "Aku membutuhkan pedang itu, untuk menyelamatkan jiwaku, agar aku tidak menjadi seperti Hinnar."
Rokhan termangu, lalu mendengus. "Sederhana sekali alasanmu. Bukan alasan-alasan besar seperti tugas, ingin berkuasa, atau menyatukan negeri?"
"Itu ... terus terang masih sulit kubayangkan."
"Bagus!" Rokhan tertawa. "Bagus! Aku justru suka. Jujur, tidak omong besar. Setuju! Selamatkan jiwamu. Jadilah orang baik lebih dulu. Itu jauh lebih penting daripada alasan-alasan lainnya. Toh Ardnar sudah memilihmu, dewa-dewa sudah memilihmu. Aku tidak perlu pusing lagi, mestinya."
"Mmm ... iya, Tuan."
"Kalau begitu, ambillah."
"Di mana?" tanya William bingung.
Si harimau putih mengangkat kaki kanannya.
William terkesiap, begitu melihat sebilah pedang berwarna hitam tertancap dalam di dada hewan itu.
"Kenapa ... kenapa pedang itu ada di sana? Siapa yang melakukannya?"
"Siapa lagi? Tentu saja Hinnar Si Pembantai."
"Kalau aku mencabutnya, apa yang akan terjadi denganmu?"
"Ya mati. Menurutmu?" tukas Rokhan tidak sabar. "Sudah, lakukan saja. Aku memang sudah menunggu mati sejak dulu, tapi Odaran belum mengizinkan dengan berbagai alasan. Bayangkan saja rasanya seperti apa. Amerik dan Ondhar sudah mati di tangan Hinnar. Lalu kemarin Ethrak. Kau yang membunuhnya, bukan? Berarti sekarang waktuku. Aku sudah tidak sabar. Setelah kami semua mati, kami berkesempatan hidup lagi di kehidupan selanjutnya, kalau Odaran membutuhkan kami lagi. Kau mengerti?"
"Ya ..."
"Lakukan."
William mendekat, memegang gagang pedang itu dengan kedua tangan.
Ia mengangkat wajahnya, memandang sang harimau es. "Maafkan aku, Tuan."
"Ya, ya, ya. Lakukan."
William menarik pedang itu kuat-kuat dari tubuh Rokhan.
Seketika cahaya putih menyembur keluar.
Suara dentuman keras terdengar, membuat ia kehilangan kesadarannya.
---
Saat sadar William sudah terbaring kembali di daratan es. Namun kali ini dengan pedang hitam tergenggam di tangan kanannya.
Ia berdiri, masih sedikit lemah dan pusing, tetapi kemudian yakin tak ada sedikit pun luka di tubuhnya. Ia mengikat pedang yang baru didapatnya di belakang punggung, lalu berjalan, menuju ke selatan. Tenaganya pulih. Dalam sehari ia menemukan perahunya yang ada di tepi pantai.
Ia pun mendorongnya dan segera mendayung, menyeberangi lautan.
Setelah beberapa hari ia tiba di pantai suku Andranik, tempat ia dulu berangkat, mungkin sekitar sebulan yang lalu. Di luar dugaannya, ternyata di dermaga ada cukup banyak orang, yang sepertinya sudah menunggu kedatangannya. Mungkin mereka memang sudah melihatnya dari jauh.
Namun tetap saja, ini rasanya aneh dan tak disangka olehnya.
"Heiri Hardingir," seseorang menyapanya begitu ia menginjak dermaga. Federag, kepala suku Andranir. Laki-laki itu menunduk hormat pada William.
"Heiri Hardingir," semua orang mengikuti, memberi penghormatan pula.
William termenung. Istilah itu, Heiri Hardingir, setahunya adalah sebutan kuno yang hanya dimiliki oleh para kepala suku agung dari awal masa, ketika seluruh bangsa Hualeg masih bersatu. Sekarang orang-orang ini memanggilnya begitu. Apakah mereka sudah tahu apa yang baru saja dialami William di utara? Tidak mungkin mereka bisa tahu. Tetapi ... mungkinkah? Atau paling tidak mereka bisa mendengar, atau merasakan sesuatu?
Mungkin begitu. Mereka mengerti apa yang terjadi, setelah melihat pedang hitam keramat yang kini tergantung di balik punggungnya.
"Istirahatlah di tempat kami," Federag mempersilakan.
