I Will Not Let You Go [NOREN]✓

Od injenlies_

632K 68.4K 6.8K

"Akh! Lepaskan aku bajingan!" "Tidak untuk kali ini, Huang.." [TAMAT] --- NOREN UNIVERSE by buah ceri #1🥇- n... Více

prolog
1. Semesta, Karma dan takdir
2. Masa Kini
3. ini aku
4. Pergi
5. khawatir
6. Pulih
7. Dejavu
8. Ada Yang Tidak Beres
9. Harus Sembuh Dulu
10. Pantai
12. Acara Pernikahan
13. Rencana di batalkan
14. Hotpot
15. Manis dan Pahit
16. Mulai?
17. fakta one
18. Izin
19. Pertolongan
20. Kehangatan!!!⚠️
21. Warna Warni
22. Setelah Hampir Sebulan
23. Karena cemburu
24. Hukuman!!!⚠️
25. Menaklukan Hati
26. Beast
27. Daun semangi.
28. Kejutan...
29. Ada apa?
30. ada dua kejutan
31. Retakan Baru
32. Jarak
33. Camolie dan americano
34. kabar untukmu
35. Tamu tak diundang
36. Rahasia menyakitkan
37. Hilang dan Pergi
38. Hari Yang Kembali
39. Baby Born
40. kabar gembira
41. selamat malam
42. si cinta pertama
43. I Will Not Let You Go [END]
Epilog
Bonchap - Mama kamu Juga

11. Rencana

14.8K 1.8K 80
Od injenlies_

Vote dan komennya ya manis, apresiasi dari kalian.

selamat malam. untuk typo, sekali lagi, maap :)

and, enjoy it <3

———

Sudah hampir dua minggu Renjun membekam di pulau yang jauh dari jangkauan manusia itu. Sepanjang hari kerjanya hanya bermain bersama Shotaro, membantu Jungwoo atau bertengkar dengan Jeno yang berujung dengan suara tangis dari dirinya.

Untuk ukuran orang dewasa, kegiatan Renjun terbilang menyenangkan, tidak perlu bekerja keras, hanya perlu menurut dan Renjun bisa bernapas dengan tenang.

Tapi, semua itu bukanlah kemauan dirinya, dinamakan liburan juga bukan, karena jika ditelisik lebih jauh, Renjun hanya seperti manusia selundupan, yang disembunyikan oleh orang gila untuk dimanfaatkan.

Jeno memang memberinya banyak hal di sini, dan tidak membiarkan dirinya kesepesian juga.

Namun, Lee Jeno tetap masih sebrengsek itu, dia masih akan melakukan apapun seenaknya kepada Renjun. Bahkan tak jarang lelaki Lee  itu menikmati tangis Renjun di dalam kukungannya.

Jangan berpikiran yang tidak-tidak dulu, Renjun masih belum tersentuh, dia masih murni perjaka, dan semoga saja tetap begitu sampai dia bisa kabur dari Jeno.

Pasalnya Jeno masih suka mengancam Renjun untuk memperkosa submisif mungil itu.

"Sedang memikirkan apa?" tanya Jungwoo yang kini ikut duduk di ayunan samping Renjun.

Tadinya, ayunan itu tidak ada, tapi Renjun iseng mengajak Shotaro untuk membuatnya bersama, hitung-hitung mengisi waktu luang. Ternyata tak jarang Jungwoo atau pun Sungchan, bahkan Jeno suka duduk di sana.

Seperti saat ini, Renjun duduk di ayunan yang dia buat, dan Jungwoo yang duduk di ayunan buatan Shotaro.

Jangan tanya pemuda Jepang itu ada di mana sekarang, karena Renjun juga tidak tahu.

"Tidak ada Hyung, hanya bosan." jawab Renjun sekenanya.

Jungwoo mengangguk, "memang membosankan, tapi setidaknya di sini tenang."

Apa yang Jungwoo katakan benar, pulau itu memang tidak terlalu buruk, menenangkan, tapi tidak untuk Renjun yang terasa terkurung.

