Informed Consent

By rsaryani91

569K 66.9K 3.3K

"Setiap hal yang terjadi atas persetujuan kita, ada andil kita di dalamnya. Jangan mudah menyalahkan takdir j... More

Chapter 1 : Jovita
Chapter 2 : Legal Officer
Chapter 3 : A.S.A.P
Chapter 4 : Prokes 6M
Chapter 5 : Golden Sunset
Chapter 6 : Life Must Go On
Chapter 7 : Hari Berwarna
Chapter 8 : Seleksi Awal
Chapter 9 : Dua Alasan
Chapter 10 : Door In The Face
Chapter 11 : Chef Akmal
Chapter 12 : Phillophobia
Chapter 13 : Masa Lalu
Chapter 14 : Pantai Bersejarah
Chapter 15 : Penutup Hari
Chapter 16 : Kembali
Chapter 17 : Abhayagiri
Chapter 18 : Kera Hutan
Chapter 19 : Pelukan Ombak
Chapter 20 : Rafa Dan Lila
Chapter 21 : Informed Consent
Chapter 22 : Masa Lalu
Chapter 23 : Bukit Sindy
Chapter 24 : Penyesalan
Chapter 25 : Tour Guide
Chapter 26 : Saham Rumah Sakit
Chapter 27 : Terkonfimasi
Chapter 28 : Beban Masa Lalu
Chapter 29 : Pengorbanan
Chapter 30 : Informed Consent (2)
Chapter 31 : Dua Cangkir Teh
Chapter 33 : Seleksi Tuhan
Chapter 34 : Amanah
Chapter 35 : Kanigaran
Extra Chapter
Extra Chapter
Bukan Extra

Chapter 32 : Pecahan Kaca

14.1K 1.7K 91
By rsaryani91

JOVITA

"Saya kira kamu udah pulang, Vi!"

Aku mengangkat wajah untuk melihat siapa yang menyapaku dan mendapati Bu Martha berdiri di ambang pintu.

Aku melempar senyum pada atasanku yang sangat baik itu sambil menjawab, "Sebentar lagi, Bu. Rapatnya udah selesai?"

Bu Martha mengangguk seraya mendekat ke arahku. "Sudah barusan, sayangnya nggak ada kamu, jadi saya oleng sendirian tadi Vi!" jawab beliau.

Rapat yang barusan terlaksana memang rapat VIP, di mana pesertanya level Bu Martha ke atas.

"Kalau ada saya malah jadi tambah oleng kan Bu?"

Bu Martha tertawa riang mendengar jawabanku kemudian beliau pamit untuk pulang lebih dulu sedangkan aku masih enggan meninggalkan ruanganku ini.

Dari Bu Martha, ruanganku tidak jadi kosong karena berikutnya Adrian masuk. "Vi, aku antar pulang ya?" tanyanya.

"Maaf, Pak! Udah dijemput." jawabku.

Pria bertubuh tinggi itu mendesah kecewa sembari menjatuhkan diri ke kursi.

"Kalau gitu, nanti makan bareng yuk?" ajaknya lagi.

Aku hanya tersenyum untuk menjawab ajakannya dan kini dia berdecak. "Jangan bilang udah ada acara!"

"Ada,"

Adrian kini menegakkan duduknya sambil menatapku lurus-lurus. "Nggak ada kesempatan untukku lagi ya, Vi?" tanyanya pelan.

Aku balas tatapannya. "Pak Adrian yang terhormat, jangan mulai lagi!"

Dia kembali mendesah kecewa lalu berkata, "Ya sudahlah. Aku bisa bersaing dengan orang-orang yang mencintai kamu, tapi aku akan kalah telak sama orang yang kamu cintai,"

Aku mencibir ucapannya, hingga sekarang aku masih cukup aneh dengan Adrian, jika sedang berdua denganku begini, dia bisa bertingkah lebih kekanakan dari Jovan, berbeda jauh ketika dia sedang berperan sebagai direktur, wibawanya membuat orang-orang segan untuk menyapanya.

"Kerja yang baik ya, Adek Adrian!" candaku yang membuat Adrian melotot kemudian pamit kembali ke ruangannya.

