Hi, aku update
Gimana kabar kalian?
04. Gosip Buruk
Para Perjaka
Si Sadboy
Si Alvan mana nih
Gue ada hot news
Pawangnya Olif
Gini nih kalo bayi baru
lahir yang nggak di
adzanin, otaknya jadi bego
Si Sadboy
Diem deh lo
Buruan mana si Alvan?
Pawangnya Olif
Si Alvan di depan lo bego
Anda
Lo juga sama begonya
kek dia, udh tau sebelahan
tapi ngomong di grup
Es Kutub
Brta apn?
Pawangnya Olif
Translate bahasa Delio
ke bahasa manusia
> Berita apaan?
Si Sadboy
Bini lo jadi bahan gosip
anak-anak sekolah
Emang lo nggak tau?
Anda
Digosipin gimana?
Si Sadboy
Nih coba lo lihat
Gua nemu ini di mading
Send a picture
Melihat gambar yang Nathaniel kirimkan seketika membuat emosi Alvan mendidih. Ia mengepalkan kedua tangannya erat, gigi-giginya ia gertakkan di dalam sana. Tanpa basa-basi lagi ia pergi dari gudang yang dijadikan markas Cyclops.
"Woi! Ke mana lo?" teriak Ozzie yang melihat Alvan pergi dari sana.
Alvan tak menjawab, ia terus berjalan dengan langkah besar. Mencari-cari keberadaan istrinya di sekeliling sekolah dan sialnya, kenapa ia tidak memiliki nomor ponsel istrinya?
"Ririn!"
Laki-laki dengan seragam acak-acakan itu membuka pintu rofftop dengan kencang membuat bunyi gebrakan keras terdengar. Ia mengamati setiap sudut rofftop, lalu menemukan sosok istrinya yang duduk di kursi panjang tengah menatap langit siang hari.
"Ngapain lo di sini? Panas tahu," ujar Alvan dengan mengambil tempat duduk di samping istrinya.
"Omongan orang lebih panas," balas Ririn tanpa menoleh ke arah Alvan.
Alvan menghela napasnya, kemudian membalikkan tubuh istrinya itu agar berhadapan dengannya. "Jangan dengerin apa pun ucapan mereka, lo udah tahu kalau semua itu nggak bener."
"Gue nggak terima disebut yang nggak-nggak sama mereka, Alvan. Gue udah berusaha enggak peduli, tapi gue nggak bisa." Untuk yang kedua kalinya Ririn menangis di depan suaminya.
Ririn benci ketika ia lemah ada orang lain yang tahu, ia benci ketika dia menangis ada orang lain yang tahu. Apalagi ini Alvan, laki-laki asing yang baru ia kenal kemarin. Sialnya, Alvan adalah suaminya.
"Gue tahu nggak semudah itu, tapi tolong untuk jangan terlalu peduli soal itu."
Ririn menundukkan kepalanya, air matanya semakin turun dengan deras. "Gue ... Kenapa gue selalu jadi bahan omongan orang lain? Gue pikir dengan cara pindah ke sini, kehidupan sekolah gue akan lebih baik. Tapi, nyatanya sama aja."
Alvan menatap gadis itu dengan nanar, secara spontan saja tangannya bergerak membawa Ririn kedalam dekapannya. Bahkan ia bingung dengan dirinya sendiri yang melakukan pergerakan seperti itu. Entah kenapa, Alvan serasa ingin melindungi gadis itu. Tidak rela Ririn mengeluarkan air matanya, terlalu sakit Alvan rasakan melihat air mata Ririn.
"Udah, jangan nangis!"
~•>•~
"Yakin lo?" tanya Alvan sekali lagi kepada Ririn.
Gadis berambut sebahu itu menganggukkan kepalanya dengan yakin. "Iya, gue yakin."
"Ya, udah. Jangan pula terlalu malam, nanti gue juga yang disalahin sama bunda," kata Alvan berpesan yang langsung diangguki oleh Ririn.
Gadis itu pun pergi menjauh dari Alvan yang masih berada di parkiran. Ririn pamit kepada suaminya untuk tidak pulang bersama karena dirinya ingin bertemu dengan teman semasa SMP.
Rasa penasaran Alvan yang tubuh secara tiba-tiba dengan nekat ia mengikuti Ririn secara diam-diam. Ia ingin tahu siapa teman yang Ririn maksud, apakah seorang laki-laki?
Alvan bersembunyi dibalik pohon, ia sengaja mengikuti Ririn tanpa menunggangi motor ninja kesayangannya. Bisa Alvan lihat jika Ririn menghampiri seorang laki-laki berpakaiannya serba hitam dipinggir jalan. Mereka berdua saling berpelukan, sepertinya Ririn sangat bahagia bertemu dengan laki-laki itu, terlihat senyuman yang tercetak jelas di wajah Ririn.
"Ck! Siapa, sih, cowok itu?"
Spontan Alvan memukul pohon yang menjadi tempat persembunyiannya. Ia kesal karena tidak bisa melihat wajah laki-laki itu lantaran memakai masker.
"Udah kek mau ke kuburan aja pake baju warna item, ganteng lo?" gerutunya kesal dengan netra yang masih setia menatap kedua anak manusia itu sampai mereka berdua pergi dari sana dengan menaiki motor milik si laki-laki berbaju hitam.