Hening menghampiri mereka beberapa saat, membiarkan semilir angin pantai mengambil alih, menyapu wajah mereka dengan halus, juga suara ombak yang seakan menjadi melodi alam paling indah.

"Kau tidak betah ya di sini?" tanya Jungwoo dengan wajah yang menatap lurus ke depan.

Renjun menunduk, lalu mengangguk sambil tersenyum kecut.

Kini kepala Jungwoo beralih untuk menatap lelaki mungil itu.

"Maaf tidak bisa membantumu."

Renjun menggeleng, "bukan salah Hyung, memang dasarnya Lee Jeno itu bresengek."

Lelaki Kim itu terkekeh, "cuma dirimulah, orang di pulau ini yang berani memaki seorang Lee Jeno."

"Untuk apa takut padanya." kata Renjun sarkas.

"Mau kupanggilkan?" goda Jungwoo.

Renjun langsung menggeleng ribut, "jangan Hyung, aku belum mau mati."

"Kau ini lucu sekali." kata Jungwoo sambil mengusak surai halus Renjun.

"Em.. Hyung, boleh aku bertanya sesuatu?"

Jungwoo mengangguk, "tentu."

"Hyung ini, berperan apa dalam hidup Jeno?" tanya Renjun penasaran.

"Kenapa ingin tahu?"

"Hanya penasaran, karena di antara semua pekerja yang ada di pulau ini, Jungwoo Hyung seperti agak.. dispesialkan, mungkin."

Lelaki Kim itu tidak langsung menjawab, tatapannya kembali lurus ke depan, lalu mulai mengayunkan dirinya perlahan di atas ayunan yang dia naiki.

"Tidak ada yang spesial bagi Jeno di sini." katanya, "kecuali dirimu, Renjun." sambung yang lebih tua sambil melirik ke arah Renjun.

Renjun memutar bola matanya malas, mana ada dispesialkan, dijadikan layaknya jalang, iya.

"Mana ada." tangkas si mungil.

Terdengar kekehan dari mulut Jungwoo.

"Baiklah, sudah mau masuk jam makan siang, aku masuk duluan ya, jika butuh bantuan, aku ada di dapur."

Jungwoo bangkit setelah mendapatkan anggukan dari lelaki mungil itu.

.

Renjun memasuki mansion itu dengan langkah pelan, bosan, sangat bosan rasanya, Shotaro juga ntah kemana, mungkin sedang bersama Sungchan, mengingat pria jangkung itu sedang berada di pulau ini, yang artinya Jeno juga ada di sini.

Kaki jenjangnya berjalan menelusuri mansion, semua pekerja akan menyapa ramah atau sekedar menunduk jika melewati Renjun.

Tadinya sebagian pelayan di sana sempat merasa kesal dan tidak terima saat harus menghormati Renjun layaknya mereka menghormati Jeno, mengingat lelaki mungil itu adalah orang baru, dan bahkan bukan seorang istri dari Lee Jeno.

Renjun tidak marah dan malah mengakui itu semua, karena memang itu kenyataannya, Renjun bukan siapa-siapa di sana.

Tapi finalnya, ada satu pelayan yang dengan kurang ajarnya menyiram Renjun dengan kopi, saat itu pula Jeno langsung yang turun tangan, dan sekarang ini keberadaan pelayan kurang ajar itu ntah di mana.

Kabarnya, Jeno menjual wanita itu salah satu klub langganannya, dan demi Tuhan, Renjun semakin takut dengan Pria Lee itu.

Renjun mengintip ke dalam salah satu ruangan yang ia yakini adalah tempat kerja Jeno, yang.. sedikit mencekam mungkin, begitulah, tidak ada hal yang menyenangkan dari ruangan itu, khas seorang Jeno sekali. 

Dulu, Babanya juga punya satu ruangan khusus untuk dirinya bekerja, tapi suasananya tidak mencekam sama sekali seperti ini, karena Mamanya tidak suka.

Perlahan kaki Renjun membawanya masuk, ntah apa yang dipikirkan, tapi tubuhnya seakan mengikuti saraf-saraf kakinya.

