Aksara Dan Suara

By khanifahda

1.5M 166K 6.7K

Bukan waktu yang singkat bagi Grahita Sembrani Pramonoadmodjo untuk menghapus bayang-bayang penghianatan cint... More

Jaladri
Rawi
Griya
Ludira
Sakwari
Samira
Udaka
Darani
Nirada
Wibana
Lenggana
Asta
Peningal
Brawala
Pakara
Pralapa
Kawur
Kaningaya
Samapta
Persudi
Kanin
Adanu
Lawya
Purwa
Mara
Hastu
Sangsaya
Weling
Kaharsayan
Samagata
Mahatma
Wiyoga
Asti
Balakosa
Smara
Mandrakanta
Darba
Soma
Adicandra
Sakanti
Balun
Adyuta
Abhipraya
Syandana
Gama
Jantaka
Nisita
Palar
Byuha
Locana
Nayottama
Agata
Gandring
Ilir
Adhikari
Dayita
Adyatma
Wasana
'Naditya'
'Cundamani'
'Woro-Woro'

Radinka

23K 2.6K 106
By khanifahda

Grahita mematung sebentar di depan cermin rias yang berukuran besar itu. Tatanan sanggul modern, pipi yang agak memerah karena riasan serta bibir yang dilapisi oleh lip cream warna pink natural menjadi pemandangannya sekarang. Sungguh inikah dia? Padahal ia pernah menulis di sebuah buku kecil tentang mimpi dan harapanny jika resolusi 3 tahun dari menulis di buku itu, ia akan mengembangkan usaha food court yang akan tersebar di seluruh Indonesia. Namun tiba saatnya, kini justru dirinya bertunangan dan hendak menikah. Memang takdir tak ada yang tahu.

Tak ada di benaknya dulu jika ia menikah. Hanya ada harapan bahwa ia menjalani kehidupan secara normal, mengembangkan usaha kulinernya, dan liburan sepuasnya tanpa ingin merasakan jatuh cinta lagi. Namun kini justru ia jatuh cinta pada seorang abdi negara yang jauh dari ekspektasinya. Mengenal seluk beluknya saja baru waktu dekat ini. Sungguh tak disangka, takdir bermain begitu rapi dan mengejutkan dirinya.

Kebaya cantik berwarna silver itu membalut tubuh Grahita dengan indah. Sepertinya, tahun ini adalah tahun dimana ia kenyang memakai kebaya dan riasan di wajahnya.

"Nanti kamu keluar kalau sudah dikasih aba-aba ya? Keluarga Gandhi baru datang, Ta. Bah mantap banget! Calon suamimu tambah glowing."

Grahita tergelak pelan dengan ucapan Zoya. Yang dimaksud glowing mungkin terlihat lebih cerah. Kemarin Grahita memang sengaja memberikan masukan supaya Gandhi lebih memperhatikan penampilannya. Grahita berdalih jika Gandhi akan terlihat lebih muda jika wajahnya tidak terlalu kusam seperti kemarin dan lelaki itu menuruti apa yang dikatakan oleh Grahita.

"Glowing apanya Mbak? Dia tuh mana mau treatment ala-ala yang sekarang sedang jadi tren artis laki-laki. Mungkin kelihatan lebih cerah aja."

Zoya menganggukkan kepalanya setuju. Mungkin selama ini yang ia tahu, Gandhi agak gelap kulitnya sehingga melihat wajah lebih cerahnya Gandhi langsung dibilang glowing.

"Deg-degan, Ta?"

Grahita mengangguk. "Iya, Mbak. Banget. Mbak dulu gitu?"

Zoya mengangguk. "Sama. Aku dulu deg-degan banget, tapi lebih deg-degan pas acara akad nikah sih. Kamu tahu sendiri kan kalau nama mbak panjang dan mbak takut abangmu salah ucap."

Grahita kembali terkekeh. Tak lama kemudian, Lili masuk bersama Marcella ke ruangan tersebut.

Kali ini acara diadakan di rumah eyang. Disamping lebih luas rumahnya, di rumah ini pun banyak pekerja yang akan siap sedia menata rumah dan dekorasi. Namun pertimbangan lebih luas inilah yang membuat Grahita mau mengadakan acara tunangannya di rumah ini.

Sedangkan Marcella, perempuan itu datang bersama Sergei kemarin. Kedua adik tiri Grahita tak ikut karena masih sekolah. Awalnya Marcella sangat canggung harus kembali ke rumah itu. Namun demi sang putri, ia rela menguatkan hatinya lagi. Lagipula ia sudah tak ada lagi hubungan dengan Sadewa.

