Sean mendelik tajam saat melihat tatapan Don yang berubah dingin saat Elisha sudah pergi dari sini. Aneh sekali, wajahnya guguk Elisha ini kayak mau ngajak tawuran.
"Hanya ada kita berdua ..." Lelaki bernama Don itu tiba-tiba berbicara dengan dingin.
"Lo kira gue nggak bisa ngitung?" balas Sean sinis. Lalu ia berjalan mendahului Don itu.
Don menghela nafas. "Sayangnya lo salah jalan."
Sean sontak memberhentikan langkahnya dengan alis yang tertaut. Pemuda itu langsung membalikkan badan sambil mendengus. "Wah, dibelakang Elisha lo bicara non formal nih ceritanya?"
Don tidak menjawab, ia hanya menatap Sean dengan tatapan datarnya. Sean tidak ambil pusing, ia lalu membiarkan Don berjalan terlebih dahulu.
"Nggak ada jalan samping sampai penyusup kayak kita harus masuk lewat gerbang utama?" gumamnya kepada diri sendiri.
"Tunggu dulu, gue yakin Elisha bakal melakukan sesuatu. Sebelum masuk, kita tunggu lima menit dulu," interupsi Sean.
Sean menatap sekeliling, wilayah disini tampak asri. Seperti ada sebuah istana ditengah-tengah hutan. Ya tidak seperti itu juga sih, masih ada tetangga tetapi entah kenapa jaraknya berjauhan.
Melihat itu, Sean jadi teringat kediaman Elisha yang sepi dan senyap. Suasananya sama sekali.
Setelah menunggu beberapa menit, Sean dan Don berjalan menuju gerbang yang tertutup itu. Halaman rumah ini tampak luas dan Sean bisa melihat banyak penjaga yang mengawasi dirinya dan Don tanpa melakukan apa-apa.
Sean jadi heran bagaimana Elisha bisa membuat mereka semua bungkam seperti ini. Orang-orang terlatih seperti mereka pasti tidak mudah untuk disogok.
Mereka masih sayang nyawa untuk tidak mengkhianati keluarga monster ini. Jadi, apa yang membuat Elisha bisa melakukan ini dalam waktu sesingkat ini?
Ini sungguh mencurigakan. Sean tidak melihat satupun mobil kecuali mobil Elisha disini. Bisa dipastikan, hanya Elisha saja yang diundang.
Awalnya, Sean berpikir ini pesta kecil yang tamunya terbatas. Tetapi, melihat hanya mobil Elisha saja yang terparkir di halaman ini membuat keanehan itu semakin nyata.
Don yang merasa tatapan Sean berubah aneh langsung berdehem. "Lo mau mati ketangkap disini?"
Sean sedikit tersentak walaupun tidak kentara. Memilih untuk tidak menjawab Don, pemuda itu lalu berjalan kearah sisi kanan rumah.
Don mengawasi dari belakang sambil berjalan dengan pelan. Ia melihat keadaan yang mungkin bisa saja membahayakan mereka.
Berjalan lebih lanjut, Sean menatap pintu kayu dihadapannya. Pemuda itu lalu membukanya secara perlahan. Ruangan gelap terlihat dan membuat Sean meneguk ludahnya.
Suasana ini mengingatkan dirinya kepada malam pembantaian tahun 2013 silam. Walaupun ini kediaman yang berbeda, tetapi masih satu keluarga, 'bukan?
Sean membenci apa yang menyangkut dengan keluarga Alexander.
Don menatap sekeliling, ia jadi ingat bahwa seharusnya disini ada sebuah lukisan. Lelaki itu dengan tangkas mengeluarkan ponsel dan menghidupkan senter.
Don mengarahkan ponsel itu ke dinding dan langit-langit tempat itu lalu menemukan sebuah lukisan besar dengan gambar seorang wanita cantik berambut hitam.
Don mengetahui siapa orang ini. Wanita di lukisan itu adalah Mira saat masih muda. Nyonya besar keluarga ini. Sean menatap gambar itu sejenak sebelum kembali berjalan di lorong sepi dan gelap ini.
"Disebelah kiri ada jalan, kita di suruh ke Utara," ujar Don pelan.
Sean berjalan sedikit demi sedikit sebelum melihat ke kiri. Saat ia berbelok, Sean melihat ada jalan ke kanan dan ke kiri.
"Sebelum ke kanan, gimana kalau ke kiri dulu?" Sean menatap wajah Don yang terlihat samar-samar.
Don mendengus. "Gue ke kanan terlebih dahulu, disana ada gudang dan perpustakaan."
