A Night Before You [END]

By lyanchan

570K 55.2K 2.1K

Malam tahun baru Eugene terasa sempurna. Kesempatan menjalin hubungan dengan Airlangga, atasannya, semakin te... More

a short 'hi' from LYAN
p r o l o g
s a t u
t i g a
e m p a t
l i m a
e n a m
t u j u h
d e l a p a n
s e m b i l a n
s e p u l u h
s e b e l a s
d u a b e l a s
t i g a b e l a s
e m p a t b e l a s
l i m a b e l a s
e n a m b e l a s
t u j u h b e l a s
d e l a p a n b e l a s
s e m b i l a n b e l a s
d u a p u l u h
d u a p u l u h s a t u
d u a p u l u h d u a
d u a p u l u h t i g a
d u a p u l u h e m p a t
d u a p u l u h l i m a
d u a p u l u h e n a m
d u a p u l u h t u j u h
d u a p u l u h d e l a p a n
d u a p u l u h s e m b i l a n
t i g a p u l u h
t i g a p u l u h s a t u
t i g a p u l u h d u a
t i g a p u l u h t i g a
t i g a p u l u h e m p a t
e p i l o g
m a r c o
jurnal cinta Airlangga untuk Stephanie
ILY, till death do us apart

d u a

32.1K 2.4K 34
By lyanchan

"Pak, saya rasa ini bukan jalan menuju kantor." Kalimat itu menjadi kalimat pertama Eugene setelah sadar jika jalan yang mereka lalui bukanlah jalur menuju kantor. Mobil yang mereka tumpangi melaju melalui jembatan yang menandakan jika dirinya sudah dibawa keluar dari pusat kota, jauh dari keramaian dan jauh dari kawasan perkantoran.

Airlangga duduk dengan nyaman di samping Eugene. Layar ponselnya menyala terang di tengah kegelapan dalam mobil. Hal itu membuat Eugene menggelengkan kepala dengan gerakan kecil, takut terlihat jelas tengah mengamati, bahkan mengomentari atasannya meskipun hanya di dalam pikiran. Jujur saja, Eugene takjub dengan atasannya yang masih terus bekerja meskipun ada di dalam mobil.

"Seperti yang sudah saya sampaikan sebelumnya, kita sedang menuju ke tempat tinggal saya," jawab Airlangga beberapa detik setelah pertanyaan itu terlontar dari bibir Eugene. Seakan bisa membaca pikiran Eugene, Airlangga melanjutkan kalimatnya lagi, "Saya tinggal di luar kota, jauh lebih nyaman untuk ditinggali."

Eugene hanya menganggukkan kepala. Kali ini, ia setuju dengan pemikiran Airlangga. Tinggal jauh dari hiruk pikuk kota amatlah menyenangkan. Namun, untuk pekerja seperti dirinya, tinggal jauh dari kota adalah sebuah kerugian. Hal tersebut akan memakan waktu dan biaya yang cukup besar hanya untuk perjalanan pergi dan pulang kantor. Dirinya tidak diciptakan untuk hal yang merepotkan seperti itu.

Airlangga mematikan layar ponselnya, kemudian menatap Eugene setelah memastikan jika pekerjaannya bisa ditinggal untuk sementara waktu. Dari cahaya lampu jalan yang samar, Eugene dapat melihat raut serius, tapi tetap terhias senyum tipis pada wajah atasannya itu. "Saya bersyukur bisa menemukan orang Indonesia di tengah kota New York seperti ini. Apalagi, orang sekompeten kamu yang bisa saya percaya. Jarang pula ada orang Indonesia yang berpikiran terbuka seperti kamu, tidak kaku, maksud saya," kata Airlangga.