"Yuk keluar, Ta," ajak Lili. Acara sudah dimulai dengan sambutan dari perwakilan keluarga. Acara kali ini hanya mengundang kerabat terdekat saja.

Grahita bangkit dari duduknya. Gadis itu lalu diapit oleh Lili dan Yessy yang baru datang dari luar. Pengantin baru itu akhirnya menunda bulan madu hingga acara pertunangan Grahita ini terlaksana.

Perlahan mereka menuruni tangga rumah. Semua mata tertuju pada Grahita yang tampak cantik dengan balutan kebaya modern. Sedangkan Gandhi mengenakan batik yang sama dengan jarik yang dipakai oleh Grahita.

Pandangan mereka bertemu. Grahita lalu duduk di tengah, yang langsung menghadap Gandhi yang juga diapit oleh abah dan umi. Umi terlihat anggun dengan gamis berwarna gold. Wanita itu tersenyum teduh pada Grahita.

Sama seperti Gandhi, Grahita juga duduk dengan diapit oleh Marcella dan Sadewa. Walaupun sudah berpisah, namun status mereka tetap sama, yaitu sebagai orang tua Grahita.

Marcella tersenyum dan mengangguk sopan pada calon besannya itu. Baru pertama kali mereka bertemu di acara sakral ini.

Sementara itu, Sadewa merasakan hal yang campur aduk. Antara percaya tak percaya, anak gadisnya yang ia--, ah sudahlah, jika menyebutkan hal itu akan menambah rasa bersalahnya lagi yang tak pernah berujung. Sadewa tak percaya bahwa Grahita sudah sebesar ini dan hendak menikah dengan pria yang dicintainya. Pria yang mampu membuat dirinya yakin jika Grahita akan bahagia nantinya.

Saat melihat Marcella, Sadewa kembali mengingat kelakuan bejat pada perempuan cantik itu. Marcella masih terlihat cantik, bahkan diusia yang tak muda lagi. Selain itu, Marcella tampak bahagia dengan kehidupannya sekarang. Begitu yang Sadewa tangkap ketika melihat Marcella yang tertawa bersama dengan suaminya tanpa beban dan lepas begitu saja.

Ada sedikit rasa nyeri melihat itu semua. Kalau waktu boleh diputar, Sadewa tak akan pernah mau melakukan itu semua. Namun nasi sudah menjadi bubur. Semuanya sudah terjadi dan tak ada untungnya meratapi masa lalu yang menyedihkan itu.

Rangkaian acara terus berjalan. Kini tiba saatnya Gandhi berbicara di depan banyak orang. Dengan yakinnya, laki-laki itu meminta izin untuk mempersunting Grahita menjadi istrinya.

"Terima kasih atas kesempatan yang telah diberikan kepada saya. Hari ini adalah hari yang bahagia, terutama untuk saya. Karena hari ini saya bisa melihat masa depan saya yang berada tepat di depan saya. Banyak doa yang telah saya panjatkan kepada Tuhan. Dan kini tibalah saatnya saya mengutarakan niat untuk mengajak beribadah bersama selama seumur hidup dalam lingkup rumah tangga yang sakinah mawwadah warrahmah,"

"Grahita Sembrani Pramonoadmodjo, dengan ini saya Gandhi Bahuwirya Hadinata mempersunting kamu di depan keluarga besar kita. Apakah kamu menerima lamaranku ini?"

Suara sorak keluarga yang hadir membuat Grahita tersenyum malu. Gadis itu menunduk sebentar, lalu mengangkat wajahnya. Ekor matanya melihat kehebohan Lili dan Yessy yang memintanya untuk segera menjawab.

Semua orang tampak menunggu Grahita berbicara, begitu juga Gandhi yang tampak serius menatap Grahita.

Dengan menarik napasnya panjang, Grahita mulai berbicara. "Bismillahirrahmanirrahim, saya Grahita Sembrani Pramonoadmodjo, menerima pinangan dari Gandhi Bahuwirya Hadinata."

Ucapan Grahita barusan membuat mereka semua bertepuk tangan dan mengucap syukur. Satu rangkaian acara sudah terlalui, kini ganti dengan acara penyematan cincin. Mereka semua tampak berdiri.

Umi tersenyum dan berjalan menuju ke arah Grahita. Umi lalu mengambil tangan kiri Grahita dan memasangkan cincin itu jari manis gadis itu. Wanita itu tersenyum melihat cincin yang melingkar manis di jari manis sang calon menantu.

"Cantik," ujar umi dengan mengelus pelan jari Grahita yang tersemat cincin indah itu. Kemudian umi bergerak memeluk Grahita dan mencium kedua pipi sang calon menantu. Setelah itu, Grahita langsung mencium punggung tangan kanan umi dengan takzim.

