Harmony ; family relationship

By cherriessade

39.1K 3K 330

(COMPLETED) [FOLLOW SEBELUM MEMBACA] Bukan cerita tentang kisah percintaan atau penghianatan, bukan juga mi... More

prolog
one
two
three
four
five
six
seven
eight
nine
ten
eleven
twelve
thirteen
fourteen
fifteen
sixteen
seventeen
eighteen
nineteen
twenty
twenty one
twenty two
twenty three
twenty four
twenty five
twenty six
twenty seven
twenty eight
twenty nine
thirty
thirty two
thirty three
thirty four
thirty five
thirty six
thirty seven
thirty eight
thirty nine
fourty
fourty one
fourty two (END)
Promote

thirty one

372 47 3
By cherriessade

Dikelas sepuluh, tiga orang bercengkrama, dua diantaranya duduk diatas meja dengan kaki terangkat sebelah sementara satu duduk dibangku berhadapan dengan mereka.

"Gam, lo deketin Trisya?" Daren mengangkat satu alisnya, melirik Gama curiga.

"Apa sih, nggak."

Beltran ikut memicingkan matanya, melihat Gama yang lebih rendah darinya. "Bohong lu."

"Udah lah, mundur aja. Saingan lo banyak. Trisya pilih-pilih banget soal cowo" Ujar Daren sebab berteman dekat dengan gadis itu.

"Bukan berarti lo nggak ganteng, tapi lo  kaku, datar, dingin. Lo bukan tipe-nya. Mana yang deketin dia banyak kakel, ganteng-ganteng lagi buset." sambung Daren.

Beltran mengernyit. "Sori nih, tapi bukannya dia agak gatel ya?"

"Yang itu gue nggak bisa jelasin. Mau bilang nggak tapi iya, mau bilang iya tapi enggak juga. Dia itu kayak penganggum visual, penganggum cogan-cogan kayak kita. Tapi kalo pacaran, kayaknya dia nggak dulu deh."

"Oh gitu. Tapi gue akuin sih, dia cantik. Gimana yah, cantiknya itu beda dari cewe lain. Gue susah jelasinnya, tapi kalo dijejerin sama cewe-cewe paling cantik sedunia pun, dia kayak bersinar sendiri. Banyak sih yang lebih cantik dari dia, tapi cantiknya dia itu kayak beda aja, nggak ngebosenin." jelas Beltran,"gue kalo belum cinta sama Nasha kayaknya bakal jadi salah satu yang ngejer-ngejer dia."

"Gue sih," Daren menyambung, "sama juga."

Sedangkan Gama hanya bungkam. Dia setuju dengan Beltran mengenai Trisya. Perempuan itu memiliki aura tersendiri. Tapi dia kurang menyukai bagian lanjutan kalimat Beltran dan juga Daren yang ikut menyambung.

"Ah, dah lah woi. Gue mau kekelas Nasha dulu, gue belum liat dia dari tadi pagi." Beltran bergegas turun dari meja.

"Tungguin gue, sekalian mau nyamperin Zila!" Pekik Daren mengikuti Beltran.

Sesampai dikelas mereka berdua, Daren segera menghampiri Zila. Namun, Beltran tidak melihat kehadiran Binasha disana. Oleh karena itu, dia menghampiri Zila yang merupakan teman dekat Nasha.

"Nasha kok nggak ada?"

"Dia nitipin ini buat lo" Zila menyodorkan sebuah amplop berisi surat yang mungkin dapat menjawab pertanyaan Beltran tentang dimana gadis-nya.

"Oh iya, mending dibaca pas lo lagi sendiri aja." ujar Zila membuat Beltran langsung segera pergi menuju tempat sepi.

Membuka amplop yang berisi secarik kertas lalu membacanya.

To Mine, Beltran Daniel Zeth.

Kamu nyariin aku dikelas? aku nggak masuk sekolah hari ini, sampai seterusnya.

Maaf, aku nggak sempet kasih tau kamu. Tadinya aku mau bilang, tapi aku sadar aku hanya lah pengecut yang nggak akan pernah bisa ngehadepin kamu buat salam perpisahan. Aku nggak kuat.

kamu berhak marah, kamu boleh kok benci aku. Aku nggak masalah, memang aku yang salah.

