NALLAN 2

By salsha_writer

1M 165K 178K

Bisa langsung baca tanpa baca Nallan 1 β€’β€’β€’ [Rank 1 : #mom] Mei, 2022. [Rank 6 : #spiritual] Mei, 2022. [Rank... More

Bagian 1
Bagian 2
Bagian 3
Bagian 4
Bagian 5
Bagian 6
Bagian 7
Bagian 8
Bagian 9
Bagian 10
Bagian 12
Bagian 13
Bagian 14
Bagian 15
Bagian 16
Bagian 17
Bagian 18
Bagian 19
Bagian 20
Bagian 21
Bagian 22
Bagian 23
Bagian 24
Bagian 25
Bagian 26
Bagian 27
Bagian 28
Bagian 29
Bagian 30
Bagian 31
Bagian 32
Bagian 33
Bagian 34
Bagian 35
Bagian 36
Bagian 37
Bagian 38
Bagian 39
Bagian 40
Bagian 41
Bagian 42
Bagian 43
Bagian 44
Bagian 45
Bagian 46
Bagian 47
Bagian 48
Bagian 49
Bagian 50
Bagian 51
Bagian 52
Bagian 53
Bagian 54
Bagian 55
Bagian 56
Bagian 57
BAGIAN 58

Bagian 11

16.3K 2.8K 3.1K
By salsha_writer

Part ini spesial untuk kalian❤️



___HAPPY READING___








Alan menutup teleponnya. Lalu duduk kembali ke samping Nalla.

Nalla yang asik menimang bayi kini tersadar bahwa Alan sudah berada di sampingnya. Namun, dahi Nalla berkerut saat melihat Alan yang terdiam beberapa saat lalu terdengar helaan napas kasar.

"Kamu kenapa, Mas? Ada masalah di kantor?" tanya Nalla lembut.

"Ibunya gadis yang aku tolong tadi malam, sekarang ada di kantor, dia nangis-nangis,"

Nalla menahan kaget. "Kenapa?"

"Hazen, perempuan yang aku tolong tadi malam, dia belum pulang sampai sekarang."

"Kamu gak anterin dia pulang sampai ke rumah?"

Alan menggeleng.

"Dan setelah kamu di hajar sama preman-preman itu, kamu gak ada telepon polisi?"

Alan menggeleng lagi, "Itu karena aku buru-buru pulang, aku tau kamu dan Arsyad udah nungguin aku di restoran." jelas Alan pelan.

"Ya, tapi takutnya setelah kamu pulang dan kasih jas kamu ke dia, dia bakal aman gitu?"

Alan terdiam.

Benar apa yang Nalla katakan. Ia tidak kepikiran untuk menelpon polisi. Sebab, jarak Hazen dan para preman itu sangat dekat. Mungkin saja, preman itu kembali menemui Hazen setelah dirinya pulang.

"Jadi, kamu mau ke kantor atau pulang aja? Tapi, luka kamu belum sembuh loh, Mas." ujar Nalla sambil menatap Alan khawatir.

Tiba-tiba ponsel Alan kembali berdering.

Ia pun segera mengangkatnya dan mendekatkan ponsel itu di antara dirinya dan Nalla, agar sang Istri juga dapat mendengar.

"Hallo, Tuan muda."

"Iya, ada apa lagi?" tanya Alan.

"Ibu Dewi terus menangis, Satpam tak tega menyeretnya keluar dari Gedung. Namun, Ibu ini sangat menganggu para karyawan yang sedang bekerja, Tuan muda."

Alan memejamkan matanya, walau bagai manapun, Ibu itu tetap orang tua yang harus di hormati. Alan membuka matanya kembali dan mendengus.

"Suruh dia untuk tenang. Saya akan segera ke sana."

"Baik, Tuan muda."

Alan mematikan teleponnya, lalu melirik Nalla dan sedikit menghela napas.

"Tapi luka kamu pasti masih sakit, Mas. Kenapa kamu gak nyuruh Vian aja selesaikan semuanya?"

Nalla memegang pelan pipi Alan, ia menatap suaminya khawatir.

"Kayaknya Bu Dewi ini memang percaya sama aku, makanya dia datang ke kantor dan menelpon aku." 

Nalla mengerutkan dahinya, "Maksud kamu?"

"Maaf kalo aku telat kasih tau ke kamu. Hazen itu sebenarnya anak pencuri foto di kantor aku."

Nalla menahan kaget. "Kenapa kamu bisa nerima dia jadi karyawan kamu?"

"Awalnya dia datang ke kantor dan marah-marah. Dia bilang, Ibunya sedang sakit, hidupnya susah, dan Ayahnya baru saja di penjara. Dia nyalahin aku atas kehidupannya yang semakin buruk." Alan menghela napas pelan, "terus, Ibunya bilang, suaminya gak pernah melakukan hal di luar batas, apalagi mencuri foto. Katanya, pasti suaminya di ancam sama orang agar mau melakukan hal buruk kayak gitu."

Nalla terus mendengarkan dengan seksama sambil menimang bayi yang ada di gendongannya. Kemudian, ia meletakan kepalanya di pundak Alan.

"Waktu aku lihat ke rumahnya, Ibunya benar-benar udah lemah banget, Nal. Rumahnya kecil, dan Ibunya juga penjual kue."

