Senandika

Bởi armelitaptr_

77.9K 5.4K 213

Lisa Alaric seorang anak yang merasa di anak tirikan tiba-tiba dijodohkan dengan anak dari teman Ayahnya. Me... Xem Thêm

Prolog
BAB 1 : Awal
BAB 2 : Masalah
BAB 3 : Dream Catcher
BAB 4 : Narendra
BAB 5 : Bodoh
BAB 6 : Awal mula Om Gula
BAB 7 : Rumah Oma dan Kesepakatan Ayah Anak
BAB 8 : Insiden kepala bocor
BAB 9 : Menemukan cowok tampan
BAB 10 : Pacuan Kuda
BAB 11 : Burger buatan Rendra
BAB 12 : Ridho dan cerita cinta Eyang dan Oma
BAB 13 : Cerita bersama semesta
BAB 14 : Kisah yang sebenarnya
BAB 15 : Kue dan panggilan baru
BAB 16 : Kenyamanan
BAB 17 : Pembatalan Beasiswa
BAB 18 : Maaf
BAB 19 : Surat Mama
BAB 20 : Dibawah pohon Ceri
BAB 21 : Wisuda
BAB 22 : Cium Pipi dari Lisa
BAB 23 : Berdua dengan langit malam
BAB 24 : Apakah bisa?
BAB 26 : Hari usai kamu pergi
Bab 27 : Selamat Jalan! [Final]

BAB 25 : Bebas

2K 162 13
Bởi armelitaptr_


Waktu terus berlalu, tanpa kusadari yang ada hanya aku dan kenangan”


—Lisa Alaric

****

25. Bebas

Langkah tergesa-gesa, Lisa berlari melewati lorong rumah sakit dengan wajah yang bersimbah air mata. Beberapa menit lalu ia serasa mati saat mendapat pesan dari Ridho mengenai Rendra. Senyumnya serasa ditarik paksa oleh kenyataan pahit ini, kenyataan dimana orang yang dia tunggu di Danau malah terbujur lemah di atas ranjang ICU.

Tak peduli dengan pakaiannya yang basah karena menerobos hujan yang tak kunjung mereda, Lisa terpaksa menerobos hujan dengan berlari karena saat itu taksi yang dia tumpangi terkena macet. Bagaimana dia bisa bersabar diri menunggu kemacetan ini didalam mobil sedangkan separuh hidupnya sedang dalam keadaan kritis. Walaupun Lisa sudah ada disana, tetap saja keadaan tidak akan berubah. Tapi Lisa ingin berada disisi pria yang mencintainya dan baru ini dia cintai disaat-saat tersulitnya.

Lisa melihat Ridho dan beberaoa keluarga Rendra yang menunggu didepan ruang ICU. Ibu Rendra tak hentinya meneteskan air matanya di pundak sang suami, sedangkan Oma terdiam sepi menatap ruang yang beberapa tahun lalu pernah membuatnya kehilangan orang yang dia cintai, dia adalah Eyang. Dan sekarang, cucunya yang berada disana.

Hana sendiri menangis tersedu-sedu disamping Oma. Ridho yang awalnya berdiri bersandar di dinding rumah sakit berubah menghampiri Lisa yang baru tiba.

"Gimana bisa dia ada disini?" Isak Lisa mencoba bertanya pada Ridho yang jelas tidak mampu berkata-kata.

Tak lama dokter keluar dari ruang ICU itu.

"Apakah ada wali atau keluarga pasien?" tanyanya.

"Saya Ayahnya!" ujar Pak Hendra.

"Bisa kita bicara sebentar?"

Ayah Rendra itu mengangguk, dia berjalan mengikuti sang dokter ke ruangannya.

Disana, dokter menjelaskan secara detail luka tembak yang dialami putranya. Foto scan yang menunjukkan letak dimana timah panas itu menembus bagian organ vital Rendra yang membuat kerusakan besar pada tubuh bagian dalamnya.

"24 jam kedepan adalah waktu tersulit bagi pasien, tapi untuk menunggu perkembangan kondisinya pasien bisa ditemui oleh keluarga."

"Apakah keadaannya separah itu?"

"Seperti yang saya bilang, pasien akan melewati masa tersulitnya 24 jam kedepan. Karena kerusakannya sangat parah dan kecil kemungkinan untuk kami bisa menolongnya."

Ayah Rendra menundukkan kepalanya menangis dalam diam setelah tahu putranya dalam masa kritis.

"Kita sama-sama berdoa saja ya pak, semoga pasien bisa bertahan dan Tuhan memberikan mukjizatnya."

****

Ibu dan Ayah Rendra masuk kedalam ruang ICU, mereka tak pernah menyangka waktu yang mereka takuti ini akhirnya terjadi. Putra yang mereka asuh sejak kecil kini sudah terbaring lemah dengan beberapa selang yang terhubung padanya.

