DELUSIONS

By tanindamey

5.4K 1.5K 1.5K

Bagaimana rasanya memiliki suatu cela dalam hidup? Diasingkan, diacuhkan, ditindas, serbuan kalimat pedas. Ta... More

Prolog
Chapter 1- Pembendung
Chapter 2- Lilin lebah mencekam
Chapter 3 - Diluar terkaan
Chapter 4 - Menikam dipenghujung
Chapter 5 - Bunga tidur
Chapter 6 - Teror malam
Chapter 7- Goresan Luka
Chapter 8 - Kepelikan seseorang
Chapter 9-Tuturan Menyayat Hati
Chapter 10-Tumpahan Air Mata
Chapter 11 - Terjebak dalam Gulita
Chapter 12 - Ancaman
Chapter 13 - Gamang
Chapter 14 - Dekapan
Chapter 15 - Sebuah Amaran
Chapter 16 - Tak Kuasa
Chapter 17 - Terungkap
Chapter 18 - Cela
Chapter 19 - Kelam
Chapter 20 - Sukar
Chapter 21 - Langka
Chapter 22 - Terjaga
Chapter 23 - Berbeda
Chapter 24 - Cendala
Chapter 25 - Berdebar
Chapter 26 - Jengah
Chapter 27 - Terlambat
Chapter 28 - Mulai Meragu
Chapter 29 - Terbelenggu
Chapter 30 - Bertekad
Chapter 31 - Pasrah
Chapter 32 - Kegetiran
Chapter 33 - Pengakuan
Chapter 34 - Jawaban
Chapter 35 - Telah Padu
Chapter 36 - Meradang
Chapter 37 - Kembali Melukai
Chapter 38 - Memerangi
Chapter 39 - Terdesak
Chapter 40 - Suatu Cela
Chapter 41 - Telah Renggang
Chapter 43 - Kilah
Chapter 44 - Kalut
Chapter 45 - Berlaga [Ending]
Epilog

Chapter 42 - Delusi

67 12 17
By tanindamey

Delusi

"Untuk pertama kalinya gue berharap kedatangan lo saat ini adalah delusi gue." - Stevlanka.

Pada awalnya begitu sempurna. Hari-hari berlalu begitu indah. Tidak ada sedikit pun merasa ingin menyudahi setiap detiknya. Hingga perlahan berganti dengan penuh kepelikan. Mulai dari berselisih hal kecil hingga menjadi pertengkaran besar. Pada akhirnya perpisahan. Tidak ada kehangatan di dalam rumah padahal sebelumnya tidak. Melihat seorang anak kecil yang mana saudaranya sendiri menahan rasa sakit selama ini. Kepergian orang-orang yang begitu berarti. Ardanu merasakan semuanya. Puncak kepedihannya ketika ia sedang berulang tahun yang ketiga belas. Setelah ia mengakui kebodohannya kepada Ayahnya.

"Selama ini Nanu tahu kalau Era selalu dipukul Mama, Pa. Tapi, Nanu cuma diam aja. Dan Nanu juga tahu kalau Mama akan mengalami kecelakaan tiga tahun yang lalu. Di mimpi Nanu, Mama akan pergi ke toko kue pada saat ulang tahun Nanu yang ke-7 tahun. Karena Mama jahat selama ini, jadi Nanu hanya diam."

"Dan membiarkan Saudara kamu celaka?"

"Itu yang masih Nanu sesali. Nanu nggak tahu kalau Era akan ikut Mama karena di mimpi Nanu tidak ada Era."

"Percuma kamu menyesal. Penyesalan kamu tidak akan mengembalikan Saudara kamu. Papa tidak peduli dengan Mama kamu, tapi Era ... dia sudah menderita selama ini. Dengan bodohnya Papa tidak mengetahui apa pun," sesal Ganendra. "Setelah kamu mengetahui kebusukan Mama kamu, kenapa hanya diam saja? Jawab Papa, Ardanu!"

Ardanu mengingat dengan benar ucapan kekecewaan Papanya dulu. Dengan penuh kemarahan Papanya pergi meninggalkannya sendiri. Ia menangis di hadapan kue pemberian Papanya beberapa saat yang lalu. Lilin yang belum sempat ia padamkan, meleleh dengan sendirinya. Hari ulang tahun yang begitu buruk. Entah bagaimana bisa, semakin bertambah umurnya selalu ada saja rasa sakit yang hadir. Rasa sakit itu semakin sempurna setelah telepon rumahnya berdering. Dari ujung sana ada seorang polisi yang mengatakan jika Ayahnya tewas karena kecelakaan. Ardanu benar-benar hancur.

Air mata menetes dari sudut matanya. Seragam yang masih melekat sempurna. Setelah pulang sekolah tadi ia merebahkan tubuhnya di sofa panjang. Di mana terakhir kali Papanya marah besar. Ketika lilin ulang tahun dinyalakan. Dan di sini pula kehancuran hidupnya di mulai.

"Ardanu, jangan bikin keadaan semakin menyakitkan, gue nggak bisa sama lo. Dan lo nggak bisa sama gue. Kita nggak bisa sama-sama."