Nalla bangun dari sandaran, dan kini menatap suaminya.

"Kamu tau? Aku paling gak bisa lihat orang tua dalam masa terpuruk kayak gitu, aku jadi ingat sama Mama dan Papa, Nal." Alan terdiam sejenak, lalu menghela napas gusar, "makanya aku mau bantuin ekonomi keluarga itu..." lanjutnya dengan lirih.

Mendengar itu, Nalla langsung memegang pelan bahu suaminya, seketika ia ikut merasakan rindu pada mertuanya.

"Kayaknya aku harus ke kantor, sekarang." ujar Alan lagi.

Seketika Nalla langsung tersenyum kaku, lalu menghela napas.

Alan menyubit pelan pipi Nalla. "Kamu pulang sama sopir kan?"

Nalla mengangguk.

Alan pun langsung mencium pelan pipi Nalla, "Aku pergi dulu ya," kemudian ia mencium pipi bayi itu. Dan segera berdiri, lalu kembali menatap ke arah Nalla.

"Aku gak lama, tapi kalo kamu mau pulang sama aku sekarang, ayo aku antar dulu," ajak Alan.

Nalla menggeleng, "Kamu duluan aja, aku mesti nungguin Ibu si dia."
ucap Nalla sambil menatap bayi yang ada di gendongannya.

"Yaudah, jaga diri kamu ya. Kalo ada apa-apa, telepon aku."

"Iya."

Alan pun bergegas pergi.

Nalla menatap kepergian Alan dengan perasaan yang tak bisa di jelaskan. Lalu berusaha tersenyum saat melihat bayi yang ia gendong.

Pikiran Nalla kembali ke cerita Alan tadi. Di mana suaminya ternyata pernah ke rumah gadis itu.

"Suami aku memang selalu baik kepada siapapun, dia juga gampang kasihan kalo lihat orang yang sedang kemalangan." ucap Nalla pada bayi itu, "ya, termasuk dengan gadis itu, mungkin."

Tak lama kemudian datanglah Ibu yang menitipkan bayinya tadi. Ia membawa sekantong belanjaan di tangan kirinya.

"Hai...Adel." panggilnya pada bayi yang ternyata bernama Adel.

Nalla berdiri dan tersenyum ramah. "Oh, Adel namanya. Tadi bingung mau panggil apa."

"Iya Mbak, namanya Adel." Ibu itu pun langsung mengambil anaknya perlahan dari gendongan Nalla.

"Makasih banyak ya, Mbak. Maaf ngerepotin. Soalnya tadi sewaktu mau bawa dia ke supermarket, takutnya antrian ramai,"

"Iya, mbak. Gak papa kok." jawab Nalla sambil tersenyum.

"Oh, iya. Masnya tadi ke mana?"

Nalla terdiam sejenak, lalu tersenyum kaku. "Dia ke parkiran tadi." jawabnya berbohong.

"Oh, yaudah. Saya masuk ke ruang rawat suami saya dulu ya mbak. Terima kasih banyak."

"Iya, mbak silahkan. Sama-sama." jawab Nalla ramah.

Setelah Ibu itu pergi. Nalla menghela napasnya. Lalu berjalan dengan kesal menuju ke parkiran.








***







Sesampainya Alan di kantor. Ia langsung masuk ke dalam dan di sambut hangat dengan para satpam dan orang-orang yang berlalu-lalang di kantornya, mereka juga terkejut saat melihat perban yang melilit di kepala Alan.

Alan memasuki lift menuju ke lantai dua. Sesampai di lantai dua. Semua orang kini menatap kaget dengan kehadiran Alan. Apalagi kepala laki-laki itu serta beberapa luka lebam di wajahnya.

"N-nak Alan..." Dengan tertatih berjalan, Dewi mendekati Alan.

"Tenangin diri dulu, Bu." Alan memegang pelan bahu Dewi.

"H-hazen, Hazen...dia belum pulang sejak tadi malam, Nak..." Dewi terisak lalu terduduk di lantai hingga semua karyawan menatap kesal padanya.

"Menyusahkan ya..."

"Iya, kenapa harus ke sini?"

"Mungkin, dia pikir anaknya di sekap di sini, hihi."

"Takut aja sih, si Hazen itu jadi ular di rumah tangga Pak Alan."

"Si Hazen, Hazen itu anaknya, ya? Dia kayak masih anak kuliahan,"

"Kenapa Ibunya kenal dengan Pak Alan?"

"Apa dia kerabat dekat Pak Alan?"

"Entahlah, sepertinya tidak."

"Iya, lihat saja pakaian lusuh wanita itu..."

Begitu beberapa komentar dari sebagian karyawan.

Alan berjongkok, lalu menunduk. Merasakan tangisan Ibu ini begitu menyayangi sosok Hazen.

Perlahan, tangan Alan memegang pelan bahu Dewi, menenangkan wanita itu.

"Tadi malam, saya bertemu Hazen." ucap Alan pada akhirnya.

Dewi mengangkat kepalanya, menatap Alan serius dan tangisannya pun senyap.

"Saya luka begini, itu karena menolong putri Anda."

Semua karyawan menutup mulut mereka, menahan kaget.

Dewi terdiam, tak percaya. "B-benarkah?" tanyanya.