Kalimat yang diucapkan Airlangga itu mengagetkan Eugene sebanyak dua kali. Satu karena pria itu berbicara dalam bahasa Indonesia yang sangat fasih, di luar dari fakta Eugene mengetahui dengan jelas jika Airlangga adalah pria asli Indonesia, dirinya tetap saja kaget. Dua karena pria itu mengatakan hal yang menyentuh hatinya. Ketika berada di luar negeri, tempat yang jauh dari rumah, bertemu dengan orang Indonesia dan berbagi kisah hidup merupakan sebagian sentimental things untuknya.

Dengan suara yang sedikit tercekat, Eugene menjawab, "Saya juga bersyukur karena tidak menjadi satu-satunya orang Indonesia di kantor."

Airlangga tertawa renyah, "Why?" Bunyi denting ringan dari ponsel Airlangga terus menemani mereka tanpa henti. Sepertinya orang-orang tidak membiarkan pria itu menikmati malam tahun barunya dengan tenang.

Cahaya samar dari lampu jalan yang menyirami wajah tajam Airlangga memberi nilai tambahan, membuat Eugene lupa jika tahun baru ini tidak bisa dilewatinya dengan lancar sesuai rencana yang tadi sempat menjadi keluhannya sepanjang perjalanan. "Jujur saja, saya takut di-bully. Tapi, karena Anda juga berkewarganegaraan Indonesia, saya yakin mereka tidak akan berani melakukan hal itu terhadap saya. Berkat Anda, saya dapat bekerja dengan tenang hingga saat ini."

Airlangga kembali tertawa renyah, "Sepertinya bukan karena hal itu, tapi karena orang New York jarang mau mengurusi urusan orang lain. Jauh berbeda dengan lingkungan tempat tinggal saya dulu. Meskipun sebenarnya semuanya kembali pada sikap perseorangan." Senyum tidak lepas dari wajah Airlangga, mata yang biasanya tampak dingin dan cuek, malam ini terlihat berbeda. Jauh lebih ramah. Bahkan bibir yang biasanya hanya melontarkan kalimat-kalimat yang berkaitan dengan pekerjaan, kali ini sudah mulai bisa berbasa-basi.

Eugene mengangguk setuju lagi, senyum juga perlahan terbit di bibirnya.

Setelah itu, Airlangga kembali sibuk dengan ponselnya, sedangkan Eugene tenggelam dalam pikiran yang mulai liar hanya karena percakapan ringan tadi. Sudah ada banyak skenario romantis yang muncul dalam pikirannya. Dasar, manusia yang tidak bisa diperlakukan baik sebentar saja, sudah mulai banyak maunya.

***

Eugene dan Airlangga sudah duduk berhadapan di ruang kerja pria itu selama hampir satu jam dan perlahan mulai terasa suntuk. Namun, Eugene berusaha menyemangati diri ketika dokumen yang ada di hadapannya sudah mencapai beberapa halaman terakhir, menandakan bahwa pekerjaan mereka akan segera berakhir. Hal sesederhana itu kembali memberikan secercah harapan bagi Eugene. Paling tidak, ia masih bisa melihat kembang api yang menghiasi langit malam tahun baru di New York. Meskipun tidak melalui dinding kaca besar restoran yang diharapkannya, dan tidak ada steak lembut nan juicy, bahkan segelas anggur merah. Sebenarnya ia tidak sefanatik itu dengan tahun baru, tapi sepertinya antusiasmenya akan tahun baru sudah terkumpul sedikit demi sedikit dari beberapa bulan yang lalu, berakhir menggunung hari ini dan siap tumpah ketika hitungan mundur terjadi.

Namun, setelah bekerja sepuluh menit lebih lama dari perkiraannya, Airlangga terlihat tidak mau berhenti membahas pekerjaan dan malah mengulik topik baru. Eugene segera menyela atasannya itu, "Jika memang kita akan lama di sini, saya harus mengabari Cella terlebih dahulu agar dia tidak menunggu saya di restoran terlalu lama."