Aku pergi jauh, pindah disekolah yang jauh. Mungkin kita nggak akan pernah ketemu lagi, atau mungkin akan. Oleh karena itu, aku nggak bisa jalani hubungan jarak jauh.

Aku bakal ketemu orang-orang baru, dan dengan jarak yang terbentang diantara kita membuat aku takut kalau aku tiba-tiba jatuh cinta sama orang baru. Aku takut ngehianatin kamu atau bahkan sebaliknya, aku juga takut kamu ngehianatin aku.

Bukannya aku nggak percaya kamu, tapi yang namanya perasaan itu nggak bisa kita kendalikan. Dia datang secara alami dan aku takut. Aku takut menjadi pihak yang disakiti atau bahkan menyakiti. Aku nggak mau itu terjadi, makanya aku buat surat ini untuk bilang bahwa hubungan kita cukup sampai disini. Mari kita akhiri semua ini.

Tapi kamu harus tau dan percaya, aku nggak pernah main-main jalin hubungan sama kamu. Aku serius cinta kamu. Tapi sangat disayangkan, sepertinya keadaan nggak merestui kita buat bersama.

Aku tau aku udah nggak pantas tapi aku hanya mau bilang aku cinta kamu, Love.

From Binasha Luna

Kertas itu tiba-tiba jatuh dari pegangannya. Jangan tanyakan bagaimana kondisi hatinya. Perasaannya menjadi tidak karuan, emosi tercampur aduk membuat kepalanya menjadi terasa berat.

Dan apa ini? Dia tidak menyangka akan diputuskan lewat surat oleh Nasha. Perempuan itu berhasil memporak-porandakan isi hatinya. Ini benar-benar tidak terduga, seolah hatinya terasa ditancap ribuan belati tajam.

Sakit sekali.

***

Alin menghela nafas ketika jemputannya masih belum datang, dirinya adalah satu-satunya yang masih berada disekolah. Biasanya disaat seperti ini, Bara selalu menawarkan tumpangan. Tapi sepertinya, lelaki itu sedang bersama Agatha. Sebenarnya tak hanya Bara, namun Elvano, Beltran, dan Reon juga sering memberinya tumpangan.

Alin mendesah pelan, hari sudah terlalu sore. Apa harus dia menelepon Rana? Ah, tidak, Mama-nya pasti sedang sibuk sekali saat ini.

Alin mengernyit ketika sebuah jeep hitam tiba-tiba saja berhenti didepannya. Dua orang lelaki bertubuh besar keluar dari mobil itu.

"Kami anak buah Mama mu yang diutus untuk menjemput putrinya. Ayo, silahkan naik."

Alinza memicingkan matanya, merasa aneh. Mama-nya tidak pernah mengutus orang seperti ini, dia punya sopir, kalau sopirnya sedang mengambil cuti, biasanya Mama-nya memberi ongkos tambahan untuk taxi.

" Mama saya sudah meninggal." ujar Alinza yang sebetulnya hanya ingin menguji mereka.

Kemudian dua orang itu saling pandang, menggerakkan kepala menunjuknya, seolah adalah isyarat dan pertanda untuk mulai bergerak. Alin yang melihat gelagat aneh tersebut merasa curiga. Bersiap mengambil ancang-ancang untuk kabur saat dua orang itu bergerak menghampirinya.

Dia berlari menjauh, melihat dua orang itu mengejarnya membuatnya mempercepat lari. Melirik ke belakang dan mulai panik saat mobil yang mereka pakai mulai melaju mengejarnya, sementara dua orang masih tetap setia dibelakang.

Dia sudah tidak kuat, jantungnya dipompa seribu kali lebih cepat. Tenaganya mulai habis, serta napasnya yang tersenggal-senggal. Alin ingin berhenti, namun dia harus bisa bertahan.

Mobil yang tadi mengejarnya, kini melesat dan berhenti tepat didepannya hingga dia mendadak berhenti. Dua orang berbadan besar yang mengejarnya di belakang pun sudah berhasil menyusulnya.