Alan mengangguk. "Tadi malam, saya lembur di kantor sampai jam delapan kurang, saat saya pulang menuju ke rumah, saya melihat Hazen di bawa oleh preman ke tempat sepi,"

Dewi menutup mulutnya tak percaya, para karyawan yang mendengarpun juga ikut terkejut.

"Saya keluar dari mobil dan berusaha menolong dia, tapi saya di hajar sama para preman itu."

Vian melotot kaget, ternyata Tuannya terluka tadi malam karena di kroyok oleh para preman.

Dewi kembali berkaca-kaca dan menggeleng tak percaya, karena lagi-lagi Alan menyelamatkan anaknya dari bahaya.

"Setelah preman itu pergi, saya babak belur dan," Alan menunduk, "Saya meninggalkan dia sendiri."

Dewi sontak mundur perlahan, menatap Alan tak percaya. "K-kamu meninggalkan dia? T-terus, di mana dia sekarang..." Dewi menutup wajahnya dan kembali terisak.

Alan kini terus menyalahkan dirinya sendiri karena tak mengantar gadis itu pulang ke rumah lebih dulu.

Dewi memegang kedua kaki Alan, membuat Alan menatap kaget atas perlakuan wanita paruh baya itu. "Tolong, Nak. Ibu tak tau harus bagaimana, sejak tadi malam, nomornya juga tidak aktif, saya kira dia berada di tempat ini..." Dewi melirik setiap orang di sini, lalu menggeleng lagi, "ternyata tidak ada." Dewi terisak lagi.

Alan kini berdiri, Vian pun langsung mendekatinya.

"Tuan muda, dengan kondisi Tuan muda seperti ini, lebih baik istirahat saja di rumah. Biar saya yang membantu Ibu ini mencari Hazen, saya juga akan membawa beberapa bodyguard dan melaporkan ke polisi." jelas Vian memberi saran pada Tuannya.

Dewi langsung berdiri dan memegang kedua tangan Vian, "Ayo, Nak. Bantu Ibu. Ibu tidak tahu harus bagaimana lagi, Ibu sangat mengkhawatirkan dia." ujar Dewi yang sudah mulai berhenti menangis.

Tapi, menurut Alan ini adalah kesalahannya karena ia tidak mengantarkan gadis itu pulang.

"Ayo, saya ikut mencari." ujar Alan pada Vian. Namun, tiba-tiba ia langsung memegang kepalanya yang kembali berdenyut, pusing.

Vian kaget dan segera memegang bahu Alan, "Tuan. Sebaiknya Tuan kembali ke rumah dan istirahat, saya akan menangani semuanya."

Dewi pun tak tega melihat Alan, "Nak, sebaiknya kamu istirahat, biar dia saja yang membantu Ibu." ujar Dewi pada Alan.

Akhirnya Alan mengangguk menyetujui.


"Baiklah. Vian, saya mempercayai kamu." Alan menepuk pelan bahu Vian.

"Sekarang Tuan pulanglah, saya akan langsung bergegas ke kantor polisi. Dan kirimkan nomor Hazen agar kami bisa melacaknya."

Alan mengangguk.

"Ayo, Ibu ikut kami ke kantor polisi untuk menyebutkan ciri-ciri anak Ibu, setelah itu Ibu saya antar pulang." ajak Vian pada Dewi.

Dewi mengangguk antusias.

"Tuan, jangan lupa kirimkan alamat kejadian Hazen tadi malam ke nomor saya." ucap Vian lagi.

"Baiklah." jawab Alan.

Setelah itu, Vian bergegas pergi bersama Dewi.

Alan menatap ke semua karyawannya. "Kembali bekerja dan buatlah keuntungan pasar melonjak tinggi, maaf saya tidak bisa memantau kalian hari ini karena kepala saya begitu pusing. Dan jika ada hal penting, jangan lupa telepon saya."

"Baik, Pak." mereka semua bergegas kembali ke kursi mereka dan mulai menatap komputer.

Alan pun segera pulang ke rumah.







***







Nalla kini tengah menyuapkan makanan pada Arsyad di ruang tamu.

Sejak tadi Nalla di buat pusing dengan tingkah anaknya yang mulai aktif berlarian. Berjalan ke sana kemari, membuat Nalla terus mengomel. Kadang, Arsyad juga menolak di suapkan nasi olehnya.

"Arsyad, jangan bandel ya. Mama capek tau dari tadi ngejar kamu, terus kamu gak mau buka mulut."

"Aku tidak mau sayur ini." tunjuk Arsyad pada wortel.

Nalla mengerutkan dahinya, "Bukannya kemarin Arsyad suka sama sayur ini?"

"Sekarang tidak lagi." Arsyad berlari lagi dengan mobil-mobilan yang ada di tangannya.

Nalla menghela napas dan menggelengkan kepalanya.

"Ayolah Arsyad sayang. Dikit lagi habis." bujuk Nalla lagi.

"Kalau Papa yang menyuapkan, aku baru akan makan." ucap Arsyad lagi.

Tak lama kemudian, seorang satpam datang memasuki rumah, "Permisi, Nyonya." ucapnya sopan.

"Iya?"

"Ada Pak Gibran di depan, apa dia boleh masuk?"