Sean mengangguk mengiyakan lalu mengambil ponsel untuk menerangi jalannya. Suara langkah kakinya terdengar begitu nyaring di tempat yang sunyi ini.
Sepanjang berjalan, Sean tidak menemukan apa-apa selain lorong kosong yang berdebu. Tampaknya tempat ini tidak pernah dibersihkan lagi.
Sean menghela nafas, tidak ada sesuatu yang mencurigakan hingga ia bertemu dengan ujung ruangan yang berisi beberapa kursi bekas dan lemari kayu bekas.
Sean menyenteri setiap sudut dengan teliti. Pemuda itu lalu mulai menjauhkan benda-benda yang berserak berharap ada sesuatu yang penting.
Tidak ada ...
Pemuda itu kembali menghela nafas. "Udah jauh-jauh juga, mending ke kanan aja tadi," keluhnya sedikit kesal.
Sean yang awalnya berjongkok lalu berdiri, namun ia malah tersandung kaki kursi mengakibatkan suara nyaring terdengar.
BRAK
Sean yang tidak bisa menjaga keseimbangan terjatuh begitu saja. Pemuda itu mengernyitkan dahinya heran saat dinding yang menumpu berat badannya bergerak.
Terkejut, Sean langsung berdiri dan mengambil ponselnya yang terjatuh. Ia lalu menyenteri dinding itu dengan cepat dan menemukan sebuah pintu yang terbuka.
"Eh?"
Pemuda itu menatap sekeliling, semoga saja tidak ada yang mendengar suara nyaring tadi. Setelah itu, ia lalu berjalan melewati pintu yang tidak memiliki kenop itu.
Ah, Sean bahkan tidak sadar kalau ada pintu disana. Pemuda itu menatap sekeliling, hidungnya tiba-tiba merasakan sesuatu yang tidak nyaman saat debu-debu yang berterbangan itu memasuki Indera penciumannya.
"Ini perpustakaan? Bukannya ada di Utara, ya?" tanyanya kepada diri sendiri saat mengingat apa yang dikatakan Don sebelumnya.
Sean bisa melihat tumpukan buku berdebu di ruangan yang tidak terlalu besar ini. Pemuda itu menutupi hidungnya karena tidak tahan dengan debu-debu yang ada.
Tengkuk Sean rasanya mendingin, hawa yang ada tampak tidak mengenakkan baginya.
Sean mengambil tumpukan buku itu satu persatu. Isinya hanya tentang buku-buku tua usang. Pemuda itu lagi-lagi mengambil berbagai tumpukan buku yang tidak tersusun rapi.
Ia lalu membukanya dengan cepat sambil membaca tulisan-tulisan yang mulai memudar itu. Sean mendengus, ia tidak mendapatkan apa-apa.
Pemuda itu lalu melihat sebuah meja dan kursi yang tampak kotor tetapi ada berbagai dokumen dan buku diatasnya.
"Nggak heran ada buku ginian, mereka pebisnis dan ada juga politisi," gumam Sean.
Sean menghela nafas panjang, ia lalu membuka laci-laci yang gagangnya mulai berkarat. Pemuda itu menemukan sebuah buku tebal usang bersampul coklat batang.
Silsilah Keluarga Murni Alexander
"Silsilah keluarga?"
Sean langsung membukanya lalu menemukan berbagai nama beserta foto hitam putih yang sangat banyak.
"Cih, keluarga iblis dari generasi ke generasi!" umpatnya tak tertahankan.
Merasa kalau buku ini sangat tebal, Sean langsung melihat lembaran terakhir dari buku yang kertasnya menguning itu.
"Nathan, terus anaknya bernama Edison, Fery, dan Loren."
"Istri Edison bernama ... Erika?" Sean membelalakkan matanya sambil menatap foto wanita bernama Erika itu. Ini ... bukannya wanita yang mendatangi dirinya di sekolah?
Wanita yang menurut Sean tidak asing yang memberinya gantungan kunci berbandul rantai itu?
Sialan! Berarti sejak dulu pergerakannya sudah diintai. Pembunuh orangtuanya terang-terangan mendatangi Sean saat berada di lingkungan sekolah.
Dengan kemarahan dan ketakutan yang bercampur aduk, Sean lalu mencari nama gadis yang telah meninggal 7 tahun yang lalu, Elena, dibawah pasangan Edison dan Erika itu.
Tetapi, bukannya mendapatkan itu, Sean malah mendapati nama seseorang yang sangat familiar. Bola mata Sean membesar dengan alis yang tertaut.