Ucapan Stevlanka di atap sekolah begitu menghantuinya. Selama lima tahun, hari-harinya benar-benar hanya untuk menunggu kedatangan Stevlanka. Ternyata kehadiran Stevlanka di saat ulang tahunnya yang kedelapan belas. Ardanu percaya apa pun yang terjadi pasti ada alasannya. Kehadiran Stevlanka bukan sekedar kebetulan. Semuanya seperti sudah direncanakan oleh Tuhan

Ardanu tidak memiliki siapa pun. Hanya Stevlanka di hidupnya. Selama ini ia bertahan meskipun ada banyak alasan untuk pergi. Semenjak Stevlanka hadir di mimpinya lima tahun yang lalu, Ardanu berjanji akan menjadikan Stevlanka seseorang yang berharga. Itu janji yang telah ia ucapkan. Janji itu menjadi alasannya bertahan. Bukan karena terpaksa, melainkan benar-benar dari hati. Ia tulus melakukannya untuk Stevlanka. Sekarang ia sadar semakin lama, perasaannya semakin bertambah besar.

Terlalu sering Stevlanka memintanya untuk pergi. Berkali-kali seolah ingin memutuskan janji yang Ardanu buat. Dan Ardanu memilih bertahan. Sekarang, Ardanu bertanya pada dirinya sendiri. Ia benar-benar tidak tahu pilihan apa yang akan ia ambil. Ardanu ragu. Percuma saja di sini ia mati-matian berjuang, jika seseorang yang diperjuangkan menyuruhnya untuk berhenti. Ardanu berharap ia bisa melihat masa depannya. Apakah Stevlanka ada bersamanya suatu saat nanti.

Matanya terpaksa terbuka mendengar ponselnya berdering. Ia mengubah posisinya menjadi duduk.

"Halo!" serunya tidak bertenaga. Ia tampak mendengarkan seseorang yang berbicara di sana. Tiba-tiba tubuhnya menegak. Matanya melebar karena terkejut. "Saya ke sana sekarang."

***

Stevlanka keluar dari kamar mandi setelah membersihkan tubuhnya. Menutup pintu kamar mandi dengan satu tangan karena tangannya yang lain sibuk mengusap rambutnya yang basah menggunakan handuk. Dress putih yang digunakan tampak begitu cocok dengan warna kulit Stevlanka. Berjalan menuju meja rias. Melihat pantulannya di cermin. Tangannya berhenti mengusap rambut. Stevlanka berharap ia tidak menyesal dengan apa yang telah ia katakan pada Ardanu.

Apa benar yang dikatakan Ardanu? Gue hadir di mimpinya saat dia berumur tiga belas tahun? Setelah gue selalu meminta lo untuk pergi, kenapa lo sebegitu kuatnya untuk bertahan, Dan?

Stevlanka menghela napas kasar. Ia melempar handuk kecilnya di atas tempat tidur. Kemudian, berjalan keluar. Ketika tiba di dapur, ia mengeluarkan satu botol air mineral dari dalam kulkas. Tiba-tiba Stevlanka merasakan diperhatikan. Dapur ini seketika menjadi sesak. Stevlanka menjadi kesulitan bernapas. Perlahan ia memutar kepalanya. Semua sudut menjadi sasaran matanya, tetapi kosong. Tubuhnya kembali menghadap seperti semula. Membuka botol dan meneguknya. Tepat setelah itu, Stevlanka melihat sesuatu yang melesat cepat dari pantulan kaca kulkas. Dengan tangan gemetar, botol air itu digenggam erat. Detak jantungnya berdetak hebat. Tanpa menoleh ke belakang Stevlanka berjalan cepat menuju ke kamarnya kembali.

Setelah tiba di kamar, ia melihat jam dinding. "Ini masih jam enam, Vla. Nggak bakal ada apa-apa," gumamnya menenangkan diri sendiri. Ia masih berusaha untuk menyingkirkan pikiran negatif, mengambil satu novel di jajaran rak bukunya. Ketika berbalik ingin duduk di atas tempat tidur, semakin jelas jika ada yang mengawasinya. Di belakangnya, di sudut dekat pintu. Stevlanka merasakan ada seseorang di sana.

Tubuhnya seperti mati. Tidak bisa digerakkan. Dadanya naik turun, napasnya tidak beraturan. Tubunya memutar tanpa ia minta. Novel di tangannya terjatuh setelah menghadap ke sudut ruangan dekat dengan pintu. Matanya melebar, mulutnya terbuka. Sosok mengenakan dress merah maroon berdiri di sana. Kepalanya menunduk. Dengan pikirannya yang masih bekerja, pandangan Stevlanka tertuju kedua tangan sosok itu. Tangannya benar-benar bersih. Tidak ada noda darah ataupun luka. Begitu juga dengan dress-nya. Stevlanka yakin dia adalah sosok yang sering ia lihat ketika ia berada dalam kegelapan. Namun, Stevlanka tidak mengerti, mengapa sekarang sosok itu memperlihatkan kondisinya tanpa luka?