Lelaki yang didalam mobil menurunkan kaca. "Cepat bawa dia masuk"

Kemudian dua orang itu memaksanya untuk masuk. Alin memberontak sekuat tenaga, namun percuma saja, dia hanyalah seorang gadis yang mencoba melawan dua lelaki bertubuh besar, tidakkah itu konyol?

Alin tidak tahu siapa ketiga lelaki itu, tapi sangat jelas mereka memiliki niat jahat. Mereka mengikat lengannya dibelakang dan mendorongnya paksa masuk kedalam mobil.

Alin terkejut luar biasa begitu memasuki mobil, "Agatha?!

Disana, Agatha hanya melihatnya dengan tatapan ketakutan. Tangan gadis itu juga diikat dari belakang sama sepertinya, dan juga lakban hitam yang menutup mulutnya.

Salah satu lelaki itu juga melakukan itu padanya, menutup mulutnya dengan lakban hitam hingga kesulitan berbicara. Dia saling berpandangan dengan Agatha, melempat tatapan bingung yang sama.

Mereka tidak tahu alasan mereka disini, tapi bukankah ini termasuk penculikan?

***


Beltran mencoba meyakini apa yang terjadi sekarang itu bukanlah kenyataan. Setelah surat yang Nasha tulis untuknya telah sampai ditangannya sejak kemarin, esoknya Beltran tetap mencari gadis itu dikelasnya.

Dia tidak ada. Dia benar-benar pergi? Apa benar Binasha setega itu padanya?

Tak hanya itu, sepulang sekolah dia bahkan langsung pergi kerumah Nasha untuk memastikannya. Dalam perjalanan dia hanya berharap Nasha masih disana, masih tinggal disana. Namun yang dia dapatkan hanyalah nihil, rumah itu benar-benar sudah seperti rumah kosong tak berpenghuni.

Berakhir dengan dia yang pulang kerumahnya dengan rasa putus asa, juga akal pikiran yang kosong. Bahunya yang menurun seperti tidak memiliki semangat hidup.

Dia tidak langsung menuju kamarnya, entah mengapa dia justru menuju dapur saat mendengar suara panci dari sana. Melihat Mommy yang tengah memasak dengan wajah sulit diartikan, Beltran berjalan mendekatinya.

Memeluk Mommy dari belakang sambil menyandarkan kepala dipunggungnya yang nyaman. Sedangkan Queen langsung menoleh kebelakang, seperti terkejut karena kedatangannya yang tiba-tiba.

"Kamu ih," Decak Mommy, "Mommy kirain siapa"

Beltran masih tidak melepaskan pelukannya, memeluk Mommy dengan erat. "Cuma Mommy satu-satunya perempuan yang aku sayang selain dia. Mommy...jangan tinggalin aku juga, ya" pintanya dengan suara lemah.

Queen mengernyit, merasa ada yang salah pada anaknya. Berbalik untuk berhadapan langsung pada Beltran, "kamu kenapa?"

Beltran menggeleng, lalu melirih, "aku hanya nggak mau kehilangan.... Mommy"

"Tumben kamu begini?"

Beltran mendongak, dengan matanya yang memerah, dia menatap Queen serius. "Mommy mau kan janji sama aku?"

"Sayang, kamu sakit?" Queen memegang kening putranya, namun tidak terasa panas, lalu ada apa?

Beltran kembali memeluk Mommy. Menyembunyikan wajahnya dibahu Queen, lalu berbisik pelan, "jangan tinggalin aku, Mom."

Queen menghela napasnya, membalas pelukan sang putra tidak kalah erat, mengelus surai hitam kecoklatan itu dengan lembut. "Mommy sayang kamu, sampai kapanpun akan selalu begitu. Nggak mungkin Mommy sanggup ninggalin kesayangan Mommy, kan?"

Mendengar itu Beltran sedikit tenang. Menguraikan pelukannya, lalu menundukan kepala dalam-dalam. Kemudian dia menghela, "tapi orang yang aku sayang juga ngomong begitu sama aku. Dia pernah janji nggak akan pernah tinggalin aku, dia bilang akan selalu ada disamping aku, but....she lies."