"Dingin sekali, ini bahkan sudah masuk musim semi." Guman Renjun sambil memeluk dirinya sendiri.

"Wah.. dia benar-benar orang sibuk. Lihat semua berkas-berkas ini."

Renjun meneliti beberapa berkas yang ada di atas meja itu.

"Lihat jumlah nominal di kertas ini."

Lelaki Huang mengangkat satu kertas yang ada di sana.

Lalu tiba-tiba Renjun terkekeh kecut, "lucu rasanya saat melihat nominal ini, tapi reaksiku malah kaget, bukan kah dulu ini hanya sebuah angka bagiku? Sepertinya semesta bermain terlalu seru dengan hidupku." Gumannya lalu kembali meletakkan kertas itu.

Dia tidak iri dengan kekayaan si brengsek itu, lagi pula hidupnya yang sekarang lebih baik.

Sebelum bertemu dengan Jeno pastinya.

Langkah si manis mengitari meja, mungkin dia lupa di mana dia berpijak, atau memang rasa penasarannya yang terlampau besar, sampai tidak berpikir kalau Jeno bisa saja datang secara tiba-tiba, lalu mengamuk. Atau parahnya, Renjun kembali dijamah sana sini hingga memohon lalu menangis.

Tangan lentiknya bermain dengan lihai di laci-laci meja, membuka, memegang semua isinya, sambil sesekali berguman pelan.

Saat di laci paling kiri, Renjun melihat sesuatu yang.. agak familiar mungkin—timbul dari sela-sela laci.

"Ini, seperti milikku." Gumannya.

Srek!

Sialnya, laci itu terkunci. Alis Renjun bertaut, "kenapa yang ini di kunci, ini seperti tali tasku."

Renjun masih berusaha untuk menarik sesuatu yang menurutnya adalah tali tasnya itu bersamaan gagang laci.

"Sudah selesai membongkar barang-barangku?" Tanya suara dari arah pintu.

Lelaki manis itu langsung mendongak kaget, lalu tatapannya bertemu langsung dengan netra milik si dominan yang ntah sejak kapan berada di sana.

Jantung Renjun hampir jatuh ke lambung rasanya, tangannya langsung refleks menjauh dari laci dan dia sembunyikan di belakang tubuh munggilnya, dia lupa kalau ini adalah wilayah kekuasaan Jeno.

Bagus, sekarang Renjun sangat persis seperti maling yang tertangkap basah.

"Masuk tanpa izin, lalu mengobrak-ambrik barang-barangku, jika ada yang hilang, apa kau yakin bisa menggantinya?" Tanya Jeno sarkas.

Dominan itu melangkah masuk dengan tangan yang bertengger apik di kedua saku celananya.

Mata Renjun bergetak panik, "tidak, aku tidak mengambil apapun, aku hanya—"

"Kau bukan seorang Huang lagi, kalau kau lupa." Kata Pria Lee itu dengan nada remeh.

Jantung Renjun langsung berdetak cepat, bukan karena takut, tapi karena sudah kepalang geram dengan kalimat Jeno.

Dominan ini boleh saja mengatainya atau merendahkannya terkait uang atau apalah itu, tapi Huang adalah marganya dan tetap akan selalu menjadi miliknya!

Iya, memang Huang bukan lagi orang terkaya ketiga di negaranya, tapi kembali lagi! Bukan itu poinnya.

Huang adalah namanya yang juga nama dari Ayahnya, jika si brengsek itu menghina marganya, bukankah itu artinya dia juga menghina ayah Renjun?!

Kepala Renjun sedikit mendongak untuk menatap nyalang wajah dengan rahang tegas itu.

"Keparat sialan! Jangan bicaramu!" Teriak Renjun kesal.

Jeno yang ntah sejak kapan sudah ada di depan Renjun menundukkan kepalanya sedikit untuk menatap mata penuh kebencian itu.

"Kenapa? Apa aku salah?"

"Kuperingatkan sekali lagi, jaga bicaramu Lee Jeno." Desis Renjun.

Lelaki Huang itu sudah lupa akan benda di laci yang sempat ia klaim miliknya tadi.