Nalla mengerutkan dahinya, apa laki-laki itu memiliki masalah lagi?

"Iya, suruh aja masuk, Pak."

"Baik, Nyonya."

Satpam itu segera keluar untuk memanggil Gibran.

Nalla berjalan menuju ke sofa dan duduk di sana. Ia meletakkan piring anaknya di atas meja, lalu menatap ke arah pintu, seseorang berdiri di sana.

"Masuk." ujar Nalla.

Gibran mengangguk, lalu mendekati Nalla dan duduk di hadapan perempuan itu.

"Bentar ya." ucap Nalla pada Gibran, lalu melirik ke arah anaknya yang kini tengah bermain mainannya di tengah ruangan.

"Sayang, sini dulu sebentar." panggil Nalla.

Tak lama kemudian, Arsyad datang dan langsung melirik ke arah Gibran.

"Hei, apa kabar kamu?" Gibran mengacak pelan rambut Arsyad.

"Kenapa Om ke sini?" tanyanya polos.

"Ada urusan sebentar sama Mama kamu,"

"Mamaku lagi sibuk." jawab Arsyad lagi, lalu Nalla meringis.

"Sibuk apanya? Udah, sekarang kamu kasih piring ini ke mbak Lila." Nalla menyerahkan piring tadi pada anaknya, lalu Arsyad menerimanya dan langsung berlari menuju ke dapur.

"Jangan lari-lari!" pekik Nalla yang menggelengkan kepalanya.

Gibran tertawa, "Udah besar ya dia, coba aja anak aku masih hidup, pasti dia jadi teman dekatnya si Arsyad." ucapnya sambil tersenyum.

Nalla mengangguk tersenyum, "Iya, bener banget."

"Nal," Gibran menunduk, seperti ada hal yang ingin ia katakan namun susah untuk ia ungkapkan.

"Kenapa? Ayo cerita Gib, kemarin kamu kan juga ceritanya ke aku."

Gibran menghela napas, lalu menatap Nalla. "Aku berantem hebat sama Leona."

Nalla menahan kaget.

"Aku gak tau lagi harus apa sekarang. Dia berubah total, sering marah-marah gak jelas, pulang kerja selalu telat, aku yang belum sama sekali dapat kerjaan selalu dia sindir, kadang dia selalu berantakin barang-barang," Gibran memegang kepalanya, "aku gak ngerti lagi sama dia, Nal."

"Gib, kamu tenangin diri dulu ya, aku tau ini berat untuk kamu."

"Nal, apa aku cerai aja sama dia?"

Nalla kaget lalu menggeleng, "Gib, kenapa kamu langsung ambil kesimpulan sebesar itu?"

"Habisnya aku benar-benar capek sama dia, Nal. Aku gak tau lagi mau dia apa sebenarnya."

"Gib, dalam pernikahan memang gak ada yang sempurna. Semua jalannya memang selalu di terpa sama masalah, dan kamu sebagai kepala rumah tangga harus bisa bimbing istri kamu, coba kamu ngertiin dulu perasaan dia, terus nasehati dia, kembalikan mood baiknya, kadang mood perempuan emang selalu berubah-ubah, Gib."
ucap Nalla menjelaskan panjang lebar pada Gibran.

Gibran mangut-mangut mengerti, namun dahinya kembali berkerut. "Tapi, kalo dia susah di bilangin? Bahkan sampai aku berhenti bicara, dia gak pernah dengar satu kalimat pun yang keluar dari mulut aku." ujar Gibran lagi.

Nalla menghela napas, "Aku udah bilangkan, buat dia mengerti dulu, kalo memang dia gak mau denger penjelasan kamu, udah jangan kamu lawan, biarin hatinya tenang dulu, abis itu baru kamu tanyain dengan baik-baik, terus peluk dia. Kalo perempuan udah di masa terpuruk, dia pasti butuh pelukan dan sandaran, dan perempuan itu ingin di mengerti." tekan Nalla pada akhir kalimat.

Gibran akhirnya mengangguk mengerti. Ia terdiam sejenak, mengulangi setiap kalimat yang Nalla lontarkan tadi.

"Ingat, kamu jangan pernah kasar sama dia. Jangan pernah memukul Leona." ujar Nalla memperingati.

Gibran menatap Nalla, lalu mengangguk mengerti. "Makasih banyak ya, Nal. Gue gak tau lagi harus curhat dengan siapa. Cuma lo yang bisa ngertiin gue,"

Nalla menahan kaget saat tangan Gibran memegangnya erat kedua tangannya.

Yang lebih kaget, saat Nalla menatap ke ambang pintu. Alan berdiri di sana dengan sorot mata dingin. Ya, Alan pulang.

Dengan cepat, Nalla langsung melepaskan tangan Gibran. "G-gib,"

Alan berjalan mendekati dua orang tersebut. Lalu berdiri tepat di samping Gibran.

Gibran pun terkejut melihat kehadiran Alan. Lalu ia berusaha berekspresi sebiasa mungkin.

"Ada perlu apa ke sini?"

Gibran menelan salivanya susah payah, lalu menggeleng. "Gue cuma mau ngobrol sama Nalla,"

"NGOBROL PAKE ACARA PEGANG-PEGANGAN TANGAN?" suara Alan meninggi, menatap tajam ke arah Gibran.