Ibu Rendra memegang tangan Rendra, "Mas, kenapa bisa gini? Mas kan udah janji sama Ibu. Nggak akan macem-macem kalo udah jadi Tentara. Kalo tau gini, Ibu pasti udah larang Mas masuk Tentara."

Rendra pelan-pelan membuka matanya yang masih amat berat untuk ia lakukan, dia balas menggenggam tangan sang Ibu dengan hangat walaupun lemah.

"Maafin Mas ya, Bu."

"Mas harus sehat ya, nanti kalo Mas sehat dan pulang, Ibu buatin makanan kesukaan Mas."

"Iya nanti Mas sehat dan pulang."

"Mas nggak boleh pergi ya, inget janji sama Ibu."

"Ibu jangan nangis, nanti Ayah marah sama Mas."

"Biarin, emang Mas harus dimarahin."

Rendra terkekeh dengan lemah, senyuman yang bertahun-tahun ia pertahankan untuk selalu bersinar diantara orang-orang yang ia sayang rasanya hari ini sangat sulit untuk dia lakukan. Badannya remuk, rasanya ada bagian tubuhnya yang tersayat-sayat. Rasa amat sakit di dalamnya.

Oma dan Hana masuk dan bergantian bicara dengan Rendra. Oma menggenggam tangan Rendra, dia mengusap rambut Rendra dengan lembut.

"Oma..," lirihnya.

"Iya, Mas?"

"Oma jangan nangis ya, ini nggak parah kok."

Oma mengangguk, "Iya, Oma tau. Mas kan kuat, jadi tetap disini ya. Jangan tidur, nanti Oma kangen."

"Tapi Rendra capek, Oma."

Oma tak bisa menahan dirinya lagi, dia menangisi keadaan cucunya ini. Dia akhirnya mundur dan membiarkan Hana bicara dengan kakak sepupunya ini.

"Kakak."

"Hana, kamu jelek kalo lagi nangis gini."

Hana tak membalas ejekan Rendra, dia memeluk Rendra yang makin melemah.

"Ada Lisa?" tanya Rendra.

"Ada, mau Hana panggil?"

Rendra mengangguk lemah.

Lisa menatap tubuh Rendra yang terbujur lemah di ranjang rumah sakit dengan banyak selang yang tertempel di tubuhnya, beberapa selang pernapasan juga tak luput darinya.

Lisa berdiri disamping Rendra dengan tangisan yang tak kunjung berhenti, dia sangat sakit melihat Rendra yang seperti ini.

Tangan lemah Rendra mencari tangan gadis yang amat dia cintai ini, menggenggamnya dengan lemah.

"Kamu ingkar janji sama aku, kamu bilang mau ketemu di danau. Tapi malah disini? Kenapa rumah sakit dengan kondisi kayak gini, kenapa?" isak Lisa.

Rendra terkekeh, "Diluar sedang hujan, jadi meneduh disini dulu."

"Kalo meneduh kenapa malah terbaring lemah disini? Kamu bisa kan meneduh di luar rumah sakit?"

Rendra tersenyum, "Lain kali aku coba deh."

"Kamu cepet pulang, banyak hal yang belum kita lakuin bareng-bareng. Banyak kata yang pengen aku bagi ke kamu."

"Sabar ya, pasti aku pulang."

"Janji?"

"Janji."

****

Rendra menatap sekelilingnya, dia melihat hamparan ilalang yang tak jauh dari tempatnya berdiri. Dia melihat disana terdapat sebuah pohon besar yang dibawahnya terdapat seorang pria paruh baya yang terduduk. Kakinya melangkah mendekatinya, matanya membulat saat dia mengenali siapa sosok pria tua ini.

Dia Eyang. Beliau duduk dengan senyumannya.

"Eyang?"

"Kenapa, kaget toh Eyang ada disini?"

"Ini..?"

"Duduk toh, le. Nggak kangen sama Eyang, kita ngobrol dulu."

Rendra duduk disamping Eyang dengan tatapan tak teralihkan dari pria berusia 50-an itu.

"Kamu masih ingat, dulu Eyang sering ajak kamu kesini. Duduk dibawah pohon ini sambil membacakan buku syair Melayu lama yang selalu kamu bawa. Tepat senja biasanya kita membahas soal kehidupan, masih ingat?" tanya Eyang.

"Masih, Eyang."

"Eyang pernah bilang ke kamu, tahap kehidupan manusia itu ada 3 tahap. Tahap pertama adalah saat kamu menatap dunia ini untuk pertama kalinya. Mendapat banyak cinta dan kasih sayang untuk pertama kalinya dari orang-orang disekitarmu. Tahap kedua, adalah saat kamu mulai ingin dimengerti orang-orang namun tak mau mengerti orang lain. Difase itu kamu mulai terperangkap di zona egois. Mas udah lewati dua fase tersulit itu. Dan kini, Mas harus melewati fase terakhir dalam hidup."