Mendadak kepalanya terasa begitu nyeri hingga ia terjatuh. Seperti sesuatu tertancap di kepalanya. Dicengkram dengan kuat sambil mengaduh kesakitan. Stevlanka berteriak menggema di kamarnya. Air matanya terjatuh karena rasa sakit yang begitu hebat. Stevlanka sudah tidak bisa menahan lagi dan tak lama ia tumbang.

Potongan-potongan hadir dalam tidur Stevlanka. Berputar dengan sangat cepat. Awalnya tidak jelas, kemudian secara perlahan adegan itu tampak jelas. Pepohonan yang menjulang tinggi membuat sinar matahari terhalang. Rumput liar tumbuh di sepanjang pijakan. Seorang gadis kecil menggunakan terusan selutut yang berwarna merah tampak berlari mengejar seekor kelinci. Di belakangnya ada anak laki-laki ikut mengejar sang gadis. Langkah mereka harus tertahan karena suara teriakan.

"Sayang, jangan jauh-jauh mainnya."

Kedua anak kecil itu saling memandang. Dan serentak menjawab, "Iya, Ma."

Beberapa meter dari posisi kedua anak kecil itu ada sebuah vila yang cukup megah. Sepertinya mereka tampak berlibur.

"Kak, kelinci itu mau kutangkap. Ayo, Kak, sedikit lagi dapat," kata anak gadis perempuan.

"Enggak, Papa melarang kita."

"Kak, ayo tangkap kelinci itu." Mengguncang tangan anak laki-laki itu. "Ya?"

"Oke, tapi nanti kalau lari lebih jauh lagi, kita kembali, ya?"

Anak perempuan itu memekik senang. Ia mendekati kelinci itu. Sayangnya, kelinci itu melarikan diri. Kedua anak itu mengejarnya hingga tak sadar mereka berada di sungai. Anak perempuan itu berhenti senajak. Ia berjongkok karena lelah. Sementara anak laki-laki itu masih mengejarnya.

"Kak Satya bahkan lebih semangat dari pada aku," ujar anak perempuan sambil mengerucutkan bibirnya. Ia masih mengatur napasnya. Pandangannya beralih pada air sungai yang berada tak jauh darinya. Ia bangkit, berjalan mendekat. Ada sesuatu yang ia lihat. Sesuatu yang panjang berwarna hitam. Itu terlihat seperti rambut. Ia terus mendekat.

Semakin dekat semakin terlihat jelas apa yang ia lihat. Anak itu membekap mulutnya.

"Ris, kelincinya dapat," kata anak laki-laki itu tergopoh-gopoh menggendong apa yang diincar dari tadi.

"Kak, i-itu ... lihat di sana."

Karena sama terkejutnya anak laki-laki itu melepaskan kelinci yang ia gendong. Tidak peduli ke mana larinya kelinci itu. Keduanya syok melihat seorang anak perempuan berada di pinggir sungai. Wajahnya pucat, bibirnya membiru. Ada lebam-lebam di sekitar wajahnya.

"Ris, ayo, kita pergi aja. Itu mayat. Nanti kalau jadi hantu kita yang repot. Ayo!" Anak laki-laki itu menarik tangan anak yang ia panggil 'Ris'.

"Kak, enggak," tolaknya, "kita harus bantu dia, siapa tahu dia masih hidup."

"Dia udah mati, lihat itu wajahnya pucat. Sebentar lagi pasti jadi hantu."

"Kak Satya, kalau dia udah mati, dia nanti bakal menghantui kita kalau kita nggak nolong dia. Jadi, kita tolong aja, ayo. Panggil Mama Papa, aku di sini jaga dia."

Setelah melewati banyak perdebatan, akhirnya anak laki-laki bernama Satya itu lari memanggil orang tua mereka. Sementara anak perempuan itu semakin mendekatkan dirinya. Ia terkejut karena anak yang tenggelam itu terbatuk beberpa kali.

"To-tolong, sem-bunyikan a-aku."

***

"Kamu sudah bangun?"

Si anak yang terbaring di ranjang rumah sakit itu tengah mengerjapkan matanya. Semakin jelas ia melihat ada dua anak kecil, seorang wanita dan pria berdiri di sampingnya.

"Jangan kasih tahu siapa pun kalau aku masih hidup. Tolong sembunyikan aku," pintanya dengan suara lirih. Wanita—Ibu dari dua anak bersaudara—ia mendekat. Mengelus puncak kepala anak yang terbaring itu. Ia menjauhkan kepalanya seperti ketakutan. Mereka semua yang ada di ruangan itu saling berpandangan. Merasakan sesuatu ada yang aneh. Kemudian, wanita itu meminta untuk keluar, karena ia akan mencoba berbicara. Tetapi si anak yang terbaring itu menahan tangan adik Satya. Hingga ia masih berada di dalam dengan Mamanya.

"Siapa namamu?" tanya wanita itu.

"Eramika," jawabnya setelah posisisnya menjadi duduk. "Aku mohon jangan beri tahu siapa pun kalau Era masih hidup."

"Ceritakan apa yang sebenarnya, kami akan membantumu."