Tapi sebelum benar-benar menutup pintu ruanganku, dia berkata lagi, "Bahagia selalu Kakak Jovita!" ucapnya dengan sengaja menekan kata kakak.

Adrian pria yang baik, aku bukannya menutup mata dengan perhatiannya yang terkesan lebih padaku daripada ke yang lain, tapi aku selalu menekankan pada dia bahwa hubungan kita hanya sebatas rekan kerja, atau kalau misal lebih, ya bisa dia bisa jadi adik keduaku.

Sepeninggalan Adrian ponselku menyala dan menunjukkan nama Akmal di sana. "Sebentar ya, Mal! Tinggal matiin komputer." ucapku ketika menjawab teleponnya.

"Nggak apa-apa, Vi! Aku tunggu di depan UGD ya, ini ada Rafa."

"Iya,"

Panggilannya sudah terputus namun rasanya aku masih belum ingin beranjak. Ini kali pertamanya Akmal menjemputku lagi, setelah aku memutuskan untuk memulai semua dari awal.

Semenjak malam itu, Akmal langsung ada pekerjaan yang membuat kami tidak bisa bertemu, baru hari ini selang empat hari kemudian, dia minta untuk menjemputku.

Bukan aku mau mempermainkan hati Akmal, hanya saja aku belum bisa mengembalikan semua secara sempurna seperti dulu.

Tapi aku nggak boleh egois, aku juga harus berusaha untuk mengembalikan semuanya seperti dulu.

Bukan seperti dulu.. Tapi yang benar membuka lembaran baru.

Aku berjalan perlahan dari ruangan menuju UGD tempat Akmal menunggu. Dari kejauhan aku melihat dua pria yang sedang berdiri berhadapan dan tertawa bersama.

Akmal melempar senyum begitu melihat aku mendekat. "Udah?" tanyanya.

"Udah kok," jawabku.

Akmal berpamitan pada Rafa yang tersenyum penuh arti. Aku bisa menebak apa arti senyum itu tapi aku sangat menghargai karena dia tidak mengatakan apapun.

"Hati-hati, kalian. Besok gue ke rumah lo ya, Vi? Sama istri," ujar Rafa yang diakhiri tawa.

"Sombong amat yang punya istri!" balas Akmal lalu keduanya kembali tertawa sebelum Akmal akhirnya pamit.

Aku berjalan di sisi Akmal membiarkan lelaki itu menggenggam tanganku menuju mobil. Baru setelah kita sama-sama duduk, dia mencondongkan tubuhnya bermaksud mencium keningku, tapi reflek kagetku membuat aku mundur menghindari Akmal.

Mata Akmal menatap lurus kemudian bibirnya tersenyum. Aku merasa tidak enak karena terkesan menghindarinya padahal itu murni respon kagetku.

"Sorry, kaget." ucapku.

Akmal tersenyum lagi dan mengusap rambutku pelan. "Nggak apa-apa, pelan-pelan." ucapnya kemudian mulai membawa mobilnya menjauh dari rumah sakit.

Perjalanan dari kantor ke rumahku terasa begitu sunyi. Tak banyak yang kita bicarakan, aku masih terlalu canggung sedangkan Akmal sama sekali tidak menunjukkan rasa keberatannya.

"Besok kamu mulai WFH lagi?" tanyanya.

"Kayaknya enggak, rumah sakit masih buka 100% selama pembatasan ini. Tadi direksi baru rapat, mungkin besok dikasih kebijakannya."

Sekali lagi Akmal mengusap rambutku dengan tangan kirinya. "Kalau begitu aku siap jadi sopir kamu, karena aku WFH." ujarnya disertai senyuman lebar.

Aku balas senyumnya, walaupun rasanya masih asing tapi aku menerima tawarannya, aku tau dia sedang berusaha memperbaiki hubungan ini, dan aku harus menghargainya.

Sebelum sampai rumahku, Akmal berhenti di sebuah minimarket, membeli banyak makanan dan juga dua cup minuman coklat. Dia tidak memperbolehkan aku turun, menyuruhku tetap duduk manis di mobil, sedangkan dia belanja sendiri.