Airlangga menatap Eugene kebingungan, tapi pada akhirnya Airlangga mengangguk setuju. Airlangga baru ingat jika tadi Eugene hendak makan malam dengan wanita yang dikenalkannya sebagai sepupu, sebelum berakhir dikacaukan oleh dirinya sendiri. Jujur saja, Airlangga bahkan sudah lupa dengan Pexel yang datang dengannya dan pastinya memiliki nasib yang sama dengan sepupu Eugene. Mereka berdua ditinggalkan di restoran tanpa kabar.

Eugene mengetik pesan singkat dengan cepat pada Parcella, memberitahukan kepada sepupunya itu bahwa dirinya tidak akan kembali ke restoran lagi, sehingga Parcella bisa segera pulang tanpa perlu menunggunya. Setelah memastikan pesan singkatnya terkirim, Eugene mengangkat kepala menatap Airlangga yang sedang sibuk melingkari dan mencoret dokumen di hadapannya. "Sebaiknya Anda memberi kabar pada Pak Pexel, karena sepertinya Pak Pexel juga sedang menunggu Anda kembali ke restoran."

Airlangga tidak menjawab perkataan Eugene dengan kata-kata, melainkan dengan tindakan. Hal itu terlihat jelas dari Airlangga yang langsung mengabari Pexel dengan cepat dan tanpa basa-basi.

Tampaknya dua partner mereka sama-sama setuju dan memaklumi keabsenan mereka dari acara makan malam. Padahal, Eugene ingin menikmati masakan dan pemandangan restoran yang sudah dipesannya jauh-jauh hari, tapi nyatanya Eugene tidak bisa menikmatinya kali ini. Sayang sekali. Mengingat hal itu membuatnya kembali murung.

Eugene semakin murung ketika Airlangga membuka halaman selanjutnya dari dokumen baru yang ada di hadapan mereka dan kembali mendiskusikannya dengan Eugene. Dari pembahasan mereka sejauh ini, tampaknya Airlangga dan Pexel hendak merenovasi hampir seluruh lantai di PA Tower, menjadikan ruangan itu sesuai dengan mayoritas keperluan pasar.

Setengah jam berlalu lagi dengan cepat hingga suara samar kembang api terdengar dari rumah Airlangga. Eugene melirik sekilas jam dinding yang terpasang di dinding atas televisi, waktu sudah menunjukkan pukul dua belas malam kurang sepuluh menit, pantas saja kembang api sudah mulai dimainkan.

Airlangga melonggarkan dasi dari kerah kemejanya, selanjutnya meloloskan dasi itu dari kepalanya, kemudian ditaruhnya sembarangan di atas meja. Lalu, pria itu berjalan menjauh menuju kulkas yang berada di balik kitchen island yang bisa dilihat dengan jelas dari posisi Eugene saat ini karena ruang kerja Airlangga dan dapur hanya dibatasi oleh dinding kaca yang tidak ditutup tirai. Terlihat Airlangga tengah mengeluarkan kalengan soda merek terkenal dan jelas saja pilihan pria itu membuat Eugene menaikkan sebelah alisnya.

"Coke?" tanya Eugene tanpa menutupi ekspresi bingung ketika Airlangga berjalan memasuki ruangan dengan kedua tangan memegang kaleng soda.

"Iya, tidak mungkin kita minum wine sambil bekerja. Pekerjaan ini tidak akan selesai," jelas Airlangga sambil membuka kaleng soda, kemudian meneguknya. Leher jenjang pria itu terlihat sangat jelas karena sudah tidak lagi tercekik dasi yang erat. Selain itu, dua kancing teratas kemeja yang dikenakan Airlangga sudah dibukanya.

"Maka Anda semakin keterlaluan. Selain sudah membuat saya tidak melewati malam tahun baru dengan baik dan benar, Anda juga tidak memberikan saya anggur merah sebagai bentuk penghiburan." Eugene menaruh bolpoin yang digenggamnya ke atas meja. Ia berjalan mendekati dinding kaca ruang kerja Airlangga, yang mengarah ke taman, sambil menunjuk kembang api yang tampak kecil dari kejauhan. "Paling tidak, biarkan saya menikmati segelas anggur merah sambil menatap kembang api yang sudah mulai dimainkan di luar sana," lanjutnya.

