2550 words🤩 vote yaaaa!!!🤍
Begitu mendengar kalimat Safa tadi, Izora langsung bergegas pulang. Mood untuk me time langsung hilang. Hatinya memanas dan emosinya sudah di puncak ubun-ubun. Dia marah pada Azra yang membohonginya dan marah karena Azra egois, laki-laki itu hanya ingin mewujudkan keinginannya tapi tidak memikirkan keinginan Izora yang tidak ingin ditinggalkan.
Setelah membuka sepatunya, Izora langsung masuk ke dalam rumah. Bersiap mengeluarkan seluruh umpatan pada Azra yang ternyata, sedang duduk di karpet sementara Meysi duduk di sofa. Azra tengah dikuncir dengan karet warna-warni dan di rambutnya kini, sudah banyak jepit bergambar milik sang putri.
"Eh, itu Bunda udah pulang Mey, sini, Ra." Azra menggerakan tangannya menyuruh Izora mendekat. Wajah laki-laki itu menatapnya melas, dia butuh bantuan Izora agar bisa terlepas dari salon Meysi yang sudah hampir satu jam ini memainkan rambutnya.
Amarah Izora yang tadi sudah menggebu-gebu hilang begitu saja dan malah berganti dengan tawa melihat wajah melas Azra. "Mey, Ayahnya diapain?"
"Rambut Ayah tidak bagus iwh tidak long, Bunda. Akoh ingin pinjam rambut Bunda," jawab Meysi tidak nyambung tapi Izora tetap mengangguk dan melepaskan ikatan rambutnya, membiarkan Meysi melakukan apapun pada rambut panjangnya.
Hembusan nafas Azra terdengar, lega. Sejak tadi rambutnya jadi tempat penyaluran bakat sang anak. Azra tidak berani protes karena jika diprotes sekali saja, Meysi akan menangis. "Ke mall ngapain aja, Ra?"
Izora yang sedang ngaca di kaca kecil milik Meysi melirik Azra. "Jajan sama keliling-keliling aja. Oh iya, tadi aku ketemu Adek terus dia nitipin dompet kamu."
"Oh, iya. Mana?" Izora menunjuk tasnya dan Azra bergerak untuk membukanya tapi tertahan saat Izora meneruskan kalimat selanjutnya.
"Kata Adek kamu ke rumah Ayah buat ngobrolin tempat tinggal di Jepang nanti." Nada yang Izora ucapkan tidak tinggi, bahkan terdengar santai dan justru itu membuat Azra gelagapan. "Kamu bohongin aku, Naka?"
Azra langsung mematung.
"Jawab, Naka."
"Iya, aku bohongin kamu," jawab Azra pada akhirnya. Dia melirik Izora yang tengah menatapnya sambil mengangguk-anggukan kepala.
"Bagus, keren." Izora mengacungkan jari jempolnya. "Diem-diem daftar terus nanti diem-diem pergi. Mau kamu gitu, Naka?"
"Nggak, gak akan gitu," bantahnya langsung. "Niatnya nanti kalau udah fiks keterima bakal aku omongin sama kamu."
"Terus maksain pergi tanpa mikirin aku sama Mey?" Izora tetap bicara dengan tenang, alisnya terangkat satu.
"Aku mikirin kalian juga. Tapi, aku beneran gak bisa nyerah gitu aja, Ra. Kuliah di Tokyo itu beneran cita-cita aku," terangnya. "Aku juga udah daftar di kampus Indo, kok. Tapi yang di Jepang, aku beneran gak bisa kalau gak nyoba sama sekali."
Izora mengalihkan tatapannya pada kaca yang tadi dia pegang, memperhatikan hasil tangan Meysi di rambutnya. "Mbak Meysi ini udah bagus, kita lanjutin besok, ya. Aku ngantuk banget, kita ke kamar, yuk?" Tentu saja itu adalah alasan, Izora sudah malas menanggapi Azra sekarang.
Meysi ikut memperhatikan rambut Izora, lalu mengangguk. "Gendong." Tangannya terulur.
"Ra, jangan marah lagi dong." Azra mengekor di belakang. Sampai Izora duduk di kursi riasnya dan menghapus makeup. Azra mencolek-colek dagunya tapi tidak Izora tanggapi. "Aku udah ngomong juga sama Mey, terus kata Mey gak apa-apa. Ya, kan, Mey?"

KAMU SEDANG MEMBACA
GARIS BATAS [TAMAT]
RomanceBukan dunia atau tuhan yang tidak adil. Tapi, pilihan hidupnya yang salah. Tapi, tidak! Bukan hanya dia yang salah. Manusia yang tengah berdiri di depan sana dengan bahagia dan percaya diri itu juga andil dalam membuat masalah ini. Bedanya, dia haru...