"Terima kasih," William menunduk sopan, masih merasa sedikit canggung. "Aku hanya perlu sedikit makan, jika kalian tidak keberatan, setelah itu aku harus segera pergi. Maaf merepotkan."
Federag terperangah. "Demi Odaran, kau bisa makan sebanyak apa pun dan juga tinggal di sini selama-lamanya kalau kau mau. Kami akan senang!"
Namun sekali lagi William bilang, ia hanya butuh sepotong daging dan sebotol minuman biasa. Federag pun cepat-cepat menyediakannya.
William makan sebentar, lalu berkata lagi, bahwa ia ingin pulang secepatnya ke Vallanir, dan meminjam perahu, jika Federag tidak keberatan. Sebagai balasan, Federag menyediakan perahu dan tiga puluh prajurit untuk mengantarkannya ke sampai ke Vallanir.
"Ini tidak perlu," kata William. "Aku bisa mendayung sendiri."
Federag memaksanya. "Kumohon, biarkan kami melakukan kewajiban kami untukmu."
Akhirnya William mau menerimanya. Setelah mengucapkan salam ia naik perahu dan membiarkan para prajurit yang mendayung. Ternyata bagus juga untuknya, karena berarti ia bisa beristirahat. Akhirnya ia bisa tidur dengan nyaman, mungkin untuk pertama kalinya setelah sekian lama.
Mereka sampai di Vallanir dua hari kemudian. Di sana, tentu saja, ada lebih banyak orang yang telah menunggunya. Mungkin seisi desa.
Suara tawa, teriakan, tangis bahagia, semua terdengar. William memeluk mereka, sebanyak yang ia bisa.
Sayangnya, satu orang sudah tidak ada. Kalau saja William bisa memeluk sosok itu satu kali lagi, semuanya akan terasa sempurna. Sekarang, ia hanya tinggal bisa menggali kenangannya saja.
Saat makan malam bersama di rumah William lebih banyak diam. Ia mendengarkan kala keluarganya bercerita segala macam. Freya punya banyak sekali cerita lucu, begitu pula si kecil Rennar dan Vaya, yang akhirnya mampu membuat William tertawa lepas.
Melihatnya tertawa, Freya mengambil kesempatan, bertanya apa saja yang telah dihadapi William di utara.
William tersenyum, tak yakin ia mampu bercerita. Semua yang telah ia lalui terasa seperti mimpi, dan sulit untuk diceritakan.
Akhirnya ia hanya menjawab, "Semua baik-baik saja. Kita semua, akan baik-baik saja."
Mereka mengangguk. Mereka semua percaya padanya.
Esoknya seseorang mengabarkan, bahwa kepala-kepala suku dari seluruh penjuru negeri akan segera datang, ingin menemui William.
Maka semua orang di desa pun bersiap menyambut, sementara William dan keluarganya menunggu di rumahnya.
Lewat tengah hari rombongan-rombongan itu akhirnya datang. Federag dari Andranir, lalu kepala-kepala suku dari Brahanir, Drakknir dan suku-suku kecil lainnya. Semuanya memberikan salam, doa, dan juga mengucapkan kata itu lagi: Heiri Hardingir.
Lalu ketika hari mulai sore, datang rombongan yang paling mengejutkan. Rombongan dari Logenir dan suku-suku lainnya dari barat, yang dipimpin langsung oleh Mornir dan kepala-kepala suku lain di bawahnya.
Semua orang di desa dan para prajurit Vallanir sempat waswas saat mendengar mereka datang, karena kebencian yang masih sangat menggumpal, tetapi William sudah mewanti-wanti agar orang-orang itu tetap disambut dengan baik.
Di kursinya William duduk, melihat Mornir, musuh lamanya itu datang menghadapnya dengan disaksikan banyak orang lain di sekelilingnya.
Laki-laki itu berlutut seraya menunduk hormat.
"Heiri Hardingir," dia berkata.
"Hardingir," William membalas.
"Semoga Odaran memberkatimu."
William mengangguk, kemudian mengedarkan pandangan ke semua orang yang mengelilinginya. "Semoga Odaran memberkati kita semua."
Hari itu seluruh permusuhan diakhiri.
Hari itu seluruh suku di negeri Hualeg, tanpa terkecuali, memberikan penghormatan mereka dan menyatakan diri tunduk kepada Heiri Hardingir.