Era percaya dengan tatapan tulus mereka. Lama ia terdiam sambil meremas jari-jarinya.

"Hai," sapa anak perempuan di sampingnya. "Kamu nggak usah takut. Aku, Mama, Papa, dan Kak Satya nggak akan melukai kamu. Kita semua akan bantu kamu, Eramika." Ia menggenggam tangan Era, kembali berkata, "Aku Karisma. Kita teman sekarang, ya?"

***

Setelah kejadian yang mengantarkan Era pada keluarga Karisma, orang tua mereka memutuskan untuk melindungi Era. Era menceritakan apa yang terjadi di hidupnya. Tentang Mamanya yang selalu memukuli. Semua rasa sakitnya ia bagi dengan Karisma. Era menjadi lebih baik. Sangat baik. Ia tidak menyesal ada dalam kecelakaan itu. Keinginan untuk menyelamatkan Mamanya sama sekali tidak terbesit. Ia memilih keluar dari mobil mereka setelah terjun ke jurang. Tubuhnya yang kecil membuatnya mudah untuk keluar. Mamanya masih setengah sadar berkata sangat lirih tetapi Era begitu jelas di pendengaran Era.

"Era, ka-ki Mama sakit. Keluarlah dan to-long Mama."

Bersusah payah Era bisa menghirup oksigen. Mamanya mengerang kesakitan. Dan itu sedikit pun tidak membuat Era menoleh. Ia terus berjalan menjauh dari mobil yang sudah mengeluarkan asap. Air mata berjatuhan. Era tertatih-tatih melanjutkan langkahnya. Hingga suara ledakan membuat Era terpental. Era melanjutkan langkahnya dan tersenyum, tanpa menoleh. Ada sesuatu kebahagiaan karena sudah tidak ada lagi yang bisa memukulnya.

Era menceritakan semuanya tanpa kesedihan. Ia menatap Karisma di depannya yang terngaga karena syok. "Aku nggak akan muncul lagi, Kar. Aku akan muncul setelah aku besar. Ada beberapa orang lagi yang akan seperti Mama suatu saat nanti. Orang yang hanya diam padahal tahu kalau aku sakit, dan orang yang mengabaikan aduan rasa sakitku. Suatu saat nanti akan kubuat mereka seperti Mama."

Karisma benar-benar begitu terperanjat. Era sangat mengerikan. Karisma semakin menggigil karena Era yang mendekatinya. Matanya kosong seperti hanya ada kegelapan. Karisma terus berjalan mundur hingga berhenti di balkon depan kamarnya. Di bawah sana ada ruang makan.

"Makasih, Kar, kamu udah tolong aku. Kamu udah ngasih awal kehidupan buat aku. Aku sangat berterima kasih lagi kalau kamu mau bantu aku untuk yang terakhir kalinya."

"A-apa?"

"Kamu harus menyusul Mamaku." Satu kalimat terucap. Belum sempat mendengar balasan dari Karisma, Era sudah mendorong tubuh Karisma terlebih dahulu. Secepat kilat tubuh kecil itu menghantam meja makan. Piring sajian, beberapa alat makan di sana hancur dan menusuk tubuh gadis malang itu. Meja makan itu penuh dengan genangan darah pekat. Teriakan histeris sang Mama memekik gendang telinga.

Era memundurkan langkahnya. Ia menidurkan tubuhnya kembali. Memejamkan mata. "Aku melakukan apa yang dilakukan anak jaksa itu pada Ibunya."

Potongan kejadian dalam mimpi itu telah berhenti, dan secara langsung membuat mata Stevlanka terbuka. Mata itu sembab, air mata terus mengalir. Ia tidur sambil terus menangis. Tubuhnya terasa sangat sakit. Seperti ada sesuatu yang menusuk kulitnya. Kepalanya seperti terbentur benda keras. Perih, nyeri, entah sampai mana rasa sakit ini dirasakan. Seperti inikah yang dirasakan Karisma?

Gadis kecil yang mengenakan terusan merah maroon yang selama ini menampakkan tubuhnya adalah Karisma yang sebenarnya. Ia hadir untuk mengirimkan masa lalu ini. Stevlanka terus menangis. Ia tidak bisa menggerakkan tubuhnya sama sekali karena terlalu sakit. Ini adalah rasa paling menyakitkan yang Stevlanka terima dari sekian banyak mimpi masa lalu seseorang.

***

Ardanu melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Ingin sekali rasanya pergi ke suatu tempat dan melepaskan semua rasa sakitnya. Sakit yang tak terlihat di dalam jiwanya. Rasa sakit yang bertambah semakin basah karena terus saja mengetahui fakta menyakitkan. Benar-benar hancur tidak terbentuk. Tubuhnya seperti melayang bersama dengan tancapan gas yang ia pijak.

Seseorang suruhannya yang ia tugaskan untuk mencari siapa peneror Stevlanka berhasil mengungkapnya. Sekarang Ardanu seperti menyesal karena mengetahinya.