Beltran bahkan tak bisa lagi mendeskripsikan rasa sakitnya. Menahan tangis sejak tadi yang entah sampai kapan dirinya kuat untuk menahannya.

"Kalau begitu, Mommy beda. Mommy nggak akan pernah begitu, karena Mommy sayang anak-anak Mommy. Ngomong-ngomong siapa?" Queen bertanya memastikan, "Binasha?"

Dengan lemah, Beltran mengangguk. "It's hurt."

Queen mematikan kompor, memegang kedua bahu putranya yang terlihat menyedihkan. "Coba cerita sama Mommy, kok bisa?

***

Bara saat itu sedang bermain PS dengan Elvano dikamarnya. Mulanya dia mengabaikan ponselnya yang berbunyi, apalagi ketika tahu bahwa itu  panggilan dari Reon. Namun karena Reon memanggilnya berulang kali, maka dari itu lebih baik Bara menerima panggilannya.

"Apa?" ketusnya.

"Kalem lah, nyet. Ketularan Gavin lo ngegas mulu"

"..." Bara tidak menjawab, malas meladeni Reon. Baru hendak ingin mematikan sambungannya sepihak, tapi Reon kembali berseru, seperti sudah bisa menebak Bara akan mematikan telepon.

"Tunggu dulu lah, sat. Belom ngomong nih gue"

"Itu, ....em lo tau kan Agatha sama Alinza nggak masuk sekolah tanpa kabar? pacar gue khawatir karena dia sempet chat tapi nggak pernah dibales. Terus juga dia udah kerumah mereka berdua, tapi katanya mereka nggak ada. Bahkan orang tuanya pun nggak tahu. Orang tua mereka cemas dan mereka juga udah lapor polisi."

Bara mengangkat sebelah alisnya, "lo yakin?"

"Ck, bahkan orang tua mereka udah lapor polisi artinya ini nggak main-main."

Bara langsung memutuskan sambungan sepihak, mencari jaket kulitnya sambil mendial nomor seseorang.

"Bar, lo mau kemana?" Tanya Elvano penasaran tetapi Bara tak menggubrisnya.

Bara hanya sibuk memakaikan jaketnya sambil menempelkan ponsel ditelinganya

"Halo" suara dari seberang sana.

"Gue bisa minta tolong?" ujarnya sedikit terburu-buru.

***

Tepatnya ini terjadi—tadi pagi—beberapa jam lalu, saat mereka terbangun dari pengaruh obat bius. Melirik sekeliling yang tampak asing. Kemudian tiga orang muncul, menampakan diri dihadapan Alin dan Agatha.

"gue nggak salah lagi diculikkan?" Alin terkekeh sengit, "mana bos lo? kuno banget cara mainnya."

"Diem lo bocah" seru salah satu preman disana.

"Angel, kan?" serunya pelan, membuat Agatha menoleh.

"Kak Angel??" Agatha membulatkan matanya, tidak percaya.

"Jangan sotoy lu, deh." Decak pria tersebut.

"Gue tahu," gumam Alin, "pasti Angel."

Salah satu pria memberi kode kepada dua pria lainnya untuk memisahkan mereka. Membawa mereka berdua saling menjauh meski Alin sempat memberontak keras.

***

"Halo, Bar?"

"Gimana?"

"Temen gue udah coba ngelacak mereka. Ketemunya ditempat yang jauh dari kota, semacam kayak perdesaan. habis ini gue kirim lokasinya."

"Oke."

"Timothy?" Tanya Elvano yang duduk dikursi penumpang sebelahnya. Bara hanya mengangguk, kemudian langsung menancap gas setelah Timothy mengirimi lokasi lewat chat.

Bara tidak tahu, namun hatinya merasa sangat gelisah. Entah karena siapa, Agatha, Alinza, atau bahkan keduanya. Yang jelas Bara peduli terhadap mereka.