Sementara itu, Ririn sampai di sebuah kafe dengan laki-laki yang sudah menjadi teman dekatnya sewaktu SMP. Mereka masuk ke kafe dan mengambil duduk di paling pojok dekat jendela.
"Green tea vanilla smoothies, 'kan?" tanya laki-laki itu yang langsung dibalas anggukan oleh Ririn.
Pelayan pun dengan sigap menulis pesanan keduanya, lalu menyuruh mereka untuk menunggu beberapa menit.
"Udah lama nggak ketemu lo masih inget aja sama kesukaan gue," ujar Ririn seraya diikuti dengan kekehan kecil.
Laki-laki itu mengusap kepala Ririn dengan senyuman manis. "Pastinya dong, nggak mungkin gue lupain gitu aja."
"Lo emang yang terbaik, Samuel."
~•>•~
+62 822 8672 xxxx
Lo dimana? Ini udah sore
Kenapa belum balik?
Cepetan balik!
Udah gue bilang
mainnya jangan kelamaan!
Kualat lo baru tahu rasa!
Ririn mengerutkan keningnya bingung melihat nomor tak dikenal yang mengirimkan pesan di WhatsApp nya. Akan tetapi, di detik selanjutnya ia yakin kalau yang mengiriminya pesan adalah Alvan.
Gadis berambut sebahu itu memang belum pulang sejak tadi, ia keasikan menghabiskan waktu dengan Samuel. Tetapi, ia sekarang sedang di perjalanan pulang dan sialnya tidak ada angkutan umum di jam segini. Kebetulan temannya tidak bisa mengantarkannya untuk pulang lantaran ada urusan mendadak. Memesan ojek online pun uangnya tidak cukup, apa meminta Alvan menjemputnya saja?
Ririn menelfon nomor yang ia yakini itu nomor milik Alvan, tetapi panggilannya belum Alvan angkat membuat dirinya kesal sendiri.
"Ck! Sok banget nggak diangkat padahal aktif!" gerutunya. Ia terus menghubungi suaminya itu, ia yakin kalau Alvan sengaja tidak mengangkat telfonnya.
Seketika tubuh gadis itu menegang mendengar suara deru mesin motor yang saling bersahutan dan suaranya semakin mendekat. Shit, itu pasti sekelompok orang yang suka tawuran. Ririn semakin gelisah ketika motor-motor itu sudah tampak di depan mata.
"Rin!" panggil Alvan ketika sambungan terhubung, tetapi Ririn tidak mendengar suara panggilan Alvan di telfon itu. Ia sibuk berlari untuk mencari tempat bersembunyi.
"Aduh, mereka lihat gue nggak yah? Bisa mati gue!"
Gadis berambut sebahu itu bersembunyi di gang sempit yang tak jauh dari jalan raya. Ririn mengintip sedikit, melihat banyaknya anak laki-laki di sana. Mereka dari dua kelompok yang berbeda, tawuran sepertinya sebenernya lagi akan terjadi.
Sementara itu, Alvan kebingungan dengan istrinya yang tidak menjawab panggilannya. Tiba-tiba saja hatinya ketar-ketir merasa kalau sesuai yang berbahaya tengah menimpa istrinya itu. Ia langsung mengambil jaket dan kunci motornya, lalu keluar dari rumah untuk mencari istrinya dengan panggilan yang masih tersambung.
"Alvan!" Ririn memanggil sesaat sadar kalau panggilan sudah terhubung.
"Lo di mana?" Alvan bertanya diseberang sana.
"Tolongin gue, ada banyak orang-orang yang mau tawuran. Gue share lock sekarang, cepetan ke sini!"
"Jangan matiin telfonnya!"
Ririn menurut, tanpa memutuskan sambungan ia mengirimkan tempat di mana sekarang ia berada. Sungguh, Ririn hanya ingin suaminya itu cepat datang.
"Akh!" Gadis itu berteriak ketika salah satu dari anak yang tawuran itu terlempar ke arah gang sempit yang ia jadikan tempat persembunyian.
Tubuh gadis itu bergetar hebat melihat darah yang mengalir di pelipis laki-laki itu. Ia berjongkok, membekap mulutnya sendiri agar tidak mengeluarkan suara. Keringat mulai bermunculan di keningnya, air mata perlahan-lahan lolos.
"Wow, siapa ini? Anak manis, sini!"
Ririn mendongak, ia melihat seorang laki-laki berjaket hitam dengan lambang tengkorak mendekatinya.
"Lepas!" sentaknya dengan suara yang nyaris menghilang.
Laki-laki itu berhasil menarik tangannya untuk keluar dari gang sempit itu. Ia diseret menuju ke tengah-tengah tawuran, di mana masih banyak laki-laki yang beradu kekuatan bela diri.
Ririn menggelengkan kepalanya ketika sebuah peristiwa yang dahulu melintas dipikirannya. Ia memejamkan kedua matanya seraya menutup kedua telinganya. Tubuhnya semakin bergetar hebat kala melihat seorang laki-laki yang lengannya kena goresan pisau. Darah, darah itu membuat Ririn serasa ingin muntah. Ririn takut dengan darah, Ririn tidak suka dengan darah.
"A-alvan ... Gue takut hiks."
1257 word
Next || Delete