"Peneror Stevlanka adalah adik kamu. Dia Eramika. Keluarga Chudory yang menyelamatkan Era diam-diam dari kecelakaan itu. Chudory memiliki dua anak, laki-laki bernama Satya Prama dan Karisma Meilan. Anak perempuannya meninggal karena jatuh dari balkon. Dan Era menggunakan identitas Karisma," kata orang suruhan Ardanu, bernama Manna. Pria itu menepuk pundak Ardanu. Laki-laki itu masih diam tidak bergeming. Ia menggigit bibirnya.

"Saya seperti dipermainkan oleh takdir, Om." Ardanu menunduk menatap beberapa lembar foto yang dihasilkan oleh Om Manna. Ia mengambil foto gadis kecil yang tak lain adalah foto Eramika. Gadis itu dulu begitu pendiam. Selalu tersenyum. Berhati lembut. Ia bahkan tidak tega melihat kupu-kupu yang tidak bisa terbang karena sayapnya patah. Era mengajak dirinya berlari mengejar kupu-kupu.

"Era, kenapa kamu suka sama kupu-kupu?"

Era tersenyum sambil mengangkat jaring yang siap untuk menangkap kupu-kupu. Berjinjit mendekati kupu-kupu itu. "Karena kupu-kupu bisa terbang sesuka hatinya. Kupu-kupu bisa terbang bebas."

"Jadi kamu ingin terbang seperti kupu-kupu?"

"Iya, akau ingin bebas. Bebas dari rasa sakit, semuanya ... yah, Nanu jadi pergi, kan, kupu-kupunya. Kamu, sih!" Era memukulkan jaring ke lengan Ardanu. Ardanu malah tertawa.

Air mata Ardanu terjatuh saat itu juga. Bagaimana gadis lugu itu berubah menjadi monster? Rasa sakit yang ia terima membuatnya menjadi seorang yang tidak memiliki hati. Dihidupnya hanya ada dendam. Setir mobil ia cengkram dengan kuat, menepikan mobilnya. Setir mobil itu menjadi sasaran hantaman Ardanu berkali-kali. Kemudian ia menangis.

Semantara di tempat lain Stevlanka berusaha untuk bangun, perlahan rasa sakit di tubuhnya lenyap. Ia bangkit mencari ponselnya. Mencoba menghubungi Om Niko. Sayangnya, nomornya tidak aktif. Stevlanka akan menceritakan hal penting ini. Semuanya akan ia selesaikan sekarang juga sebelum semuanya bertambah rumit. Kakinya telah melangkah melewati pintu utama. Desiran angin malam berhembus menyelinap dalam pori-pori kulit. Sepertinya ini bukan malam yng cerah. Stevanka mendongakkan kepalanya menatap langit pekat. Tidak ada bintang, tidak ada bulan, begitu hitam pekat. Dan Stevlanka tahu cuaca sedang mendung. Jantungnya berpacu.

Sial! umpatnya di dalam hati.

Kegelapan di luar sana membuatnya was-was. Kedua tangannya mengepal erat. Satu per satu pikiran negatifnya bermunculan. Stevlanka sadar ternyata ia masih selemah ini. Tidak akan ada lagi yang akan menggenggam tangannya. Tidak akan ada lagi yang akan menuntunnya melewati kegelapan itu. Ia benar-benar sendirian. Stevlanka menghela napas dalam.

Pandanganya lurus ke depan. "Gue bisa," ucapnya. Ia sudah menjauhi pintu beberapa langkah. Tetapi sesuatu menghentikannya. Baru saja ada mobil yang berhenti di depan gerbang rumahnya. Stevlanka bisa melihat sosok serba hitam keluar dari mobil. Ia terperanjat. Melihat sekelilingnya mencari tempat bersembunyi. Tidak ada pilihan lain, Stevlanka memilih untuk masuk kembali. Mengunci pintu dari dalam. Wajah Stevlanka pucat karena merasakan pusing dan takut secara bersamaan. Keringat dingin bercucuran.

Gorden di samping pintu ia sibak tidak lebar. Sosok itu berjalan mendekat. Stevlanka tidak bisa berdiam diri seperti ini. Ia bergerak gugup menuju lantai atas. Sesekali kakinya tidak memijak anak tangga dengan benar membuatnya hampir saja terhuyung. Gedoran pintu membuat Stevlanka menoleh.

"Enggak," lirihnya menggelengkan kepala. Kakinya terus melangkah. Ia masuk ke dalam ruangan tempat menyimpan barang. Ruangan ini sering digunakan untuk meyimpan barang yang tidak dipakai. Rak-rak tinggi berisi barang berjajar memenuhi ruangan. Jarak setiap rak kurang lebih hanya satu rentangan tangan orang dewasa. Stevlanka bersembunyi di balik sana, rak paling ujung. Lampu yang tidak terlalu terang membuat Stevlanka tidak nyaman.

Sosok serba hitam itu sudah berhasil mendobrak pintu utama. Mencari di setiap ruangan. Mulai dari dapur, ruang tengah, ruang makan, dan sudut-sudut yang lain, semuanya kosong. Sosok itu tersenyum di balik maskernya. Ia menatap lantai dua dan berjalan ke arah tangga. Hanya ada beberapa ruangan di lantai dua. Satu per satu ia masuki. Saat ini sosok itu berada di kamar Stevlanka. Lama-lama ia kesal karena tidak menemukan keberadaan apa yang dicarinya. Ia berjalan keluar kamar. Berjalan sangat hati-hati supaya langkah kakinya tidak terdengar Stevlanka.