"Mas, dia cuma___"

"Lo emang gak pernah berubah ya dari SMA!" Alan tak bicara formal kali ini, ia benar-benar tampak marah, "kenapa? Kurang belaian dari istri lo?" Alan mendorong bahu Gibran.

"Mas, tenangin diri kamu dulu." ucap Nalla yang kini menarik tangan suaminya, agar tak melakukan hal di luar batas.

Alan menunjuk pintu. Lalu menatap berang pada Gibran. "Pintunya ada di sana!" gertaknya.

Lalu Alan melirik ke arah Nalla dan langsung mengambil tangan perempuan itu. "Ayo, naik." ajaknya pada Nalla.

Nalla kini bergegas mengikuti Alan, namun sesekali ia melihat ke belakang, Gibran tampak terdiam di tempatnya dan menunduk, seperti sedang menahan emosi.









***







Di kamar, Nalla terus bercerita tentang tujuan Gibran datang ke rumah ini. Ia juga menceritakan tentang rumah tangga Gibran yang akhir-akhir ini memburuk.

"Gibran gak punya siapa-siapa lagi yang bisa ngertiin dia, makanya dia ke sini untung curhat semuanya ke aku, Mas."

Alan berjalan mencharger ponselnya, kemudian menyusun kertas-kertas yang ada di meja, dan menyibukan dirinya dengan hal lain. Namun, Nalla terus berbicara di atas ranjang sambil melihat Alan beraktivitas.

"Aku kasihan lihat rumah tangga mereka, apa kamu gak kasihan?" tanya Nalla pada Alan.

"Aku gak peduli. Itu urusan mereka." ucap Alan sambil membuka lemarinya dan mengambil kotak P3K.

Mendengar itu Nalla mendengus.

"Mending sekarang layanin suami kamu. Nih, tolong obati aku." Alan menyerahkan kotak P3K itu pada Nalla, lalu ikut duduk di atas ranjang.

Nalla menahan senyumnya, "Dasar manja. Sendiri gak bisa, ya?" ejek Nalla sambil menahan tawa.

Alan memperlihatkan pahanya pada Nalla, "Lihat, membiru."

Nalla menatap kaget, "Ya Allah, kok bisa sih?"

"Ayo, obati. Sakit banget kalo di bawa jalan." ujar Alan sambil menyenderkan tubuhnya ke kepala ranjang.

Nalla mengangguk, lalu membuka kotak P3K.

Baru saja ia akan mengobatinya, pintu di ketok oleh seseorang.

"Permisi, Tuan, Nyonya."

Itu suara Asmi.

Nalla menghela napas, lalu turun dari ranjang untuk membuka pintu. "Iya, mbak. Kenapa?"

"Di bawah, ada Ibu Hasnah yang ingin menemui Tuan muda."

Nalla mengangguk, "Iya, bilang suruh tunggu sebentar."

"Baik Nyonya." Asmi segera pergi dan Nalla kembali menutup pintu.

"Mas, ada Hasnah di bawah."

Alan terbangun dari sandarannya, lalu menyipit, "Hasnah?"

"Iya."

Alan pun bergegas turun, di ikuti oleh Nalla.

Sesampainya mereka di bawah. Hasnah tengah duduk di sofa dan Asmi tampak tengah menyediakan makanan untuknya.

Alan dan Nalla kini duduk di hadapan Hasnah, lalu Asmi pun segera kembali ke dapur.

"Maaf menganggu Bapak dan Ibu siang-siang begini." ucap Hasnah sambil menunduk sopan.

"Iya, ada apa ya?" Nalla kini menatap Alan dan Hasnah secara bergantian, ia mendadak bingung.

Alan memilih diam, berniat agar Hasnah yang membuka suara lebih dulu.

"Ibu belum tau ya kejadian di kantor." ringis Hasnah.

"Kejadian apa?" tanya Nalla dengan wajah khawatir.

"Kemarin, saya sempat berantem sama karyawan baru itu, namanya Hazen." ujar Hasnah sambil melirik ke arah Alan.

Nalla juga ikut melirik ke arah Alan, lalu menatap Hasnah kembali. "Kalian berantem gara-gara apa?"

"Di sini posisinya, saya yang kena tindas sama dia. Saya yang menegur dia karena kerjanya gak becus, abis itu dia gak terima dan nyerang saya duluan, hal hasil kami berantem hebat kemarin." jelas Hasnah sambil menunduk.

"Apa tidak malu menceritakan hal buruk tentang kamu seperti itu!" tegas Alan pada akhirnya.

Hasnah terdiam.

Nalla semakin tidak mengerti dengan dua orang ini.

"Hasnah, ayo jelasin, aku mau denger semuanya." ujar Nalla sambil memegang tangan Hasnah.

"Saya merasa tidak di adili sekarang, Bu." Hasnah menekan ucapannya, lalu matanya berkaca-kaca.

Nalla melirik Alan, "Mas, ada apa sebenarnya?" tanya Nalla pada suaminya.

Alan memejamkan matanya, menahan sabar karena Hasnah benar-benar membuatnya pusing.

"Ibu, saya di pindahkan ke perusahaan cabang."

Nalla menahan kaget mendengar lontaran Hasnah. "A-apa?"

