Keifani membuka matanya, mencoba bangkit tetapi kepalanya seperti ditusuk ribuan jarum. "Auchhh." Dia memegang kepalanya, sebuah sapu tangan jatuh dari keningnya.
"Kamu sudah bangun." Darius masuk membawa nampan berisi bubur dan segelas air hangat, lelaki itu mendekat lalu menyimpannya di atas nakas.
"Aku kenapa, Mas? Dan ini," tunjuknya pada sapu tangan berwarna biru.
Darius duduk di tepi ranjang. "Kamu demam, badan kamu menggigil tapi mengeluarkan keringat. Saya bingung, kamu nggak kunjung bangun tadi, makanya saya telepon Kiki untuk memeriksa kamu, sayangnya Kiki ada di luar kota mengikuti seminar. Jadi dia cuman menyarankan supaya saya kompres dengan air es untuk menurunkan demam kamu," jelas Darius. Kiki yang dimaksud Darius adalah teman SMA yang berprofesi dokter.
Keifani meraba keningnya, masih hangat. "Makasih, Mas. Maaf merepotkan," lirihnya pelan.
"Nggak kok, sudah kewajiban saya sebagai suami."
Keifani mengangkat kepalanya menatap Darius lekat hingga lelaki menjadi salah tingkah.
"Maksud saya, walaupun pernikahan kita kontrak tapi kamu tetep menjadi tanggung jawab saya sampai pernikahan kita berakhir," ralat Darius cepat. "Oh iya, kepala kamu masih pusing?" Keifani mengangguk pelan. "Ya udah, ini saya belikan bubur ayam di bawah. Makan dulu terus minum obat, abis itu baru istirahat lagi."
Keifani mengangguk.
Jika kalian pikir Darius akan membantu Keifani makan dengan menyuapinya itu hanya ada dipikiran kalian saja sebab Darius memilih keluar membiarkan Keifani makan sendiri di dalam kamar. Bukan apa-apa, Darius hanya menjaga privasi istri kontraknya.
Keifani pun tidak mempermasalahkannya, walau kepalanya sakit luar biasa dia masih bisa makan sendiri. Tekstur bubur ayam yang lembut membuatnya dapat lebih mudah menelannya, memaksanya menghabiskan bubur ini meski lidahnya terasa pahit. Keifani terus menyuapkan bubur hingga benar-benar tandas tak bersisa, dia lalu minum obat seperti yang diperintahkan Darius karena tidak ingin merepotkan lelaki itu lebih lama lagi.
Sudah cukup, dia harus kembali sehat. Mungkin kejadian kemarin benar-benar memukulnya telak, masalah rumah tangga ayahnya yang rumit sungguh membuatnya sangat malu terhadap Darius, andai lelaki itu tak perlu mendengar penjelasan ayahnya kemarin, dia tak akan terlihat selemah ini di hadapan suami kontraknya.
"Huuhhh." Keifani menghembuskan napasnya, matanya mulau mengerjab menahan kantuk setelah meminum obat penurun demam. Sesekali menguap sebelum Keifani tak tahan lagi dia pun menutup matanya menuju alam mimpi.
Darius sedang menonton berita saat ponselnya berdering, dia melirik meja di mana ponselnya berada yang menampilkan nama Taufik di sana.
"Ya, halo." Darius mengangkat setelah dengan sengaja mengabaikan panggilan Taufik.
"Lama banget diangkatnya, lo ngapaian aja sih?" Darius memutar bola matanya bosan.
"Ada apa?" tanyanya malas berbasa-basi.
"Lo di mana sih? Katanya hari ini mau ke kantor, kok sampai sekarang belum nyampe. Jangan bilang kalau jalanan lagi macet, monyet peliharaan ipar gue juga tahu Jakarta macet. Tapi masa lo dari apartemen ke kantor bisa kebablasan telatnya gara-gara mecet sih." Ocehan Taufik diabaikan Darius, lelaki bahkan sempat menjauhkan ponsel dari telinganya.
"Woii, Us! Lo dengar gue nggak sih?!"
"Iya gue dengar, lo berisik amat sih! Ngomong pake rem kali, congor lo nyamber aja kayak bajaj!"
"Abisnya gue kesel sama lo! Katanya hari ini mau ke kantor tapi Udah jam segini muka lo nggak muncul-muncul sampai sekarang, terpaksa gue harus meninggalkan istri dan anak gue di rumah!"
"Lebay!" komentar Darius. "Kei sakit jadi nggak ke kantor dulu."
"Cielehh bini lo sakit ternyata, ya udah, lo emang sebaiknya di apartemen aja jagain istri lo. Biar gue yang handle kerjaan di sini, lo emang harus menjadi suami siaga jangan mau enaknya aja giliran bini lo jatuh sakit karena kecapean, lo malah nggak peduli. Asikkk Bang Us-Us akhirnya rasain mantap-mantap juga!"
Klik.