Stevlanka hampir menangis di tempat persembunyiannya. Jika pintu utama saja bisa dibuka oleh orang itu, sudah pasti pintu ruangan ini juga akan terbuka. Stevlanka semakin merapatkan tubuhnya. Melihat dari sela-sela rak pintu itu terbuka. Saat itu juga ia menyadari kebodohannya yang tidak mengunci pintu.

Stevlanka membekap mulutnya. Tubuhnya gemetar. Orang itu mengunci pintu dan semakin berjalan masuk. Stevlanka melihat langkah kakinya sosok itu. Berusaha untuk berpikir jernih. Hingga akhirnya, Stevlanka berjalan menghimpit rak. Sosok itu berada dengan jarak dua rak. Stevlanka terus bergerak mendekati pintu. Ia berpindah di sisi yang lain. Sekarang jaraknya dengan sosok itu hanya ada satu rak. Ia sekarang berada di tempat Stevlanka sebelumnya.

Stevlanka memperkirakan kecepatan yang ia gunakan agar sampai di pintu. Ia hanya berlari cepat dan keluar. Ia berpindah sisi rak yang lain. Semakin jauh dari pintu. Apa pun yang terjadi ia harus keluar dari sini.

Matanya mencari sosok itu tetapi Stevlanka tidak menemukannya. Tiba-tiba gagang pintu gudang itu memutar dengan sendirinya. Tandanya ada seseorang di luar yang berusaha membuka pintu. Mata Stevlanka melebar mendengar pintu itu di tendang, berusaha untuk dibuka secara paksa. Lalu, siapa yang bersamanya di dalam gudang ini? Tubuh Stevlanka seolah mematung. Mendadak ruangan menjadi gelap. Mulutnya di bekap dari belakang. Tubuhnya di tarik ke belakang di sudut ruangan. Stevalnka memberontak.

"Gue Alkar," bisik seseorang yang menyandarkan tubuh Stevlanka ke rak. Saat itu juga Stevlanka berhenti memberontak. Alkar meletakkan ibu jari di bibir Stevlanka, memintanya untuk diam. Gadis itu melebarkan mata melihat Alkar benar-benar di hadapannya. Laki-laki itu menurunkan sedikit maskernya sebelum kembali mengenakannya. Ruangan gelap sehingga Stevlanka tidak bisa melihat wajah Alkar dengan jelas. Tetapi ia tahu itu adalah Alkar.

"Kenapa lo bisa ada di sini?" tanya Stevlanka berbisik.

"Om Niko yang menemui lo beberapa hari sebelumnya adalah Ayah gue. Sekarang dia lagi melacak keberadaan Era. Ayah gue nyuruh menjemput lo, ternyata gue telat."

"Om Niko—dia Ayah lo?"

Alkar mengangguk. Stevlanka menghela napasnya, menyunggar rambutnya ke belakang. Memegang dadanya yang terasa sesak. "Siapa orang yang ada di luar?" tanyanya menatap Alkar. "Era atau Satya?"

"Lo udah tau tentang itu?"

Stevlanka menarik napas panjang. "Lewat mimpi, gue udah tahu semuanya, Al. Era mengunakan identitas Karisma untuk balas dendam ke gue dan Ayah."

"Tentang dia saudara—"

Belum selesai Alkar melanjutkan ucapannya Stevlanka terhuyung ke tubuhnya. Dengan cepat ia menahan tubuh gadis itu.

"Vla!"

Alkar menggenggam tangan dingin gadis itu. "Gue nyctophobia," bisiknya teramat sangat lirih.

"Astaga. Tahan, okay?"

Suara gebrakan pintu semakin kencang. Seseorang di luar sana masih berusaha membuka pintu. Alkar kembali menatap Stevlanka yang menunduk memegangi dadanya. Alkar kembali menyalakan saklar lampu. Kembali mendekati Stevlanka, ia memegang rahangnya. Mata mereka saling menatap. Bibir Stevlanka yang pucat, keringat bercucuran di pelipisnya.

"Kita akan ketahuan kalau lo nyalain lampunya," kata Stevlanka lemah.

Alkar menggeleng. Ia merapikan anak rambut Stevlanka yang menutupi wajahnya. Napas gadis itu sudah sedikit teratur. Alkar menatapnya lekat. Bibirnya tertarik ke atas. Stevlanka terpaku.

"Gue bersyukur lo masuk ke masa lalu gue. Lo datang seolah membuat gue harus menerima kalau hidup gue memang kacau di masa lalu. Lo kasih kehidupan baru buat gue, Stevlanka. Di saat lo percaya sama gue, di mana gue akan melukai lo malam itu, gue seperti hidup kembali. Sejak saat itu lo selalu berkeliaran di pikiran gue. Dan setelah gue sadar, gue ternyata jatuh cinta sama lo," ungkap Alkar. Kemudian, ia menarik tengkuk Stevlanka ke dadanya. Memeluk gadis itu. Memejamkan matanya sejenak.