Berdebat dengan si Lee ini tidak akan ada gunanya, lebih baik Renjun pergi dari sana.

"Mau ke mana? Kau pikir kau ada di mana saat ini? Keluar masuk dengan seenaknya." Peringat Jeno sambil mencekal lengan Renjun.

Memaksa submisif itu untuk berhenti.

Renjun menyentakkan lengannya, tapi tentu saja tenaga Jeno bukan tandingan bagi si mungil.

"Lepaskan aku sialan!"

Bukannya terlepas, gengaggaman Jeno malah makin mengerat, mungkin setelah ini pergelangan tangan Renjun sudah lebam atau sekedar memerah.

"Akh, sakit Jeno, lepaskan aku." Kini suara Renjun melirih, tidak bohong, rasanya tulang Renjun akan remuk.

"Sudah kukatakan, untuk jangan berkata kasar denganku." Suara Jeno merendah.

Renjun merinding, sekarang rasa kesalnya bercampur dengan rasa takut.

Kring.. kring.. kring..

Telepon Jeno yang berada di atas meja kerjanya berdering nyaring, dan ntah kenapa Renjun bersyukur karena itu.

Renjun melirk benda itu.

Jeno juga ikut melirik ke arah teleponnya dan Renjun secara bergantian.

"A-apa?!" Tanya Renjun mencoba untuk terlihat tidak takut.

Jeno mendengus, lalu menarik tubuh mungil itu, dan mendudukkannya di atas kursi kebesarannya.

"Diam, dan jangan coba-coba untuk bangkit, atau benar-benar kuhabisi kau setelah ini." Ancam Jeno.

Renjun langsung menyentakkan lengannya hingga terlepas dari cengkraman Jeno, lalu mengusapnya pelan.

"Dasar tukang mengancam." Gumannya pelan.

Jeno mengangkat telepon itu.

"Halo?"

"Yak, Lee Jeno."

"Oh, Doyoung Hyung, ada apa?"

Diam-diam, Renjun menyimak membicaraan itu.

"Pernikahanku minggu ini, kenapa kau masih ada di pulau terpencil itu? Cepat kemari, jangan sampai tidak hadir, aku akan menggilingmu jika itu terjadi!" Omel Doyoung.

Jeno terkekeh kecil mendegar omelan calon Ibu itu.

Renjun yang mendengar kekehan Jeno, terdiam sejenak, mata Jeno ikut tersenyum saat lelaki itu terkekeh, kenapa rasanya Renjun pernah melihat itu sebelumnya? lalu menggeleng pelan, tidak mungkin, Renjun pasti hanya berhalusinasi.

Tapi jujur, sudah hampir dua minggu ini, Renjun belum pernah melihat Jeno tersenyum ke arahnya.

Mungkin pernah, hanya saja lelaki mungil itu lebih banyak membuang muka dari pada menatap Jeno.

"Aku akan pergi, mungkin sehari sebelum acaranya berlangsung aku sudah ada di Seoul."

Mata Renjun mengerjab.

Apa lelaki Lee itu akan pergi ke Korea? Apa Renjun boleh ikut serta? Renjun rindu dengan negeri ginseng itu, juga teman-temannya.

Tapi.. apa Jeno akan mengizinkannya untuk ikut?

Jika iya, Renjun ingin menyusun rencana agar bisa kabur dari lelaki gila itu.

"Baiklah, tapi kalau bisa jangan saat dari H-nya, aku tidak terima, kau harus membantu juga di sini."

"Iya Hyung, aku akan tiba sebelum hari H, kenapa cerewet sekali?"

Mendengar nada Jeno yang melembut saat berbicara dengan orang lain, hati Renjun kenapa jadi sakit begini?

Apa dia berharap kalau Jeno akan berkata dengan nada lembut itu juga kepadanya secara cuma-cuma, tanpa perlu diminta atau tanpa imbalan apapun?

Astaga Huang, jangan banyak berharap, diperlakukan layaknya manusia saja sudah syukur.

"Bawalah lelaki mungil itu untuk ikut serta, aku ingin melihatnya, siapa namanya? Reonjon?" tanya  Doyoung sambil menebak.