"Harusnya Hazen yang di keluarkan dari kantor. Semua karyawan adalah saksinya kalo gadis itu benar-benar bersalah, lalu kenapa saya yang di kasih surat peringatan dan di pindahkan ke perusahaan cabang?" jelas Hasnah yang kini menatap Alan sambil menahan emosinya.

Nalla benar-benar kaget mendengar semua yang dikatakan oleh Hasnah.

Ada apa dengan suaminya ini?

Padahal Hasnah adalah orang kepercayaan di kantor VNE.

Hasnah berdiri, "Saya cuma mau bilang itu aja kok, Pak, Bu. Kalau kalian masih punya hati, tolong kembalikan saya ke VNE utama." setelah mengatakan itu, Hasnah berbalik dan pergi.

Nalla menatap kepergian Hasnah dengan tak tega, lalu ia menatap suaminya yang masih terdiam.

"Mas, Hasnah udah lama loh kerja sama kamu, dia juga orang kepercayaan kamu di kantor, kan? Terus, kenapa kamu lebih belain perempuan yang namanya Hazen itu di banding Hasnah?"

Alan kini menatap ke arah Nalla. "Aku gak belain Hazen."

"Terus apa? Kalau memang kamu gak belain, jangan pindahkan Hasnah, apa kamu udah gak percaya lagi sama Hasnah?" ucap Nalla dengan suara emosi.

"Sayang, kamu tau kan kalo aku ambil keputusan itu di pikir dulu, aku lihat sendiri kalo Hasnah benar-benar kasar sama Hazen."

Nalla terdiam mendengar itu.

Melihat wajah Nalla tampak terdiam dan murung, Alan langsung memijit pelipisnya.

Detik berikutnya, Alan menghela napas dan menarik Nalla ke dalam dekapannya, "Yaudah, aku turuti mau kamu, Hasnah bakal aku terima lagi di VNE utama."

Mendengar itu Nalla tersenyum, namun ia melepaskan tangan Alan yang merangkulnya, kini ia menatap suaminya itu dengan kesal. "Kenapa kamu belain perempuan itu terus?"

"Aku gak belain dia, Nalla."


Nalla kini memeluk Alan se-erat mungkin, lalu mencium pelan pipi laki-laki itu. "Kamu janji kan selalu ada di dekat aku?"

"Kok nanyanya gitu sih?" Alan menunduk, menatap Nalla.

"Karena aku sayang sama kamu." jawab Nalla dengan suara lirihan.

Baru saja Alan akan mengatakan sesuatu, tiba-tiba Vian dan beberapa bodyguard datang. Mereka berdua pun langsung saling melepaskan pelukan.

"Permisi, Tuan, Nyonya..." Vian menunduk hormat.

"Gimana, Udah ketemu?" tanya Alan to the point.

Vian menggeleng, "Belum, Tuan. Bahkan, Polisi dan tim tidak bisa melacak nomor gadis itu, namun mereka masih mencarinya sekarang."

Alan kini meletakan tangan kirinya ke saku celana, dan tangan kanan memilih merangkul bahu Nalla.

Ia mencoba berpikir, apa yang harus ia lakukan esok hari untuk menemukan gadis itu.

"Kelanjutannya?" tanya Alan lagi pada Vian.

"Jika hari ini belum di temukan, besok Polisi akan menambah Tim untuk mencari  gadis itu, Tuan."

"Saya ikut," Alan melirik ke arah Nalla, "kalau Istri saya mengizinkan." lanjutnya.

Vian menahan senyumnya.

Nalla menghela napas, lalu menggerakan bahunya malas.

"Karena Nalla tidak mengizinkan, terpaksa Vian dan bodyguard yang akan membantu para polisi."

Vian menatap kaget pada Alan.
"Loh, Pak. Saya besok ada meeting bersama klien." ucap Vian panik.

"Saya yang akan mengurus."

Mendengar itu, Vian pun melega.






***






Malam harinya, sekitar pukul sebelas malam. Alan dan Nalla belum bisa tidur. Mereka memilih menonton film bersama sambil tiduran di atas ranjang, tidak lupa dengan cemilan.

Televisi besar yang menghadap ke arah mereka kini menyaksikan film action favorit Alan, namun tidak untuk Nalla, ia lebih suka film bergenre romance, maka dari itu kini ia memilih bermain sosial media saja sambil memeluk erat pinggang suaminya.

"Dari pada kamu main HP terus, mending pijitin aku." ucap Alan yang matanya terus terfokus pada televisi.

Nalla menggeleng, namun matanya juga terus terfokus pada ponsel miliknya.

"Di bilangin juga." Alan mencubit pelan pipi Nalla.

Nalla masih tak merespon.

Perlahan, Alan menunduk melihat Nalla yang berbaring diperutnya. "Liatin foto siapa?" tanya Alan dengan dahi berkerut.

"Member EXO." ungkap Nalla.

"Apa itu?"

"Kepo banget sih." jawab Nalla kesal.

Di saat Nalla kesal, di saat itu pula film yang Alan tonton berakhir.

Ia pun segera mematikan televisi. Lalu meletakan remot ke atas nakas di sampingnya.

Melihat Nalla yang terus bermain ponsel, Alan mendengus, lalu ia menunduk dan mengecup sekilas bibir Nalla.