Stevlanka membuka mulutnya, matanya melebar. "Alkar ...."

Tatapan mereka beralih ke pintu. Sedikit lagi pintu akan terbuka. "Gue takut nggak ada waktu untuk jujur sama lo. Gue akan mengalihkan dia, lo harus pergi dari sini."

"Dan lo?" Air mata mengumpul di pelupuk matanya.

"Gue ke sini buat nolong lo, jadi jangan mengacaukan rencana gue. Lo cukup lari, sembunyi jauh dari sini."

Stevlanka menggeleng.

"Vla ...."

"Kita keluar sama-sama."

Alkar melupakan satu hal, jika Stevlanka sangat keras kepala. "Ikutin perintah gue, Vla. Gue akan nyerang dia dari belakang. Saat itu juga lo lari, gue akan nyusul lo."

Stevlanka diam mengatur napasnya. Stevlanka tidak bisa menahan tangan Alkar. Laki-laki itu melangkah mendekati sosok serba hitam ketika pintu telah terbuka. Satu pukulan dari Alkar yang memberi serangan. Seharusnya Stevlanka lari sekarang. Tetapi ia masih diam mematung. Sosok hitam itu terkapar di lantai, Stevlanka mengetahuinya. Namun, tak lama, sosok itu kembali berdiri melayangkan pukulan pada Alkar. Perkelahian mereka semakin sengit.

Stevlanka menangis di tempatnya. Pukulan bertubi-tubi memenuhi ruangan ini. kakinya terasa sangat berat untuk meninggalkan Alkar. Alkar sudah mulai kuwalahan. Sosok itu menendang perut Alkar, hingga tubuhnya membungkuk ke depan. Berganti menendang kepala Alkar berkali-kali. Stevlanka seketika melupakan sesak di dadanya. Matanya kesana-kemari mencari sesuatu untuk di jadikan senjata. Lalu, ia mengambil lampu kamar yang tidak terpakai. Dengan kaki dan tangan gemetar ia mendekati sosok itu. Tepat di belakang sosok itu Stevlanka menghantamkan pada kepalanya. Tubuhnya terjatuh ke lantai. Tangan Stevlanka gemetar menjatuhkan benda yang ada di tangannya. Stevlanka mendekati Alkar yang masih setengah sadar.

"Alkar, Al ... lo—"

"Per-gi dari sini, Vla. Gue minta sama lo supaya nggak menemui Ardanu. Sembunyi ke mana pun, hubungi Ayah gue. Ma-maaf gue cuma bantu sampai di sini."

"Enggak," tangis Stevlanka. "Gue bantu lo berdiri, ayo!"

"Pergi, sekarang!"

Sosok hitam itu mulai sadar. Stevlanka memandang bergantian dengan Alkar yang sudah berdarah-darah. Bangkit dan melangkah mendekati sosok serba hitam itu. Ia kembali memungut benda yang baru saja dihantamkan.

"Vla, pergi," lirih Alkar yang tidak dihiraukan Stevlanka. Ia tetap mendekat, membuka topi dan masker hitam. Matanya melebar. Wajah yang penuh darah tetapi Stevlanka bisa mengenali orang itu. Benda yang ditangannya lagi-lagi terjatuh.

"Satya."

Satya-lah yang terbaring setengah sadar di atas lantai itu. Selama ini Satya terlibat. Stevlanka yakin karena pengaruh Karisma. Bukan, bukanlah Karisma melainkan Era yang menggunakan identitas Karisma. Satya bangun, tersenyum miring menatap Stevlanka yang masih syok. Gadis itu memundurkan langkahnya.

"Game is't over, Stevlanka. Semuanya akan berakhir malam ini juga." Satya bangkit dengan tatapan mengerikan.

"Vla, jangan dengerin ucapannya. Lari, Vla!" Alkar berusaha menyadarkan Stevlanka. Ia tidak memiliki pilihan lain selain pergi dari sini. Ketika akan berlari, Satya berhasil menarik rambut Stevanka. Gadis itu menjerit kesakitan. Memberontak sekuat tenaganya. Mustahil mengalahkan Satya yang jauh lebih kuat. Namun, Alkar masih kuat untuk bangkit kembali. Melingkarkan tangannya ke leher Satya. Satya melepaskan Stevlanka.

"Vla, sekali lagi gue minta, pergi!"

"Enggak! Lepasin gue, sialan!" teriak Satya. Ia menarik tangan Alkar membantingnya ke depan. Memukul rahang Alkar berulang kali. Darah keluar dari mulut, hidung. Alkar sudah tidak memiliki tenaga untuk melawan. Matanya yang samar melihat Stevlanka berlari keluar. Bibirnya tersenyum. Setelah itu ia kehilangan kesadaran. Meskipun begitu Satya terus saja menyerang membabi buta. Tersadar Stevlanka yang keluar membuatnya geram. Ia menginjak perut Alkar.