Dengan refleks kepala Jeno mengarah menatap Renjun, lalu mendengus kecil, "namanya Renjun, Hyung."

Yang merasa terpanggil langsung mendongak, semakin penasaran dengan pembicaraan itu, kenapa tiba-tiba namanya dibawa-bawa begini?

"Oh, iya itu pokoknya, bawa ya."

"Apa perlu?"

"Kenapa? Kau takut dia kabur darimu? Dasar si gila ini, beri dia sedikit kebebesan, kau kira dia apa? Ternak? Dia manusia Lee Jeno, tidak ada manusia yang suka dikurung seperti itu."

Doyoung kembali mengomel. Renjun sedang dibela habis-habisan saat ini, tapi sayang, hanya Jeno yang bisa mendengar pembelaan itu, Renjun? Hanya bisa diam memperhatikan tanpa tahu apapun.

"Aku mau bertanya." Ujar Doyoung.

"Apa?"

"Bagimu, Renjun itu apa dan siapa?"

Jeno tidak langsung menjawab, lelaki itu malah duduk di ujung meja, padangannya tidak lepas dari wajah si manis.

Tangannya yang bebas dari gagang telepon hendak mengusak surai halus itu, tapi Renjun segera mengelak dengan tatapan bengis.

Tidak rela Jeno memegang kepalanya.

Sedangkan Jeno hanya bisa kembali mendengus kesal, si kecil ini memang sulit sekali dilembuti.

"Lee Jeno." Tegur Doyoung karena tidak mendapat jawaban.

"Apa?"

"Jawab, sialan." Kesalnya.

"Doie, orang hamil tidak boleh jahat mulutnya, nanti tertular ke babynya bagimana?" Itu suara Taeil yang tiba-tiba menyahut.

"Hyung diam! Aku sedang kesal." Omel Doyoung kepada calon suaminya itu.

Astaga, Jeno merasa seperti nyamuk jika dua orang itu sudah mulai bicara.

"Doyoung Hyung." Jeno meminta perhatian.

"Apa?!"

Jeno sedikit menjauhkan teleponnya saat bentakan Doyoung terdengar, "jangan bicara pada si Taeil itu saat mengobrol denganku." Rajuk Jeno.

Dari sebrang sana, alis Doyoung sudah menukik kesal, "panggil dia Hyung, Lee Sialan Jeno!"

"Beberapa hari lagi hal itu baru akan terjadi." Balas yang lebih muda.

Taeil akhirnya diam, tahu betul kalau calon adik iparnya itu, memang sangat kurang ajar, jadi lebih baik dia mengalah.

"Bagus sekali ya, mengubah topik pembicaraan dan membuat seorang lelaki hamil naik darah. Punya berapa kantung dosa kau Lee Jeno?" Sindir Doyoung.

Wajah Jeno langsung masam, Doyoung ini kalau sudah bicara, kenapa pedas sekali.

"Jawab!" Desak Doyoung. "Kau anggap apa dia?"

Jeno kembali menatap Renjun, yang saat ini mungkin sudah kepalang bosan dan ntah sejak kapan mulai mengambar di atas kertas kosong menggunakan bolpen puluhan juta miliknya.

Untungnya, Jeno tidak keberatan dengan itu, malah gemas karena Renjun menjadi sedikit lebih tenang.

"Kekasih." Jawabnya singkat.

Renjun yang mendengar itu langsung mendongak bingung, tatapan keduanya bertemu, lalu tak lama si munggil berhedam pelan, sebelum akhirnya memutuskan pandangan mereka lebih dulu.

Agak gugup kalau Renjun boleh jujur.

"Beri tahu aku satu kisah di mana orang yang mengurung kekasihnya." Ujar Doyoung terdengar menanang.

"Janggut Biru mengurung istrinya di bawah di tanah." Jawab Jeno tenang.

"Lalu membunuhnya, bukan gitu?" Jeno terdiam setelah mendengar kalimat Doyoung, benar pada akhirnya si Janggut Biru membunuh istrinya karena.. cemburu.