"Makan malamnya mau di luar atau pesan aja, Vi?" tanya Akmal begitu sampai rumahku, dia membawa dua kantong belanjaan sedangkan aku membawa dua minuman.

"Kamu maunya gimana?"

Akmal menaruh belanjaannya di sofa kemudian melepas jam tangan dan menggulung lengan kemejanya. "Maunya bikin kamu seneng." jawabnya diakhiri senyuman lebar.

Aku ikut tersenyum, lelaki ini pasti bisa merasakan kecanggunganku tapi dia tetap berusaha terus membuatku nyaman.

"Mau dimasakin chef Akmal, boleh?" tanyaku.

Akmal menatapku penuh arti kemudian tersenyum lebar. "Anything for you!"  jawabnya kemudian berdiri mendekatiku, kali ini aku mencoba diam ketika dia mencium keningku. Rasanya ada sesuatu yang menghangatkan hatiku.

"Chef Akmal masak dan juri Jovita mandi dulu!" ucapnya sembari mendorong punggungku ke kamar kemudian dia memulai aksinya di dapur.

Sementara Akmal bermain-main di dapur, aku masuk kamar untuk mandi. Aku masih saja memperlambat semua gerakanku, sambil terus meyakinkan diriku bahwa yang berada di dapur itu adalah benar Akmal.

Satu jam kemudian aku keluar kamar dengan rasa lebih segar, bersamaan dengan Akmal yang selesai membawa dua piring nasi goreng ke meja tengah, tempat favorit kami makan bukan di meja makan, melainkan di ruang tengah sambil nonton.

"Kamu keburu lapar nggak kalau aku mandi sebentar?" tanya Akmal. "Sekalian izin numpang mandi ya?" imbuhnya.

Aku tersenyum dan mengangguk kemudian tanpa pamit lagi Akmal keluar mengambil baju gantinya di mobil berlanjut masuk ke kamar mandi dekat dapur.

Tidak selama waktu yang aku butuhkan, lima belas menit Akmal sudah kembali duduk bersamaku dengan wajah yang lebih segar dan baju yang lebih santai.

Akmal mulai mengajakku makan, dia terus bercerita hal-hal ringan, dia masih mencoba mencairkan suasana. Sedangkan aku hanya terus makan sambil sering menatapnya. Kalau ditanya rasanya hatiku sangat bergejolak, aku senang kini Akmal kembali di sisiku tapi aku takut suatu saat akan mengalami sakit hati lagi.

Karena terlalu terbawa perasaan, aku sampai tidak sadar meneteskan air mata, membuat Akmal berhenti makan dan menatapku cukup lama.

®©®

AKMAL

"Vi?"

Gue terkejut melihat Ovi yang tiba-tiba menangis padahal gue sedang cerita hal-hal yang lucu.

Gue sadar, sejak pulang dari rumah sakit tadi Ovi masih terlihat canggung, sikapnya belum seratus persen kembali, dan gue akan sabar menanti kapan dia bisa kembali hangat ke gue. Dia udah kasih kesempatan ke gue, tugas gue adalah mengembalikan kepercayaan dia.

Tanpa membuang waktu lagi, gue letakkan sendok dan menggeser tubuh gue agar bisa merangkul pundak Jovita.

"Maaf Vi, Kepedesan ya nasi gorengnya? Sampai bikin nangis." tanya gue sambil mencoba tertawa meskipun hati gue kembali diliputi rasa bersalah.

Jovita tertawa pelan seraya mengusap pipinya yang basah. "Iya, pedes. Biasanya kamu nggak suka pedes." jawabnya.

Gue cukup terharu, dia masih ingat hal kecil tentang gue.

Acara makan kembali kondusif, gue kembali menceritakan hal-hal ringan, Ovi mendengarkan sambil makan meskipun masih lebih banyak diam. Baru setelah selesai makan dan Ovi membereskan piring kotor, kita berdua kembali duduk di ruang tengah sambil menonton berita yang saat ini tengah ramai.