Ia menyinari buku itu lagi, tetapi ia tidak salah membacanya. Nama itu begitu mirip dengan seseorang yang akhir-akhir ini selalu bersamanya.
Elisha Laudya Alexander
"Ini ...?"
***
Elisha mendesah frustasi. Apa yang ia dapatkan hari ini sangat mengejutkan dirinya. Tidak hanya 1, banyak ... Elisha sendiri ... baru mengetahui bahwa keluarga ini memiliki banyak rahasia.
"Arghhh!"
Elisha kesal, Elisha sedih, Elisha kaget. Elisha rasanya kebingungan setengah mati dengan apa yang ia lihat. Kepalanya mendadak berdenyut.
"Bahkan kakek udah tahu tentang Erick. Gue ... gue terlalu meremehkan mereka hingga nggak sadar gue sendiri yang terperangkap," lirih Elisha getir.
Elisha merasa apa yang ia lakukan dengan segala kebebasan ini seperti sia-sia. Bagaimanapun dirinya kabur menghindar ...
... takdirnya memang akan selalu menjadi penjahat.
Dimata semua orang tanpa terkecuali, Elisha adalah malaikat maut. Bahkan ... tak lama lagi, Sean pun akan menatapnya seperti itu.
Merasa sudah terlalu lama membuang waktu dengan menghela nafas dan menggeram, Elisha kembali mengambil video-video dan file yang sangat ia perlukan.
Elisha membuka laci kecil dan melihat banyak sekali dokumen yang sama persis dengan beberapa file yang ia lihat tadi.
Kembali menghela nafas lelah, Elisha mendekati sebuah lemari kayu. Dibukanya secara perlahan, Elisha bisa melihat beberapa foto keluarga mereka.
Dimana, ada Nathan, Mira, Edison, Erika, dan Elisha. Di mana dirinya? Dirinya dikurung Elisha yang asli ditempat yang sama.
Memangnya anak haram kayak dirinya ditempatkan dimana lagi? Masih untung dirinya dibesarkan layaknya anjing di rumah itu, dibandingkan dengan mamanya yang meninggalkan dirinya di rumah itu sendirian.
Elisha terkekeh sinis, "Senyum lo terlalu memuakkan, Elly."
Ia kembali meletakkan bingkai foto itu ke tempatnya. Namun, sebuah buku usang menarik perhatiannya.
Silsilah Keluarga Murni Alexander
"Murni? Anak luar nikah kayak gue bisa apa?" Elisha membuka buku itu perlahan-lahan dan tidak menemukan nama maupun fotonya yang terpajang.
"Pas gue lahir, gue diberi doa atau kutukan sih? Kesialan mulu yang datang."
Bagi Elisha, mengutuki takdir memang tidak ada gunanya. Hanya saja, dirinya juga manusia yang selalu mempertanyakan apa yang ia dapatkan ini.
Lelah, jujur Elisha sudah lelah.
Duk ... duk ... duk
Elisha mendongak saat suara langkah kaki terdengar begitu jelas di ruangan yang sepi itu. Dengan cepat, ia langsung berdiri dan mematikan komputer.
Elisha melirik tumpukan dokumen yang berhamburan karena ulahnya, dengan cepat, gadis itu langsung mengumpulkannya.
Elisha lalu menatap sekeliling, ia langsung saja memasuki lemari dan menutupnya secara perlahan. Jantung Elisha berdebar karena merasa panik.
Semoga saja kakek tua itu tidak menyadari perbuatan Elisha ini. Ya ... walaupun ia menyadari itu, setidaknya saat Elisha sudah keluar dari rumah terkutuk ini demi keamanan dirinya.
Elisha menutup hidungnya menahan debu-debu yang berterbangan saat ia memasuki ruangan sempit ini.
Suara kenop pintu terbuka membuat Elisha semakin waspada. Gadis itu menahan tubuhnya yang kaku sambil memeluk dokumen-dokumen.
"Dimana sih, anjing!?"
Umpatan penuh luapan kekesalan itu membuat Elisha melemaskan tubuhnya yang menegang. Ia tersenyum getir lalu melirik kertas dokumen itu secara perlahan.
Elisha mengulum senyum lalu ia membuka lemari itu secara perlahan. Ditatapnya seorang lelaki yang tampak mencari sesuatu tanpa menyadari pergerakan Elisha.
Elisha mengangkat stopmap itu dengan jemari lentiknya. "Maksud lo ini, Don? Ah, maksud gue ... kakak, Don Alexander."
_
Maaf untuk kesalahan yang ada di cerita ini. Juga, jangan lupa rekomendasikan cerita ini kepada teman-teman kalian, ya!