KUMPULAN CERPEN "MATI RASA"

By tutdhirata27

79 36 239

Sebuah koleksi cerpen dengan berbagai kisah yang dituangkan secara sederhana dan mudah di baca, sehingga diha... More

Ego Yang Merenggut
Tak Mampu Melupa
Rasa Yang Salah

Luna : Pergi Untuk Bahagia

51 20 153
By tutdhirata27


"Kadang Tuhan memberikan kita penyesalan, saat kita meninggalkan yang baik untuk yang terbaik."

Gadis berambut hitam panjang itu duduk terpekur di sudut kamarnya yang gelap. Di antara kedua lutut, ia menyembunyikan wajahnya, sementara bahunya berguncang pelan akibat isak yang tertahan.

Di luar kamar, nampak sepasang suami istri tengah bersitegang sembari melontarkan kata-kata keras dan kasar, yang membuat siapa saja mendengarnya akan mengelus dada.

"Aku tak pernah menyangka kamu tega berbuat seperti ini, Mas!" teriak wanita dengan rambut pendek sebahu berurai air mata.

Laki-laki di hadapannya hanya terduduk diam di sofa, membiarkan setiap kata yang dilontarkan wanita itu merangsek masuk ke dalam gendang telinganya.

"Cukup, Tia!" bentak laki-laki itu pada akhirnya. Jengah mendengar umpatan dan makian dari wanita di hadapannya.

"Kenapa? Laki-laki bejat seperti kamu seharusnya aku lempar ke jalanan!"

Plak! Sebuah tamparan mendarat di pipi Tia. Wanita itu membeliak tak percaya, suaminya akan bermain tangan.

"Puas kamu? Tampar, Mas! Tampar lagi!" Bukannya surut, amarah Tia semakin nyalang berkobar.

Akbar tersadar akan perbuatannya, lalu perlahan memutar tubuh dan meninggalkan Tia yang terjatuh bersimpuh di lantai sambil menangis tersedu. Sakit akibat tamparan suaminya tak sebanding dengan sakit hati yang ia rasakan.

Wanita itu begitu marah, karena Akbar dengan tega menghamili putri semata wayangnya, Luna. Meskipun, dia tahu Luna adalah anaknya. Anak tiri lebih tepatnya. Tia menikah dengan Akbar setahun lalu, setelah hampir tiga tahun menjanda. Sikap Akbar yang penuh kasih dan mau menerima Luna menjadi anak tirinya, membuat Tia menerima pinangan lelaki itu. Namun, ia tak menyangka akan menerima kenyataan pahit saat putrinya mengaku tengah hamil akibat perbuatan ayah tirinya sendiri.

***


Luna melangkah gontai menuju ke sebuah taman bermain tak jauh dari tempatnya tinggal. Angin basah di awal musim hujan, membuat gadis itu merapatkan jaketnya menghindari dingin yang menusuk. Bayangan pertengkaran ibu dan ayah tirinya masih berkelebat di kepalanya. Setiap ucapan, makian dan umpatan terngiang jelas di telinga gadis enam belas tahun itu.

Ia merasa tak berdaya dengan situasi yang kini membelitnya. Perbuatan sang ayah membuat dirinya mengandung di usia belia. Selama enam bulan dirinya diam dan pasrah diperlakukan tanpa adab oleh lelaki yang ia panggil ayah. Namun, sepandainya menyimpan bangkai pasti akan terendus juga. Begitupun perbuatan sang ayah. Ibunya dengan mata kepala sendiri memergoki keduanya tengah melakukan hal yang tak pantas, saat ia pulang dari bekerja. Tak terbayangkan amarah serta kecewa sang ibu padanya. Meskipun, Luna berusaha menjelaskan pada sang ibu, kemarahan telah menguasai akal pikiran wanita itu, hingga membuat seolah dirinyalah yang bersalah.

Taman bermain itu sepi. Wajar, karena tempat yang dipenuhi berbagai wahana tersebut baru dibuka malam hari. Luna memilih duduk di sebuah bangku yang dinaungi pohon palem yang cukup rindang. Kembali, air mata menitik jatuh dari matanya yang agak sembab. Sebuah tepukan halus membuat gadis itu kaget dan spontan menoleh. Nampak di sampingnya, seorang pemuda tampan tersenyum lebar ke arahnya. Kulitnya begitu putih diterpa cahaya mentari pagi.

"Kenapa menangis?"

"Bukan urusanmu!" ketus Luna beringsut menjauhi pemuda itu.

Tak menyurutkan niatnya, pemuda itu tetap duduk sebangku dengan Luna, yang mulai merasa risih dengan kehadiran orang yang tak ia kenal. Sesekali gadis itu melirik pemuda di sampingnya. Ada hal janggal dalam dirinya yang membuat Luna tertarik, tapi enggan bertanya lebih jauh. Paras tampan dengan senyum yang selalu merekah, diakui Luna membuat pemuda di sampingnya begitu menawan.

"Menangislah, kalau itu membuatmu lega. Tak ada yang bisa membawa beban berat seorang diri," cetus pemuda itu menatap ke arah Luna. Tetap dengan senyum yang begitu mempesona.

Luna mendengus mendengarnya. Tanpa menoleh ia pun menjawab, "Darimana kamu tahu aku punya beban? Jangan sok tahu."

Anehnya, pemuda itu tertawa.

"Aku Restu," ucapnya sambil mengulurkan tangan kanannya.