"Karyawan di kantor satu persatu mulai tumbang kena virus, akhirnya tenaganya kurang dan kemarin beberapa orang ke ruanganku, demo," Jovita mengawali cerita malam ini.

"Terus gimana kebijakannya?"

Ovi mengangkat bahunya. "Tadi baru rapat itu, kasihan sih teman-teman yang tersisa, harus back up sana-sini, jobdesk udah nggak berlaku, pokoknya semua bahu membahu," terangnya.

"Kapanpun butuh bantuanku, telepon aja ya! Sampai hari pembatasan ini, aku nggak banyak kerjaan."

Jovita tersenyum tipis sambil mengangguk.

"Tadi aku beli parcel buah lumayan banyak, buat ngirim teman-teman yang lagi isolasi mandiri, terus penjual buahnya nangis, katanya udah beberapa hari nggak ada pembeli, buahnya sampai banyak yang busuk." Cerita Ovi lagi.

Gue mengusap rambutnya selagi mendengarkan dia cerita. "Semua terdampak, Vi! Dari pengusaha besar sampai kecil, salah satu cabang perusahaan kita yang di bidang tekstil juga berdampak besar, padahal baru mau bangkit lagi, daya beli pasar masih stagnan, sampai terpaksa harus PHK. Seharusnya yang punya jiwa usaha harus siap,"

"Ya nggak semudah itu, Mal! Sebagian pengusaha kecil taunya cuma bagaimana dagangan mereka laku untuk bertahan hidup, mereka nggak punya konsultan ekonomi, nggak punya konsultan hukum, rasanya pengin bilang mereka harus taat aturan, tapi disatu sisi mereka punya tanggungan menghidupi keluarga. Sebagian lebih takut kelaparan daripada takut virus." ujar Ovi lagi.

Kalau boleh jujur gue setuju sama Ovi, masyarakat menengah ke bawah sangat merasakan dampak pandemi ini tapi entah kenapa gue pengin mendebatnya, agar Ovi mulai berbicara panjang ke gue.

"Padahal seandainya masyarakat mau berkorban sedikit lagi dan patuh aturan, pandemi bisa teratasi. Di negara kita pandemi nggak selesai-selesai karena yang peduli sama yang abai masih banyak yang abai. Stigma-stigma yang ada membuat masyarakat krisis kepercayaan sama pemerintah, yang dicovidkan lah, yang vaksin berbahaya lah," jawab gue.

Ovi mulai terpancing, dia mengubah duduknya menghadap gue. "Nggak ada asap kalau nggak ada api, masyarakat begitu karena memang ada oknum-oknum yang mencoba bikin rusuh. Kamu lihat aja itu, dana bantuan di korupsi, ada oknum rumah sakit yang memang memanfaatkan tunjangan covid pemerintah dengan memalsukan hasil pemeriksaan, ada alat antigen dipalsukan. Susah!"

Gue sebenarnya udah nggak tega lihat Ovi yang mulai terpancing, tapi gue menikmati sekali Ovi yang mulai mencair sikapnya.

"Kalau masyarakat mau kritis, mereka akan mencari kebenarannya, nggak asal percaya yang negatif begitu, tapi sayang, sebagian besar masyarakat kita masih rendah daya bacanya, terus terlalu menikmati berita-berita miring kayak gitu. Akhirnya nggak selesai-selesai pandemi ini, semua pihak susah diajak kerja sama." jawab gue lagi.

Di saat Ovi sudah menarik napas ingin mendebat, dengan tidak tau dirinya gue maju untuk mencium pipinya, membuat Ovi terdiam lalu sedetik kemudian memukul lenganku dan tertawa.

Rasanya hati gue bagai mendapat siraman air gunung, seger, adem, sejuk melihat tawa lepas Ovi.

Dan dengan tak tau dirinya lagi gue memeluk pundak Ovi berujung dia yang akhirnya mau bersandar di pundak gue.

"Vi!"