Tangannya bergerak mengambil ponsel Nalla menggunakan tangan kiri, dan tangan kanannya terus memegang bahu Nalla.

Kecupan sekilas itu kini menjadi serius. Mereka benar-benar hanyut dalam dunia mereka.

Hingga Nalla kini duduk, lalu tangannya menggantung di leher suaminya. "Perban kamu belum di ganti loh!" ucap Nalla sedikit kesal, lalu mengecup lagi bibir Alan, "bentar, aku ambil perban baru."
Nalla beranjak dari ranjang menuju ke lemari.

Alan tersenyum miring, lalu menggelengkan kepalanya. "Kamu suka ya ngebaperin anak orang?"

"Salahnya bukan di aku, kamunya aja yang baper!" ejek Nalla sambil menjulurkan lidahnya.

Alan masih tersenyum melihat tingkah Nalla yang bahkan sudah menjadi seorang Ibu sekarang.

Nalla menutup lemari. Lalu ia berjalan menuju ranjang kembali.

Alan menepuk kedua pahanya, sontak Nalla menaikan sebelah alisnya, bingung.

"Kamu mau ganti perban aku, kan? Makanya duduk di sini." ajak Alan yang kini menarik tangan Nalla mendekat.

"Ceritanya mau sweet nih masangin perban dengan jarak sedeket ini." ujar Nalla sambil menahan tawa.

"Salah ya kalo sama Istri sendiri minta yang aneh-aneh?"

Nalla menatap kaget pada Alan. "Aneh-aneh? Maksudnya?"

Alan menggeleng, "Gak ada."

Kini Nalla mengikuti perintah Alan, ia benar-benar berpangkuan pada laki-laki itu. Jarak mereka benar-benar sangat dekat hingga Nalla bisa merasakan wangi parfum di tubuh suaminya yang begitu ia menggoda.

Perlahan, tangan Nalla membuka perban itu. Lalu ia mulai memberi beberapa obat tabur ke luka di kepala belakang suaminya.

Bayangkan saja bagaimana posisi mereka sekarang. Sudahlah, jangan dibayangkan.

Setelah memberikan obat itu, Nalla bergegas memakaikan kembali perban baru, melilitkan perlahan ke kepala Alan.

"Selesai!" ucapnya dengan nada imut. Lalu ia menatap kedua bola mata Alan.

"Makasih ya." ucap Alan dengan tulus sambil tersenyum.

"Kan, udah jadi tugas aku." jawab Nalla sambil ikut tersenyum.

Perlahan, tangan kanan Alan bergerak menarik tali yang terlilit di pinggang Nalla.

Nalla pun menunduk, melihat aksi Alan, lalu kembali menatap laki-laki itu. "Kayaknya kamu tau deh, model-model baju yang sekali di tarik langsung lepas semua." Nalla menatap Alan geram.

Alan hanya membalas ucapan Nalla dengan senyuman devil dan kembali melanjutkan aksinya.

Malam itu pun akhirnya kembali mengukirkan sejarah yang akan menjadi saksi percintaan mereka.

Alan mencintai Nalla. Begitupun dengan Nalla yang mencintai Alan.

Remaja hingga kini, tak ada yang benar-benar membenci. Mereka mencoba menepis masalalu suram yang terus menghantui.

Malam ini, Nallan adalah dua insan yang pantas di doakan bahagia bersama hingga menua.




***





Asmi dan Lila saling senggol menyenggol bahu saat melihat Nyonya mereka pagi-pagi sekali tengah menyiapkan sarapan. Aneh memang, apalagi ini masih pukul lima lewat lima.

Itu mungkin suatu hal yang lumayan luar biasa. Namun, ada hal yang lebih luar biasa.

Asmi dan Lila kembali menahan tawa. Lalu senggol menyenggol lagi dan cekikikan. Mereka juga membiarkan Nalla memasak di dapur sendiri, sementara mereka asik menahan tawa dan greget sendiri, lalu saling berbisik.

Saat Nalla akan meletakan piring, ia menahan kaget melihat dua orang yang kini sedang duduk di kursi meja makan sambil bersenda gurau.

"Loh, kalian berdua kapan datang ke dapur? Perasaan tadi masih pada di kamar deh." ucap Nalla bingung.

Dengan cepat, Asmi dan Lila segera berdiri. Lalu tawa mereka hilang. "Iya, Nyonya. Habis sholat subuh, saya lihat Nyonya turun ke dapur, terus saya ajak mbak Asmi ke dapur juga deh." jawab Lila sambil tercengir.

Nalla menyipitkan matanya, "Terus, kalian kenapa ketawa gak jelas gitu?" tanya Nalla sambil mencoba menahan tawa.

"Ya gitu, Nyonya. Aneh aja. Masa pagi-pagi udah keramas." Lila keceplosan dan langsung menutup mulutnya.

Asmi langsung mencubit gemas lengan Lila.

Nalla sudah bisa menebak mengapa dua orang itu menertawakan dirinya. 

"Kalian berdua bantuin aku dong, Aku mau masak cepet karena aku harus ziarah ke makam Alisa."

Mendengar itu, Asmi dan Lila langsung mendekat ke arah Nyonya mereka.