"Baiklah," kata Airlangga. Ia dengan patuh berjalan menuju lemari penyimpanan wine yang berada tidak jauh dari kulkas tadi, kemudian kembali dengan sebotol wine dan dua gelas sampanye kosong. Sesederhana itu, tapi sudah berhasil membuat Eugene mulai menerbitkan senyum tipis.

Airlangga dan Eugene berdiri tepat di depan dinding kaca dengan gelas sampanye di masing-masing genggaman. "Happy New Year!" Dentingan halus gelas mereka terdengar memenuhi ruangan, bersamaan dengan ramainya suara letupan kembang api di luar sana yang agak teredam dinding kaca. Setelahnya, dentingan gelas mereka berdua kerap terdengar dan tanpa disadari, gelas mereka berdua tidak pernah sekali pun dibiarkan kosong.

Entah karena momen yang tepat, atau karena kadar wine yang diminum mereka berdua cukup tinggi, Airlangga dan Eugene perlahan tapi pasti mendekatkan diri mereka berdua. Tatapan mereka terkunci di bawah cahaya samar ruang kerja Airlangga. Eugene sadar dengan pasti, prinsip yang dipegangnya selama ini sebentar lagi akan dilanggarnya. Dan seperti sebuah penghiburan, Eugene menganggap dirinya sudah cukup dewasa untuk merasakan pengalaman ini.

Tepat seperti apa yang diprediksi oleh otak setengah sadarnya, Airlangga menarik Eugene mendekat, kemudian merebut gelas kosong dari tangannya. Pria itu menaruh kedua gelas sampanye kosong mereka ke atas meja kerja, kemudian menyandarkan tubuh Eugene pada meja kokoh setinggi pinggang itu. Airlangga menarik tengkuk Eugene lembut, lalu menyatukan bibir mereka yang masih dengan jelas mengeluarkan aroma khas anggur merah yang memabukkan.

Eugene sempat memberontak ketika ciuman ringan serta lembut itu perlahan berganti menjadi ciuman dalam dan intens. Tapi, penolakan itu terjadi sebentar saja, terbukti dari dirinya yang kini membalas ciuman Airlangga sama dalamnya. Airlangga terus menciumnya sambil membimbing Eugene melangkah memasuki ruangan lain. Eugene dengan patuh mengikuti langkah Airlangga dengan kaki yang mendadak lemas tidak bertenaga. Kegelapan penuh langsung menyambutnya, begitu juga dengan hawa dingin yang menyengat kulit. Ditambah dengan jantung yang semakin berdetak kencang hingga Eugene takut Airlangga dapat mendengarnya dengan jelas. Detakan itu semakin menjadi ketika tubuhnya dijatuhkan ke atas kasur.

Lagi-lagi, dari cahaya lampu yang samar dan remang itu, Eugene melihat bayangan Airlangga di atas tubuhnya. Airlangga menyelipkan rambut panjang Eugene ke balik telinga, dilanjutkan dengan menyusupkan wajahnya pada leher jenjang Eugene, sebelum pada akhirnya dinginnya ruangan tidak lagi terasa. Panas dari tubuh mereka berdua berhasil mendominasi dinginnya kamar Airlangga malam itu.

Continue Reading

You'll Also Like

2.7M 74.9K 59
This is the old/ original version of this story (I decided to republish it while I rewrite the new version.) ...
101K 1.3K 23
Perkenalkan, aku Nisa. aku adalah seorang anak baru SMA biasa hingga aku bertemu seorang pria yang aku anggap sempurna. semuanya terlihat indah. aku...
2M 100K 44
Scarlett and Nate are the epitome of "right person, wrong time", and two years after their one night together, Scarlett sees him interviewing for his...