"Terima kasih, Umi," bisik Grahita. Umi tersenyum dan mengangguk.

Selanjutnya adalah sesi foto bersama. Pertama-tama, Grahita diambil gambar seorang diri dengan beberapa gaya. Lalu bersama Gandhi.

"Jangan deket-deket, Mas. Bukan mahram." Bukan Asma, tetapi Ghania yang tersenyum jahil bersama dengan Asma yang mendukung aksi jahil kakaknya itu. Watak kedua adik Gandhi memang sebelas duabelas untuk urusan jahil dan julid.

"Alhamdulillah, one step closer Sis menuju halal. Semangat pengajuan dan semangat berpusing ria," ujar Lili dengan cengirannya. Grahita hanya memberikan tatapan malas.

"Lo dulu kali yang kawin," sahut Grahita kemudian.

"Grahita sayang, bukan kawin dulu tapi nikah. Nggak boleh dong kawin dulu, belum sah."

Grahita memutar bola matanya malas. Niatnya sarkas malah ia yang dipancing oleh Lili.

"Untuk kali ini, gue ngalah deh. Hari ini, hari bahagia lo sih. Sekali lagi, congratulations ya, Sis. Be happy and a reason will come along," lanjut gadis itu.

"Aamiin. Thank you, Lili."

Gandhi lalu menghampiri mereka. Lili memilih menyingkir.

"Umi yang pilih cincinnya sendiri. Gimana? Pas 'kan?"

Grahita mengangguk. "Iya pas. Aku kira kegedean atau kekecilan karena kamu cuma tanya nomornya. Kan nggak setiap brand cincin itu sama."

Gandhi terkekeh. "Nggak tahu, umi bilangnya sih feeling. Jarimu mudah ditebak sama umi."

Grahita tersenyum. "Umi memang moodbooster banget. Terima kasih ya, Ndi."

"Buat apa? Aku nggak bawa sesuatu yang istimewa loh."

Grahita menggelengkan kepalanya. "Bukan itu, aku mau mengucapkan terima kasih karena sudah sampai di titik ini. Kamu mengajarkan banyak hal, salah satunya ialah kasih sayang itu tak terbatas. Ikhlas adalah menerima dan berdamai adalah obatnya."

*****

Benar kata Lili, tak mudah untuk melewati step by step yang sangat penting menuju jenjang yang lebih serius. Baginya sekarang, menikah bukan hanya datang ke KUA saja, namun ada segenap proses yang panjang dan melelahkan. Tak jarang rasanya ingin menyerah ketika semuanya dirasa kurang dan tak sempurna.

Begitu pun dengan seorang gadis yang mengenakan seragam berwarna hijau pupus tanpa lencana itu. Sedari tadi hanya bisa terdiam menatap jalanan ibu kota yang mulai lengang di siang hari ini. Lengangnya Jakarta tak ubahnya seperti jalanan yang ramai lancar.

"Last day, setelah ini nggak ada lagi yang namanya revisi-revisian."

Pangkat dan jabatan yang lumayan tinggi tak menjamin bisa lulus begitu saja. Semuanya tetap sama di mata instansi. Setiap step harus terlalui, jika salah ya harus dibetulkan.

Grahita berusaha tersenyum. Bukan hanya mencemaskan masalah itu saja, tetapi rasanya waktu bergulir begitu cepat hingga kadang dirinya merasa tak diberi kesempatan untuk menghela napas barang sebentar.

Gandhi tahu apa yang dirasakan gadisnya itu. Hal ini lumrah dirasakan oleh pasangan yang sedang pengajuan. Tak jarang mereka harus memperbaiki dan mengeluh adalah bumbunya, seperti paket yang akan terus berputar di rotasi yang sama.

"Ta, kamu udah menentukan vendor, kan?" tanya Gandhi yang berusaha mengurai pikiran ruwet Grahita. Ia tahu jika gadis itu diam, artinya sedang berpikir dalam. Apalagi ekspresi tegang yang begitu tampak di wajahnya.

"Udah kok, aku sekalian pakai vendor yang sama dengan mbak Yessy. Beberapa udah aku hubungi."

Gandhi mengangguk. Kemarin mereka sudah menentukan beberapa vendor pernikahan yang cocok dengan konsepan mereka. Rencananya, ketika akad nikah, mereka akan menggunakan adat Jawa dengan Grahita mengenakan putri Solo. Setelah itu, acara resepsi akan diarahkan ke tema vintage, favorit Grahita.

"Ngunduh Mantunya jadi ya, Ndi?"