"Pagi-pagi banget ya Nyonya?" tanya Asmi.

"Iya, Mbak. Aku harus berangkat pagi-pagi, sama Ernon. Balik dari itu aku mau temenin si Ernon ke rumah temennya." jelas Nalla.

Asmi dan Lila mangut-mangut mengerti. Lalu mereka segera meletakan makanan yang sudah siap menuju ke meja makan.

Tak lama kemudian, Alan turun dari tangga dan berjalan ke meja makan. Membuat Asmi dan Lila lagi-lagi menahan tawa mereka.

Nalla yang menyadari hal itu hanya menahan malu dan berpura-pura tak ada apapun.

"Pagi, Tuan muda." sapa Lila sambil tercengir.

Alan duduk di salah satu kursi meja makan, "Pagi." jawab Alan.

"Tumben Tuan pagi-pagi udah...aww...." Lila meringis saat kakinya di injak oleh Asmi.

Nalla datang ke meja dan segera duduk di samping Alan.

"Ayo kalian berdua duduk, ikut sarapan bareng." ajak Nalla menormalkan keadaan.

Lila masih menahan sakit pada kakinya, namun Asmi menjawab sebagai perwakilan. "Enggak, Nyonya, silahkan."

"Lila, kamu kenapa?" tanya Alan.

Dengan cepat Lila menggeleng, "Oh, gak ada Tuan. Cuma kepentok kursi tadi." ringisnya lagi.

"Hati-hati dong." jawab Alan.

"Iya, Tuan."

"Ekhm." Nala berdeham. "Lila, tolong lihat apa Arsyad udah bangun atau belum?"

"Baik, Nyonya." Lila segera pergi menuju kamar Arsyad.

Sementara Asmi, ia memilih ke dapur karena tak ingin menganggu pembicaraan suami istri tersebut.

Di tengah sarapan, Alan mengambil segelas susu milik Nalla, lalu meminumnya.

Nalla pun merengek, "Itu kan punya aku." ucapnya kesal.

"Aku gak bakal habis kalo sendiri."
jawab Alan yang kembali memakan roti buatan Nalla.

"Kamu kenapa ikut sarapan pagi-pagi? Kan kamu ke kantor jam delapan." ujar Nalla.

"Aku mau temenin kamu. Kalo nanti aku sarapan gak ada kamu, kan gak asik."

Mendengar itu Nalla hanya menahan senyumnya.

Hening di antara keduanya.

Benar-benar hening karena hanya mereka berdua di ruangan makan ini. Jam juga masih menunjukan pukul setengah enam pagi.

"Kamu yakin pagi-pagi gini pergi  ziarah?" tanya Alan di tengah keheningan.

Nalla mengangguk, "Iya. Emang kenapa?" tanya Nalla balik.

"Gak capek?"

Nalla terdiam.

"Kalo capek, mending istirahat aja. Nanti siang aku bakal antar kamu ke__"

Nalla langsung menutup mulut Alan dengan tangannya. Lalu menatap suaminya sambil meringis dan menggeleng.

"Syutt!"

Alan menaikan sebelah alisnya, tak mengerti.

Tangan Nalla perlahan turun dari mulut Alan, lalu ia segera melihat ke sekelilingnya. Memastikan tak ada orang yang menguping.

Apalagi Nalla sangat was-was dengan Asmi dan Lila.

Seketika Alan tersenyum devil, lalu mengacak gemas rambut Istrinya. "Kenapa? Malu? Hm?" bisik Alan tepat di telinga Nalla.

"Enggak, ih. Siapa juga yang malu." jawab Nalla sedikit kesal.

"Bener?"

"Iya!"

"Oke."

"Oke apa?"

"SAYANG, KAMU TADI MALAM KEREN!" teriak Alan membuat Nalla langsung melotot kaget dan tak percaya dengan apa yang suaminya lontarkan.

Di samping gas elpiji, tepatnya di bawah kompor yang ada di dapur. Asmi bersembunyi di sana sambil menahan tawanya.


___________

Ekspresi para pembaca saat ini :

"Yesss, ponakan baru lagi!!!"

NEXT ? VOTE & SPAM KOMEN.

FOLLOW IG :

ADANY.SALSHAA
NALLAN.OFFICIAL

Continue Reading

You'll Also Like

18.8M 1.1M 54
AVAILABLE ON GRAMEDIA DAN TBO COUPLE IN PRIVACY, STRANGERS IN PUBLIC! [ PART DI UNPUBLISH SECARA ACAK ] Zeya menatap sinis. "Gak usah sok baik ke gu...
21.5M 1.9M 66
"Satu ciuman satu batang rokok deh, gimana?" "Boleh, siapa takut!" [SEGERA TERBIT & PART MASIH LENGKAP] ______________________ Ini bukan cerita tenta...
53.6M 3.1M 50
SUDAH DIFILMKAN🎬 SEBAGIAN PART SUDAH DIHAPUS DAN RINCINYA ONLY NOVEL! #03~Fiksi remaja (19 maret 2021) Argantara the me movie season 1 -Ketika tawam...
13.8M 1M 74
Dijodohkan dengan Most Wanted yang notabenenya ketua geng motor disekolah? - Jadilah pembaca yang bijak. Hargai karya penulis dengan Follow semua sos...