Sama halnya dengan Bara, Elvano juga merasakan hal yang sama. Dia begitu khawatir kepada Alinza, juga Agatha tentu. Dirinya merasa cemas sepanjang perjalanan, bahkan mendorong Bara untuk lebih menambah kecepatan disaat mobil yang Bara kemudi sudah mencapai kecepatan maksimum.

Selama dua setengah jam lamanya dalam perjalanan, mereka sampai dilokasi. Tempat yang berbeda jauh dengan perkotaan dimana terdapat gedung-gedung tinggi dikiri-kanannya. Disini justru hanyalah sawah-sawah hijau dan pemandangan yang asri. Sangat sejuk bila dilihat, tapi ini bukan saatnya. Bukan saat untuk menikmati pemandangan disaat ada yang lebih membutuhkan pertolongan.

Mereka melaju melewati sawah, rumah-rumah penduduk yang masih terbuat dari papan. Sepertinya akses internet sangat minim disini.

Para penduduk disana lebih ramah lagi, tersenyum kepada mereka walau tidak mengenal bahkan disaat dalam keadaan kaca mobil tertutup.

Setelah sampai dilokasi tertuju, Bara memberhentikan mobilnya. Lokasi itu sedikit jauh dari rumah-rumah warga lainnya, atau lebih tepatnya berada dipaling ujung. Hanya satu-satunya tempat itu yang berada dipaling ujung.

Melihat tiga orang yang berjaga-jaga dipintu sambil menikmati kopi. Lantas ketiganya mendongak ketika melihat kedatangan Bara dan Elvano disana.

Tersenyum smirk, "Heh, bocah! Kalian ngapain kesini? Nyari rumah nenek lo? Salah alamat kali."

Ketiganya tergelak membuat Elvano menggepalkan tangannya.

"Mana Alinza, bangsat?!" serunya marah sambil menjatuhkan satu pukulan telak pada salah satu dari ketiga orang disana.

Melihat temannya yang dipukuli, dua preman tersebut langsung berdiri. "Apa-apaan lo?!"

"Lo yang apa-apaan?! Mana cewe gue, sialan!" Desis Elvano tajam, sampai membuat Bara menoleh kearahnya.

Dua orang itu saling pandang, lalu tersenyum miring, "oh, jadi salah satu cewe disana itu pacar lo?"

"Banyak bacot lo" Elvano kembali memberikan satu pukulan kepada salah satunya membuat orang itu terjerembab. Bara tidak tinggal diam, membantu Elvano. Menangkis serangan ketika salah satu menyerangnya.

Elvano menoleh padanya, "Bar, lo masuk dulu, biar gue tangani mereka bertiga"

Bara mengangguk. Elvano dapat dipercaya, lelaki itu pemegang sabuk hitam taekwondo. Bara bergegas masuk kedalam rumah itu. Mencari keseluruh isi rumah. Mendengar suara teriakan, dia langsung mencari asal suara tersebut.

Berada ditengah-tengah, Bara bingung hendak pergi ke-ruangan siapa dulu. Dia sama-sama mendengar suara dari arah yang berlawanan. Dia kenal suara itu. Suara teriakan minta tolong yang sangat terdengar jelas dari arah selatan, sedangkan diutara, suara gedoran pintu yang minta dibebaskan. Bara tidak tahu pilihannya benar atau tidak, tapi pada akhirnya dia memilih pergi ke-ruangan arah utara terlebih dahulu. 

Dia mengetuk pintu ketika gedoran serta lirihan seseorang yang terdengar dari dalam sana.

Bara membukakan ruangan dengan kunci yang sempat dia ambil dimeja luar, tempat ketiga orang itu duduk pada awalnya.

Dia masuk kedalam ruangan itu, melihat samar-samar Alin yang terduduk dilantai. Karena kondisi ruangan yang gelap, hanya dibantu penerangan minim dari luar, Bara langsung membayangkan betapa gelapnya ketika terkurung didalam ruangan tersebut.

Dia mengaktifkan flashlight ponselnya dan meletakkannya dibawah.

"Lo nggak papa?" Tanyanya khawatir ketika melihat perempuan itu yang dipenuhi keringat dingin.