Darius menutup teleponnya sepihak, karena dia yakin jika tidak dihentikan omongan melantur Taufik akan mengalahkan kereta api saking panjangnya.
***
"Pi, Mami kangen Kei." Shalu mendekatkan dirinya pada Irvin yang sedang menonton siaran berita di TV. "Pi, kok malah asyik nonton sih? Papi udah nggak sayang sama Mami lagi?" rajuknya duduk dengan tegak seraya melipat tangannya.
"Mi, hari ini kan hari kerja. Kei pasti lagi di kantornya." Irvin memberi pengertian.
Mata Shalu melirik jam besar yang tertempel di dinding atas TV. "Bentar lagi kan jam pulang kantor, Pi."
"Tapi nggak enaklah, Mi. Kei pasti capek pulang kerja, Mami malah ganggu waktu istirahatnya."
"Ya bentar doang, Pi. Asal ketemu Kei terus makan malam bareng, Mami udah senang kok." Shalu masih merengek.
"Ya udah, Papi telepon Darius biar bawa mantu Mami ke rumah."
Shalu melompat senang di tempatnya. "Duh, makin cinta deh sama Papi." Perempuan paruh baya itu memeluk Irvin dari samping.
Irvin membalas pelukan istrinya dengan satu tangan dan tangan lainnya mengusap layar ponselnya mencari kontak Darius, begitu menekan tombol panggil, Irvin menempelkan ponselnya pada telinga. Sedangkan posisi Shalu bersandar nyaman di bahunya sambil menekan tombol remote untuk mengganti saluran kesukaannya.
Tut... Tut...
Panggilannya akhirnya diangkat Darius, suara berat Irvin sontak mengucapkan salam.
"Assalamualaikum, Dar. Kamu di mana? Oh kamu nggak kerja, apa?! Kei sakit?"
Shalu mengangkat kepalanya lalu merebut ponsel suaminya. "Halo, Dariusss! Mantu Mami sakit apa? Demam? Kenapa bisa demam? Kamu pasti yang bikin mantu Mami kecapean, kan? Mami kan udah bilang kalau ajak Kei main itu jangan setiap hari, Mami memang ingin cepat momong cucu tapi bukan dengan membuat Kei kecapean juga! Pokoknya Mami nggak mau tahu, Mami dan Papi otw ke apartemen!"
Klik...
Tanpa menunggu jawaban Darius, Shalu menutup panggilannya.
"Papi, antar Mami ke apartemen Darius sekarang. Aduh! Belum juga nikahnya genap lima bulan, Kei udah dibuat tepar kayak gitu. Gimana setahun ya?!"
Irvin menenangkan Shalu. "Mami tenang dulu dong, nanti darah tinggi Mami nanti kambuh."
Shalu mendelik tajam. "Papi mau antar Mami atau nggak?"
"Diantar dong, diantar. Buat Mami apa sih yang nggak," gombal Irvin disertai cengiran polos.
"Ya udah, panasin mobil. Mami ambil tas dulu di kamar." Shalu beranjak dan melangkah ke kamar, tetapi baru dua langkah dia menoleh sekilas. "Tunggu apa lagi, Pi? Cepat panasin mobil!"
Irvin terlonjak. "Iya, Mi. Iya." Irvin menuju garasi seraya menggerutu pelan. "Untung Papi cinta pakai banget sama Mami, kalau nggak Papi... Eh, nggak deh, Papi kan nggak bisa hidup kalau nggak ada Mami."
Karekter Shalu yang dulunya tenang kini berubah agak rusuh, entah sejak kapan Irvin menyadarinya? Apa karena faktor usia? Irvin tak tahu tetapi sejak Deana lahir ke dunia, Shalu merasa mempunyai saingan. Bukan, bukan Shalu tak menyayangi putri semata wayangnya itu. Irvin bisa menjamin jika Shalu sangat-sangat mencintai Deana. Bahkan mereka berdua kompak dalam hal penampilan walau kadang suka bersaing satu sama lain, contoh kecil adalah warna rambut Deana yang membuat Shalu setiap hari merengek berubah menjadi ancaman yang membuat Irvin mati kutu.
"Kalau Papi nggak iziin Mami cat rambut, Papi lebih baik tidur di kamar Darius selama sebulan!"
Oh, itu sungguh ancaman mengerikan bagi Irvin. Sshari saja pisah ranjang dengan sang istri membuatnya terkena imsomnia apalagi sebulan. Sudah Irvin katakan jika dirinya tak akan bisa tidur bila Shalu tak di sisinya.
Irvin memang se-bucin itu, dia tak akan menyangkalnya.
***
BERSAMBUNG...
Mami dan Papi muncul lagi nih, yang kangen mana suaranya? 😁
Votenya baru aku lihat udah capai target, jadi baru up hehe
Cara mainnya kayak kemarin ya, votenya 80+
Vote dan komen banyak2 ya, gak bayar kok. Gratis tis tis, jangan sampai tunggu membayar ya 😂
Kasih aku vote dan aku kasih update, gimana? 😜
See you next part.