Pria itu mengangguk. "Kata umi persiapan sudah 50 persen."

Grahita menghembuskan napasnya pelan. Pihak Gandhi juga tak mau ketinggalan. Mereka akan menjalani pesta kedua di Surakarta dengan agenda Ngunduh Mantu yang mengenakan adat Jawa Solo basahan. Hal itulah yang mendasari Grahita memilih memakai putri Solo saat akad
Namun sebelumnya, Grahita malah tertarik dengan adat Minang. Akan tetapi, ia tak ada darah Minang sehingga kembali lagi, adat Jawa-lah yang menjadi pilihannya.

"Kadang aku berpikir, menjadi orang Asia itu mahal biayanya. Setiap acara penting, pasti ada ritualnya. Begitu pula menjadi orang Jawa. Walaupun aku termasuk orang Jawa, tetapi konsep adatnya tak begitu aku pahami dengan baik. Aku apatis dengan menganggap bahwa semuanya terlalu ribet. Akan tetapi setelah aku berpikir, adat adalah manifestasi dari kekayaannya leluhur yang diturunkan kepada kita. Adat adalah bagian yang melekat sempurna bagi masyarakat, terutama yang hidup di Asia Tenggara. Tanpa adat, bagaikan rumah tanpa ornamen."

"Tapi kita bisa saja meninggalkan adat itu sendiri, melebur dengan konsep globalisasi yang semakin beragam dan bebas untuk memilih. Namun tampak tak arif bila memiliki persepsi seperti itu," sahut Gandhi dengan argumentasinya.

Grahita mengangguk setuju. Masyarakat yang berkebudayaan, tak akan lepas dengan yang namanya budaya dan elemennya. Apalagi yang sudah memiliki reputasi dan menurunkan kebiasaan pada anak cucu mereka.

"Ini yang menjadi alasanmu ingin akad nikah sederhana?" tanya Gandhi kemudian.

Grahita mengangguk. "Namun rasanya tak bijaksana bila aku meninggalkan identitasku. Selamanya manusia akan memiliki identitas. Entah disemai dengan baik atau melupakannya begitu saja. Semua itu pilihan. Tapi aku ingin menjadi manusia yang nggak abai."

Satu hal lagi, dibalik sikap Grahita yang cuek, gadis itu tipe analis yang cerdas dan mempunyai kebijaksanaan yang baik. Pengetahuannya juga begitu luas hingga mudah diajak berbicara--berlaku yang sudah akrab. Memang pada orang baru, Grahita hanya akan berbicara seperlunya saja. Baginya, mengeluarkan statment pada orang yang tak dikenal hanyalah sia-sia. Iya kalau diterima dengan baik? Kalau tidak? Makan hati yang ada.

Tak terasa mereka sampai di kesatuan Gandhi. Grahita sudah beberapa kali datang kemari untuk menyelesaikan berkas-berkasnya.

Mereka berjalan berdampingan. Beberapa anggota menyapa Gandhi dengan hormat. Mereka berdua langsung memasuki kantor dan menunggu komandan Batalyonnya yang masih ada acara. Mereka menunggu sekitar 15 menit. Akhirnya mereka dipersilahkan masuk ke dalam ruangan yang bertulisan Komandan Batalyon.

Gandhi langsung memberikan hormat kepada bapak Komandan Batalyon. Setelah itu, mereka dipersilahkan duduk. Mereka berdua lantas mengucapkan terima kasih.

"Kapten Gandhi."

"Siap."

"Akhirnya kapalnya dapat berlayar, ya?" ujar Danyon dengan tersenyum simpul.

"Siap. Alhamdulillah, Ndan."

Lalu bapak Danyon tersebut membuka lembaran berkas pengajuan yang mereka bawa. Tampaknya bapak Danyon tersebut tertarik dengan berkas Grahita terlebih dahulu.

"Grahita Sembrani Pramonoadmodjo, hobi memasak dan belajar banyak bahasa."

"Sudah berapa banyak bahasa yang kamu kuasai?"

"Siap, izin menjawab Bapak, 5 bahasa."

Bapak Danyon yang bernama lengkap Letkol Inf. Muhammad Hakim Fauzi itu agak kaget dengan pengakuan calon istri Gandhi. Namun setelah itu, beliau tersenyum simpul.

"Coba sebutkan apa saja?"

"Siap, izin menjawab Bapak, pertama bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu dan bahasa yang saya cintai. Kemudian ada bahasa Belanda sebagai bahasa nenek moyang saya. Bahasa Perancis, bahasa Jerman, dan bahasa Spanyol. Bahasa Spanyol baru saya pelajari beberapa bulan ini sehingga kurang begitu mahir."