Luna terdiam. Namun, akhirnya menyambut uluran tangan pemuda itu.

"Luna," sahutnya menjabat tangan pemuda itu. Terasa dingin. Mungkin karena cuaca, pikir gadis itu.

"Ayo katakan, apa yang membuatmu menangis di sini?"

"Kamu blak-blakan sekali ya?" Luna tersenyum ke arah Restu.

Pemuda itu bangkit dan mulai melangkah ke salah satu wahana permainan. Ia memberi isyarat agar Luna mengikutinya. Gadis itu sebenarnya enggan, tapi tubuhnya tak bisa menolak untuk mengikutinke mana Restu pergi.

"Kamu mau apa?" tanyanya heran saat pemuda itu membuka pintu masuk wahana bianglala.

"Kita naik ini."

"Bagaima—"

"Sudah, masuk saja!" Restu menarik tangan Luna dan mendudukkan gadis itu di kursi bianglala.

"Untuk apa kita di sini, toh wahananya tak aka—"

Gadis itu tak melanjutkan, saat sebuah getaran membuatnya kaget. Wahana yang mereka naiki mulai menyala, menampilkan lampu-lampu yang berkelap kelip, serta memainkan sebuah musik yang ceria. Perlahan, wahana itu pun mulai bergerak, membawa Luna dan Restu mulai berputar.

Senyum Luna kian lebar, saat ia tiba di puncak putaran. Cahaya matahari pagi yang hangat menyentuh kulitnya dan memberikan sensasi yang luar biasa. Belum lagi pemandangan matahari terbit yang ia lihat dari tempatnya, membuat gadis itu lupa akan masalah yang membelit.

"Kau senang?" Restu menatap Luna dengan penuh arti.

Gadis itu menatapnya dan mengangguk. "Rasanya, semua masalahku menguap," sahutnya.

Mereka pun tertawa dan bersenang-senang benerapa saat, hingga wahana itu berhenti tepat di puncak tertinggi. Kegaduhan terdengar dari bawah sana. Karena penasaran, Luna menunduk melihat apa yang terjadi.

Tepat di bawah wahana, berkumpul beberapa orang yang dikenali Luna adalah tetangga dan ibunya. Ia melihat sang ibu menangis histeris dan dipegangi salah seorang tetangga. Gadis itu keheranan dan berbalik memandang Restu, yang terdiam menatap keributan yang terjadi di bawah sana. Tatapan matanya sedingin es.

"Apa yang ter—"

Restu tak menjawab. Ia menunjuk ke arah kerumunan yang mulai tersibak. Mata Luna membulat sempurna. Seorang gadis yang mirip dengannya, tampak tergeletak di bawah wahana dengan darah yang menggenang. Kaki Luna tak sanggup menopang tubuhnya. Gadis itu melemas di dalam wahana.

"Kau sudah mati Luna dan aku datang menjemputmu," ujar Restu datar.

Luna menggeleng. Ia tak memercayai apa yang terjadi. Tanpa diduga, Restu menarik tangannya dan langsung melompat turun dari wahana, diiringi jeritan gadis itu. Anehnya, mereka mendarat tanpa suara.

Dengan jelas, Luna bisa melihat dirinya yang bersimbah darah. Ia telah meninggal. Meninggal dengan rasa bersalah yang amat besar. Pada dirinya dan juga ibunya. Tak mampu menanggung aib, gadis itu memutuskan menjatuhkan diri dari wahana yang menjadi favoritnya sewaktu kecil.

Luna memegangi kepalanya yang dipenuhi kilasan-kilasan ingatan saat ia mengakhiri hidupnya.

Ia melihat  Tia, ibunya menangis histeris saat mayatnya diangkat dan dibawa sebuah ambulans. Hanya penyesalan yang ada. Waktu yang telah berputar, tak bisa kembali. Takdir tak akan pernah berbalik arah. Arus kehidupan akan terus berjalan. Hanya menyisakan kepedihan bagi yang berduka.

Restu mengulurkan tangannya pada Luna. Di belakang pemuda itu tampak cahaya putih yang sangat menyilaukan.

"Mari kita pulang," ajaknya tersenyum.

Luna memandang ke arah ibunya yang masih bersimpuh di bawah wahana. Meratap dan menangisi nasib putrinya. Ia sadar, kini dirinya hanya roh tanpa raga. Tak bisa memeluk atau pun berucap selamat tinggal.

"Maafkan aku, Ibu. Ini jalan terbaik buat kita semua." Luna melangkah menyusul Restu yang memasuki cahaya menyilaukan itu. Membawa keduanya ke alam keabadian yang sesungguhnya.

Continue Reading

You'll Also Like

2.6M 122K 48
•Obsession Series• Dave tidak bisa lepas dari Kana-nya Dave tidak bisa tanpa Kanara Dave bisa gila tanpa Kanara Dave tidak suka jika Kana-nya pergi ...
123K 3.6K 40
"Udah gue bilang kan, sekali pun bekas lo pasti gue makan" Samuel Wiratama, ketua dari salah satu geng motor yang ada di Jakarta 'Warrior'. Samuel me...
424K 27.1K 38
Aleonazka El. Salah satu anak panti yang baru saja diadopsi saat usianya 10 tahun. Menjadi seorang tuan muda kecil di sebuah keluarga. Sayangnya, ti...
123K 9.5K 120
[Bl Terjemahan] ________________________________________ "Itu kanker. Dengan tingkat metastasis seperti ini... pada dasarnya tidak ada perawatan yang...