Dia menggeleng, "aku nggak papa. Harusnya Kak Bara tolongin Agatha lebih dulu, dia takut ular. Preman itu...mereka letakin ular dalam ruangannya."

Namun, ada yang terlihat aneh dari gadis itu. Wajahnya tampak pucat, juga pernapasannya yang sepertinya tidak stabil. Helaan napas yang jelas sekali terdengar seperti sesak nafas.

Bara menyingkirkan anak rambut yang basah karena keringat, mengaitkan dibelakang telinga gadis itu. "Gue...,"

"....nggak nyesel nyelametin lo lebih dulu" gumamnya.

Entahlah, Alin tidak memperhatikan ucapan Bara. Dirinya merasa pusing dan mual, juga dadanya yang terasa sesak. Namun, memaksakan diri untuk berdiri. Dia ingin menyelamatkan Agatha, temannya itu lebih membutuhkan pertolongan. Namun, belum melangkahkan kaki, Alin memegang kepalanya yang semakin menjadi-jadi. Kakinya melemah, jantungnya berdetak lebih cepat, ditambah rasa pening membuat pijakannya oleng.

Melihat itu, Bara mengernyit, "lo kenapa?–ALIN!!"

Bara langsung sigap menangkap gadis itu ketika gadis itu tiba-tiba melemas dan jatuh tak sadarkan diri.

"Alin?" Bara mencoba membangunkannya, menepuk pipi gadis itu pelan.

Apa yang terjadi? Mengapa seperti ini?

Teringat oleh Agatha, Bara berniat meninggalkan Alin disana sebentar. Namun, ketika dirinya keluar, berpaspasan dengan Elvano.

"Lo bawa Alin ke mobil, dia pingsan." ujar Bara buru-buru.

Elvano langsung melengos menghampiri Alin sementara Bara ketempat Agatha. Membuka kunci pintunya, mengernyit heran ketika ruangan Agatha yang jauh lebih terang, berbeda dengan ruangan Alin yang gelap gulita.

"Kak Bara?" gumam Agatha membuat Bara menoleh kearahnya.

Dilihatnya Agatha yang berdiri tinggi diatas meja sementara dibawah terdapat beberapa ular yang dibiarkan bebas. Melihat ular itu, Bara langsung mengetahui bahwa itu jenis ular tidak berbisa.

"Lo bisa turun, ularnya nggak berbahaya." ujarnya, tapi Agatha masih bergeming ditempat.

Teringat perkataan Alin tentang Agatha yang takut dengan ular, Bara menghela napas panjang. Dia mendekati Agatha, lalu berdiri memunggunginya.

"Naik," titahnya, membuat Agatha tidak punya pilihan lain selain menuruti. Lagipula ini satu-satunya cara tercepat dibandingkan harus mengeluarkan ular-ular disana satu-persatu.

Agatha naik kepunggung Bara. Dari jarak sedekat ini, Agatha dapat mencium wangi maskulin yang memabukkannya. Menyadari bahwa dirinya sedekat ini dengan Bara membuat jantungnya berdegup kencang, berharap Bara tak menyadarinya.

"Ohiya, Alin gimana? Kak Bara udah selamatin dia, kan?" suara Agatha langsung berganti cemas, "Kak Bara harus selamatin dia. Dia phobia ruang sempit"

Bara terdiam. Jadi karena itu.

"Alin... udah dibawa Elvano ke mobil."


***

To be continued

Published July 18th, 2021.
11.57 PM.

Continue Reading

You'll Also Like

108K 4.1K 35
[BIJAK DALAM MEMBACA] [BIASAKAN FOLLOW TERLEBIH DAHULU SEBELUM MEMBACA CERITA INI!!] Menceritakan kisah seorang pria tampan raja jalanan si ketua Gan...
6.2M 209K 40
#1st in werewolf #1st in confessions and fighter #1st in humor #5th in romance Hayley Hood is a 17 year old girl who has gone through so many things...
7.4M 422K 56
''You remind me of the ocean..'' ''Is it because I'm deep and mysterious?'' he asks. ''No, because you're salty and scare the shit out of people'' Β©2...
7.5M 339K 47
''so, want my bites or hickeys?'' Β©2018-2019