"Wah hebat sekali. Nanti bisa jadi motivasi banyak orang untuk belajar, terutama untuk kemajuan SDM Persit. Lebih bagus lagi nggak hanya lima bahasa itu saja yang dipelajari. Bisa dikembangkan lagi, nanti bisa belajar bahasa Arab, China, dan lain-lain."

Grahita tersenyum sopan. "Siap, Bapak. Terima kasih."

Wajah ramah bapak Danyon cukup membuat mereka lega. Kemudian pertanyaan serta obrolan terus bergulir. Tak lupa wejangan diberikan selama sesi ini. Hingga akhirnya tak terasa sebuah kalimat akhir yang menciptakan kebahagiaan terlontar. Kalimat dimana mereka telah melewati semua ujian yang ada dan bisa melanjutkan proses pengajuan pernikahan di KUA. Sebuah ucapan selamat bahwa mereka 'lulus'.

Bagi mereka, ini semua tak mudah. Utamanya Grahita. Gadis itu harus belajar banyak. Bukan hanya menghafal tetapi melekatkan baik-baik setiap pelajaran yang harus ia pelajari. Sampai menyanyi mars dan hymne yang bukan keahliannya harus ia lakoni. Beberapa orang yang mengatakan tak apa suaranya jelek asalkan tak fals, namun nyatanya tak mudah. Memang ia tak ditakdirkan memiliki suara yang merdu. Namun jika disuruh batle di dapur, ia akan maju paling depan. Akan tetapi tes semacam itu tak ada. Alhasil, ia harus belajar dan belajar lagi.

"Gimana? Lega apa masih ganjel?" tanya Gandhi saat dirinya mengantar kembali Grahita pulang setelah pengajuan selesai.

Grahita menghembuskan napasnya pelan. Lalu tersenyum. "Lega bercampur deg-degan. Hal ini pertanda jika hari pernikahan kita semakin dekat. Hari dimana aku bukan lagi Grahita yang bebas. Bukan lagi Grahita yang serampangan dan bebas mengucapkan kata-kata tanpa filter. Segala ucapan dan tindak-tanduk harus aku tata dengan baik. Bukan hanya membawa reputasi suami saja, tetapi juga instansi. Namun yang terpenting adalah diri sendiri. Pepatah Jawa mengatakan, ajining diri soko lathi."

Gandhi tersenyum. Grahita yang blak-blakan kini harus diatur pengaturan berbicaranya. Gadis itu mudah mengeluarkan kata-kata yang tak jarang menembus ulu hati kini harus bisa mengontrolnya.

"Aku emang bar-bar, tetapi aku usahakan lebih baik lagi. Nggak mudah emang. Tetapi buat kebaikan semua juga."

"Tapi aku lebih suka Grahita yang bar-bar. Namun cukup aku yang tahu aja," sahut Gandhi tenang. Hal ini membuat Grahita menatap cepat Gandhi yang terlihat berwibawa dengan menggunakan PDH.

"Aku serius, Ndi. Masa aku tetep Grahita yang kayak dulu?"

"Aku juga serius. Kan aku bilang cukup aku yang tahu. Setelah di luar, kamu bisa jadi Grahita versi terbaikmu. Grahita yang mampu menjaga diri dan kehormatannya."

"Satunya hal lagi, aku sangat bahagia dengan Grahita yang sekarang. Grahita yang murah senyum, Grahita yang nggak lagi pendendam, dan Grahita yang sudah berdamai. Lalu apa lagi yang aku minta ke kamu selain kamu bahagia dengan versimu?"

.
.
.

Radinka : Telah Menyelesaikan

Continue Reading

You'll Also Like

1M 54.5K 59
[FOLLOW DULU SEBELUM BACA!] "DOKTER SONGONG!!!!" teriak Starleen dengan nada yang sangat nyaring. "Apa kamu bilang?!" tanya Kenan sambil melotot. "SO...
15.7M 494K 55
Sudah di terbitkan oleh Novelindo Publishing!! Berawal dari penjualannya oleh tantenya sendiri. Racel harus terlibat dalam dunia gelap milik Axel. la...
7.2M 660K 76
Dia Kayla Lavanya Ainsley, sosok gadis remaja berusia 18 tahun yang harus terpaksa menikah dengan Rakadenza Zayn Haiden sang saudara tiri akibat wasi...
15.7M 1.5M 64
[PART MASIH LENGKAP] [BELUM DI REVISI] Ara tidak memiliki pilihan lain selain menerima perjodohan ini. Ia juga membutuhkan uang untuk menghidupi bund...