"Fase terakhir?"

"Fase dimana kaki harus melangkah meninggalkan orang-orang yang Mas sayangi untuk menemukan cahaya Tuhan."

"Maksud Eyang?"

"Sulit untuk dijelaskan, karena ini pelajaran yang hanya bisa di rasakan bukan dijelaskan secara teori."

Rendra mengerutkan dahinya, dia benar-benar tak paham maksud Eyangnya ini. Dia menatap kembali ke sekeliling, dia melihat seorang wanita yang tak asing baginya.

Dia berjalan mendekati gadis itu, gadis yang berdiri di depan danau dengan dress putih yang amat bersih. Rendra berdiri disampingnya.

"Lisa?"

Gadis itu tersenyum manis pada Rendra, "Danaunya sangat indah, tapi rumah yang sudah menunggu Mas Rendra lebih indah daripada danau ini."

"Rumah?"

Tanpa banyak kata, dia menggenggam tangan Rendra dan berlari menuntun Rendra ke sebuah rumah sederhana yang lagi-lagi tak asing baginya.

Ini rumah lamanya.

Lisa lebih dulu masuk kedalamnya, dia menengok sebentar ke Rendra memberikan senyumannya sebelum akhirnya masuk ke dalam rumah dan menutup pintu.

Rendra mencoba masuk, membuka pintu namun tak bisa karena dikunci. Dia mengetuk pintunya dan memanggil nama Lisa.

"Lisa, buka pintunya! Aku mau masuk!"

Terdengar tawa dari dalam rumah itu, Rendra mengintip dari jendela yang ada disana, didalam sana banyak sekali sanak saudara Rendra, termasuk orang tuanya.

"Ibu, Rendra mau masuk!"

"Ibuuu buka pintunya, Mas mau masuk!"

Sekeras apapun Rendra berteriak, suaranya semakin redam oleh suara tawa orang-orang didalam. Tangisnya pecah seiring dengan suara Eyang yang mengatakan.

"Semuanya sudah hilang, harusnya rumahnya yang kamu inginkan, bukan orang-orangnya."

Rendra terjatuh ke lantai tepat di depan pintu yang pelan-pelan terbuka.

Dia melihat semuanya menatap dengan tatapan sedih namun tak sinkron dengan senyuman yang mereka tunjukkan. Apakah ini kesedihan atau sebuah kebahagiaan?

Rendra tak mau peduli, dia hanya ingin masuk dan memeluk Ibunya yang juga berdiri disana dengan kedua tangan yang terentang seakan menyambut pelukan yang Rendra inginkan.

Namun baru hendak berlari, tiba-tiba pintu tertutup kembali. Rendra mengetuknya dengan keras dan berteriak-teriak memanggil ibunya agar mau membuka kan pintu.

"Ibuuu, Mas mau masuk, bukain pintunya."

"Nggak bisa, Mas!" jawab Ibunya.

"Bisa kalo Kak Rendra bisa tau passwordnya."

"Password apa?"

"Tahlil!"

"Tahlil?"

"Iyaa!"

"Kayak gimana?"

"La ilaha illal Lah, Muhammadur Rasulullah."

"La ilaha, apa tadi?"

"La Ilaha.."

"La ilaha..."

"Illal lah..."

"Illal lah..."

"Muhammadur Rasulullah."

"Muhammadur Rasulullah."

Pintunya benar-benar terbuka namun bukan keluarganya yang dia temui didalamnya, melainkan sang Eyang yang sudah merentangkan tangannya menyambut Rendra dengan senyuman. Rendra berlari memeluk sang Eyang dengan hangat

"Mas udah berhasil lewati fase terakhir, Mas sudah bebas dari rasa sakit.

****


“Dear, Pelangiku. Terimakasih telah datang di hidupku yang suram sebelum hadirmu, maaf bila aku sempat takut kehilanganmu. Tidur nyenyak disana, Kapten.”

—Jakarta, 12 Juli 2021

Đọc tiếp

Bạn Cũng Sẽ Thích

367K 25.6K 21
Bercerita sebuah pertemuan dua adam untuk pertama kalinya di masa putih abu-abu, Seiring berjalannya waktu terungkap kebenaran, kejujuran, manis, pah...
191K 15.7K 58
Tentang Arshaka Maisadipta yang dibuat jatuh hati dengan seorang laki-laki berpangkat Mayor. Perwira menengah angkatan darat baret merah. Salah satu...
71.9K 5.6K 16
"Bolehkah aku mengambil hak dan kewajibanku malam ini sama kamu? Nafkah batinku?" tanya Miftah dengan penuh harap, dengan suara lembut dan juga desir...
58.7K 3.5K 39
Karya ke-1 Rahasia Takdir (GENRE : Rom-com) 17+ ---------------------- Tidak ada yang bisa menebak Takdir dari-Nya. Karena itu semua masih menja...