Demi Tuhan, kalian boleh mengklaim Jeno sebagai pasien rumah sakit jiwa, tapi tidak sedikit pun Jeno ada niat untuk membunuh lelaki mungil ini.

"Hyung.. kau sedang hamil, kenapa bicara hal mengerikan seperti itu?" Tanya Jeno merinding.

"Makanya jangan asal menjawab omonganku! Cepat datang dan bawa anak itu untuk ikut serta!"

Lalu sambungan telepon itu terputus secara sepihak, tentu lelaki hamil itu yang melakukannya.

Jeno menjauhkan teleponnya dari telinga, lalu menatap benda bergagang itu dengan ekspresi seram.

Doyoung kalau bicara memamg suka sampai mengenai mental.

Setelah meletakkan telepon itu kembali ke tempatnya, Jeno menatap Renjun lekat.

"Apa?" Tanya lelaki mungil itu.

Jeno menarik lengan Renjun hingga tubuh mungil itu berdiri, lalu mendekapnya lembut.

"Lee Jeno lep—"

"Sebentar saja, kali ini diamlah, aku hanya ingin memelukmu Huang. Aku bersumpah." Ujar Jeno lirih.

Renjun yang sempat memberontak perlahan diam saat mendengar suara Jeno, menurut dengan kata-jata Jeno, tapi tidak membalas pelukan itu, benar-benar hanya membiarkan Jeno untuk memeluknya secara sepihak.

Perlahan, dekapan itu mengerat tanpa membuat sesak, terasa nyaman dan hangat, apalagi tempat itu terasa dingin karena temperatur pendingin ruangan yang sangat tinggi.

Renjun merasa.. aneh, tapi juga sedikit menyukai perlakukan Jeno kali ini. Tidak kasar, dan terkesan sangat.. lembut.

Kini Jeno menelusupkan wajahnya ke ceruk leher Renjun, menghirup dalam-dalam aroma lembut yang hanya bisa ia dapatkan dari lelaki manis itu.

"J-jeno." Lirih Renjun saat Jeno semakin memperdalam hirupannya.

Bahkan tak jarang, ujung hidung bangirnya ia gesek ke atas kulit leher Renjun yang sudah terdapat beberapa tanda kepemilikan yang ia buat beberapa kali—yang kini warna hampir pudar.

Perlahan tapi pasti Jeno mulai memberi ciuman kecil di sana, yang menimbulkan efek besar pada tubuh Renjun.

Tangan Renjun yang tadinya hanya diam, kembali terangkat untuk berusaha menjauhkan tubuh bongsor Jeno.

Memang sekali brengsek tetap brengsek, lihat, bukankah dia bilang hanya ingin memeluk? Kenapa sekarang ingin membuat tanda baru lagi?

"Jen.."

Jeno mulai bergerak, lalu duduk di atas kursi yang tadi Renjun duduki sambil membawa tubuh Renjun untuk ikut serta, kini posisi Renjun sudah ada di atas pangkuannya.

Bagus, Renjun akan mulai mengamuk beberapa saat lagi, sungguh, seumur hidup Renjun tidak pernah sudi untuk duduk di pangkuan Dominan manapun kecuali Babanya dulu, atau suaminya kelak.

Lalu si brengsek ini..

Jeno menjauhnya wajahnya dari ceruk leher beraroma memabukkan itu, kedua tangannya memeluk erat pinggang ramping Renjun.

Benar saja, pemandangan yang pertama kali Jeno lihat adalah wajah Renjun yang sudah memerah. Ntah karena menahan amarah, atau karena perlakukan Jeno.

"Kau—"

"Mau ikut ke Seoul?"

Pertanyaan Jeno menyurutkan makian Renjun yang padahal sudah ada di ujung lidah.

Renjun tidak menyangka kalau dominan mesum ini akan menawarinya lebih dulu. Padahal Renjun sudah berniat merengek jika tidak diperbolehkan ikut.

Mata rubah itu mengerjab lucu, "apa boleh?"

Jeno tersenyum kecil lalu mengangguk.

Hati Renjun mengahangat, gila, semudah itu untuk meluluhkan amarah Renjun.