Sementara Stevlanka tertatih-tatih untuk keluar dari rumahnya. Dengan air mata yang terus mengalir. Menuruni anak tangga dengan tubuhnya yang gemetar. Ia berhasil keluar hingga di luar gerbang. Sambil menangis ia berlari dengan sesekali memastikan jika Satya tidak mengejarnya. Terus berlari sejauh mungkin. Mati-matian menahan kepalanya yang seperti ingin meledak.

"Om Niko," gumamnya. Tetapi sayangnya ia meninggalkan ponselnya di rak barang. Stevlanka berjongkok di pinggir jalan. Memeluk lututnya sambil menangis. Bahunya naik turun. Ia tidak tahu harus ke mana. Pikirannya kacau dan berakhir hanya menangis di tempat.

Cahaya dari depan membuat Stevlanka mendongakkan kepalanya. Itu adalah mobil Ardanu. Laki-laki itu menatapnya dari dalam mobil. Stevlanka tersenyum di tengah tangisannya. Dengan posisi yang masih berjongkok di jalanan. Ia merasa kembali di masa lalu ketika pertama kali bertemu dengan Ardanu. Stevlanka menunggu Ardanu keluar dari mobil, mendekat, kemudian memeluknya mengatakan jika semua akan baik-baik saja. Namun, itu tak kunjung terjadi. Hingga akhirnya Stevlanka memutuskan untuk bangkit dan perlahan mendekat.

Gadis itu berjalan tidak bertenaga. "Ardanu," gumamnya sambil berderai air mata.

"Gue minta sama lo supaya nggak menemui Ardanu." Ucapan Alkar beberapa menit yang lalu menyadarkannya. Langkahnya terhenti saat itu juga. Ia tidak mengerti kenapa Alkar mengatakan itu. Apa lagi yang tidak ia ketahui?

Matanya melebar ketika melihat mobil Ardanu berjalan ke arahnya. Stevlanka melangkah mundur, kemudian berlari. Mobil itu mengejarnya semakin menambah kecepatan. Stevlanka menoleh ke belakang. Sungguh tidak percaya Ardanu melakukannya. Apa Ardanu berniat menabraknya? Kenapa tidak ada seseorang yang dapat dimintai pertolongan? Tubuh Stevlanka melemah. Napasnya semakin bertambah berat. Hingga tubuhnya dihantam oleh sebuah mobil. Ia terpelanting lumayan jauh dari mobil. Seperti melayang tidak merasakan apa pun, dan tak lama aspal jalanan yang dapat Stevlanka rasakan. Dengan pandangan samar, Ardanu yang ada di dalam mobil itu keluar mendekatinya. Sekarang ia berharap itu bukanlah Ardanu. Ardanu tidak mungkin melakukan semua ini. Berharap pula semua ini tidak nyata. Entah bagaimana mungkin, Stevlanka merasakan penghianatan.

Untuk pertama kalinya gue berharap kedatangan lo saat ini adalah delusi gue. "Ar-danu?" Stevlanka susah payah meraih kaki Ardanu yang telah berada di depannya. "Tolong gue."

*****

Thanks for reading.

Kuatkan atau sadarkan Ardanu?

Pelan-pelan semuanya akan berakhir, nikmati setiap rasa sakit yang ada. Kuatkan hati setiap helaan napas. Terima apa pun yang terjadi setiap kalian scroll chapter ini bahkan hingga chapter selanjutnya. Semoga ada jalan yang mengantarkan para tokoh ke gerbang kebahagiaan, ya.

Jangan lupa vote, comment, share ke temen-temen kalian.

See you next chapter. I'll do my best.

Sabtu, 26 Juni 2021
Tanindamey
Revisi: Jum'at, 1 April 2022

Continue Reading

You'll Also Like

2.4M 173K 49
Ketika Athena meregang nyawa. Tuhan sedang berbaik hati dengan memberi kesempatan kedua untuk memperbaiki masa lalunya. Athena bertekad akan memperb...
538K 50.1K 20
[BUKAN TERJEMAHAN!] Deenevan Von Estera adalah Grand duke wilayah utara yang terkenal tertutup. Dia adalah pemeran antagonis dari cerita berjudul "Be...
128K 4.2K 56
Bagaimana rasanya menikah dengan iblis? Kenyataan itu benar benar gila DEVIL Denial Villen adalah nama siluman yang menjadi pengantar dongeng anak-an...
999K 107K 63
(𝐒𝐞𝐫𝐢𝐞𝐬 𝐓𝐫𝐚𝐧𝐬𝐦𝐢𝐠𝐫𝐚𝐬𝐢 𝟒) ⚠ (PART KE ACAK!) 𝘊𝘰𝘷𝘦𝘳 𝘣𝘺 𝘸𝘪𝘥𝘺𝘢𝘸𝘢𝘵𝘪0506 ғᴏʟʟᴏᴡ ᴅᴀʜᴜʟᴜ ᴀᴋᴜɴ ᴘᴏᴛᴀ ɪɴɪ ᴜɴᴛᴜᴋ ᴍᴇɴᴅᴜᴋᴜɴɢ ᴊᴀ...