"Iya,"

Gue mengusap kepalanya yang masih bersandar dengan lembut. "Terus seperti ini ya! Kamu cerita apapun ke aku, mau dari hal paling kecil sampai besar, dari yang nggak penting sampai penting. Cerita kegiatanmu sepanjang hari, aku rela jadi tempat sampah untuk segala keluh kesah mu selama seharian." ucap gue dan Jovita hanya bergumam sambil mengangguk. 

Terkesan buaya darat banget ya bodo amat, yang jelas itu tulus dari hati gue.

"Vi, aku boleh tanya sesuatu?"

"Apa?"

Mulut gue masih ragu untuk mengucapkan pertanyaan yang sebenarnya dari kemaren gue penasaran.

"Apa yang membuat kamu mau kasih kesempatan ke aku yang udah jahat ini?" tanya gue pada akhirnya.

Jovita tak langsung menjawab, ada jeda beberapa saat yang membuat ruangan ini sunyi, hanya ada suara kecil iklan televisi.

"Kaca yang udah pecah nggak akan utuh lagi  walaupun direkatkan," ujar Jovita yang membuat hati gue berdesir.

"Itu yang pernah dikatakan Gilang ke aku," lanjut Jovita dan berhasil membuat jantung gue berdebar lebih kencang mendengar dia menyebut nama Gilang.

"Dan sekarang aku bisa memaknai artinya. Biasanya orang mengganti kaca pecah dengan yang baru agar sempurna lagi, tapi apa ada jaminan kaca yang baru tidak akan pecah?"

"Enggak, kemungkinan bisa pecah lagi." jawab gue sambil memainkan jari Jovita, jari yang sudah kosong, tak ada lagi dua cincin yang pernah gue kasih.

"Berarti emang nggak ada kaca yang sempurna, seperti halnya manusia, nggak akan ada yang sempurna. Dulu aku salah mencintai Gilang yang aku kira sudah sangat sempurna untuk hidupku, tapi nyatanya pecah berkeping-keping, lalu aku ketemu kamu yang aku kira bisa menyempurnakan hidupku karena kamu bisa memaafkan masa laluku, tapi akhirnya pecah juga oleh balas dendam. Sampai kamu kembali untuk  menawarkan perekat untuk menyatukan kaca itu lagi, aku ragu tapi aku tau nggak ada yang sempurna, begitu juga aku, kejahatanku lebih tak termaafkan, tapi kamu bisa menerima. Aku nggak yakin ada yang bisa nerima masa laluku layaknya kamu, padahal itu menyangkut kakak kamu sendiri." terang Ovi yang lagi-lagi membuat gue berdesir.

Gue sangat merasa beruntung, masih ada kesempatan itu. Gue akan menyesal seumur hidup kalau sampai kehilangan Ovi dari hidup gue.

Saat ini Gue membiarkan Ovi menenangkan hatinya, gue tau masih ada sesuatu yang belum puas dia utarakan.

"Makasih, Vi! Dan aku minta maaf sekali atas banyaknya luka hati yang aku ciptakan."

Jovita hanya mengangguk tapi tangannya kini beralih melingkar di perutku dan memeluknya erat. Gue cium kepalanya, menikmati momen indah ini, sebelum gue harus pulang. Gue nggak sabar membuat Ovi yakin kembali sama gue dan akhirnya gue bisa mengajaknya melangkah ke level hubungan yang lebih tinggi, dan gue nggak perlu pulang lagi dari sini saat malam datang.



Continue Reading

You'll Also Like

4M 117K 67
WARNING : Bijaklah memilih bacaan 18+ CEO story. Dibuat oleh para pencari kepuasan yang hakiki. Dipersembahkan untuk kalian yang mencari klimaks ceri...
9.5M 705K 56
Rank 1 - 04/03/2019 #Komedi #Sekretaris #KisahCinta #Badung #Chicklit #Romcom #Boss #Kantoran - 16/03/2019 #Gadis #Officelove "Sepertinya saya suda...
15.3M 217K 8
Sudah terbit
19.2M 1.8M 51
Sudah terbit, buku bisa dibeli di shopee. INGAT BELI YANG ORI!! [Follow akun ini dulu, bro. Anda senang, aku juga. Simbiosis mutualisme] Tuhan, mana...