Tapi setelah itu, mata Renjun memicing curiga, kenapa tiba-tiba Jeno bersikap seperti ini? Membuat merinding saja.

"Aku curiga.." desis si mungil.

Lalu setelahnya, Jeno terkekeh sarkas, "aku tahu kau akan sadar, selamat, kau benar."

"Apa yang—akhhhhh Lee Jeno!"

Benar, tanpa aba-aba lelaki Lee itu kembali menelunsupkan wajahnya ke leher Renjun, lalu mulai membuat tanda baru di sana.

Tangan Renjun memberontak, ingin menjauhkan tubuh Jeno yang sialnya malah semakin merapat.

Tangan Jeno kembali masuk ke dalam baju yang Renjun kenakan, pungung halus itu kembali dijamah oleh tangan besar Jeno.

"Eungh..." Lenguhan Renjun terdengar.

Sial, sial, sial. Padahal Renjun sudah mengigit bibir bawahnya dengan kuat agar lenguhan kurang ajar itu tidak keluar dari mulutnya.

"Jenh.. lepahsh.. eungh.."

Satu tanda, dua tanda, tiga tanda.

Ntah lah, mulut Renjun tidak berhenti bersuara dengan semakin banyaknya tanda yang di buat oleh Jeno.

Sebenarnya Jeno belum puas, tapi saat dirasa kalau dia sudah mengisi hampir semua ruang di leher jenjang itu, barulah Jeno berhenti dan menjauhkan wajahnya.

Mata Renjun terlihat sayu, kegiatan ringan begini saja sudah menguras tenaga rasanya.

Saat tubuh Jeno agak menjauh, Renjun langsung menutup lehernya dengan kedua tangan, padahal tadi pagi dia sudah senang, karena warna unggu bercampur merah di lehernya akan terlihat segera hilang.

Tapi si sialan ini, malah membuat yang baru.

"Dasar keparat mesum!" Marah Renjun.

Jeno mendekatkan wajanya ke wajah Renjun, refleks Renjun menjaukan wajahnya.

"Kalau kau mau kubuat sesak napas, katakan." Suara Jeno merendah.

Mata Renjun langsung membulat sempurna, cukup Jeno.

"Tidak mau!"

"Tapi aku mau."

Lelaki Lee itu tersenyum miring sambil bangkit dari duduknya mengikut sertakan Renjun yang kini sudah ada di gendongannya seperti karung beras.

"Turun kan aku, aku minta maaf karena sudah mengataimu keparat, tapi kumohon lepaskan aku untuk kali ini." Mohon Renjun.

Jeno tidak mendengar itu, lalu membawa tubuh Renjun menuju kamarnya, lagi pula dia belum menyicipi bibir manis itu hari ini.

Untuk kegiatan intim, maaf, tapi Jeno belum sampai di sana, Renjun masih 100% suci dan belum di masuki sama sekali.

Kapan hal itu terjadi?Mungkin nanti, besok, atau kapan lah, yang pasti bukan hari ini.

...

TBC 

Terima kasih untuk vote dan komennya <3

kalau gitu aku, pamit and ciao~~~~

Pokračovat ve čtení

Mohlo by se ti líbit

336K 34.8K 27
Jung Jaehyun & Huang Renjun Started ; 03-09-2019 Finished ; 18-07-2020 True Love ft. Baby (NAFL season 2-ongoing) highest rank :: #03 hyunren '07112...
196K 20.6K 33
Ego yang meninggi layaknya puncak menara eiffel yang sulit digapai. Hati yang sama-sama terikat namun harus terpisah akibat alasan klasik.
829K 123K 45
Setiap orang pada dasarnya memiliki kekuatan. Kekuatan itu ada sejak mereka lahir. Entah itu pengendali api, angin, waktu, atau pun membaca pikiran...
7.4K 1.1K 108
Judul Singkat:ABSML Judul Asli:男配破产后[穿书] Status:Completed Author:春风遥 Genre:Comedy, Slice of Life, Yaoi Setelah menyeberang untuk menjadi pemimpin pri...