Satu tahun berlalu, kesibukan Azra di semester akhir ini semakin bertambah. Dia sudah selesai magang di Kementrian Hukum dan Ham seperti keinginannya waktu itu, freelance di Upworknya tetap dia lakukan untuk menunjang kebutuhan hidup keluarga kecilnya, mengajar di kelas sebagai asisten dosen setelah menyesuaikan jadwalnya, menyusun laporan dan akhir-akhir ini dia tengah disibukan dengan pengajuan proposal.
Setelah berjuang 4 bulan kurang lebih, akhirnya hari ini dia bisa keluar dari ruangan tempatnya sidang skripsi, perasaan lega itu memenuhi hatinya. Di depan gedung fakultas, Azra disambut oleh teman-temannya.
"Anjay hakim masa depan keren banget!" Nino mengajaknya berpelukan ala laki-laki.
"Semoga kalian yang gak pinter-pinter banget ini cepet nyusul!" balasan tengil itu, membuat teman-temannya mendengus. Sombong amat setan!
Beberapa banner bertuliskan nama lengkapnya dan gelar yang masih ditutupi dengan lakban hitam, Azra lepaskan perlahan.
Azraqi Naka Naradhiptha, S.H.
Akhirnya, gelar yang dia impi-impikan itu sudah terpatri di belakang namanya. Oh ... Dreams come true.
Dia mendapat berbagai macam bucket dari teman-teman sekelasnya, anak-anak HIMA juga anak-anak BEM yang turut hadir di sana. Lalu, Azra salfok dengan bucket yang Favian berikan padanya yaitu bucket rokok. Melihat rokok yang sejak lama tidak dia hisap, membuat Azra menghela nafas. Dia merindukan perempuan yang menjadi alasannya berhenti merokok. Di hari yang menurutnya membahagiakan ini, harusnya Izora datang. Terlepas dari masalah apapun yang tengah terjadi di antara keduanya.
"Kalau kamu mau ninggalin aku dan Mey karena kamu rasa kita bakal baik-baik aja, yaudah. Aku bakal pergi sekarang dan kamu harus tau gimana rasanya ditinggalin!"
Sejak empat hari lalu, Izora pergi dari rumah tanpa bisa Azra cegah.
Berawal dari Azra yang meminta izin untuk melanjutkan kuliah di Jepang seperti cita-citanya dulu, yang dimana Izora memang sudah mengetahuinya dari jaman mereka pacaran di SMP. Sebelum menikah juga, Izora pernah berkata bahwa Azra harus melanjutkan S2 sesuai rencananya. Jadi, Azra kira Izora akan langsung mengizinkannya, tapi ternyata tidak, Izora malah marah padanya.
"Kamu berani ninggalin aku dan Mey? Kamu tega?" tanya Izora dengan tatapan sinisnya.
"Kamu udah tau kalau planning aku dari dulu itu lanjutin kuliah di Jepang. Kamu juga nyuruh aku buat cepet lulus dan lanjutin kuliah, kan?"
"Maksud aku ya di sini aja, Naka."
"Kamu gak bilang gitu."
"Ya ini sekarang bilang. Dulu itu gak apa-apa kalau kamu mau ke Jepang, toh kita udah lulus S1 dan kalau mau, aku bisa ikut kamu ke sana. Tapi sekarang, keadaannya beda, kan? Aku masih semester empat, dan sekarang kita udah nikah, udah punya Mey. Aku gak mau ditinggalin gitu aja."
Azra menghela nafas. "Kenapa jadi gini sih, Ra? Aku kuliah di sana juga bukan karena keinginan aku aja. Tapi, sekalian jaga Safa. Dia masih kecil dan aku takut dia gak bisa hidup sendiri di negeri orang."
Safa memang akan langsung berkuliah di Jepang setelah lulus SMA ini. Ayah menyuruh Azra mengawasi dan menjaga Safa yang mungkin di tahun pertamanya akan banyak tidak tahunya. Ayah juga sudah memikirkan Izora dan cucunya.
Karena tahu Izora tidak mau jika serumah dengan mertua, Ayah akan tetap membiarkan Izora tinggal di rumah yang Azra sewa. Masalah Meysi, walaupun ada Mbak Tika, tapi Ibu sudah bersedia untuk mengasuhnya setiap Izora sibuk. Ibu akan menghilangkan kesibukannya yang bekerja di kelurahan dan fokus dengan cucunya.

KAMU SEDANG MEMBACA
GARIS BATAS [TAMAT]
RomanceBukan dunia atau tuhan yang tidak adil. Tapi, pilihan hidupnya yang salah. Tapi, tidak! Bukan hanya dia yang salah. Manusia yang tengah berdiri di depan sana dengan bahagia dan percaya diri itu juga andil dalam membuat masalah ini. Bedanya, dia haru...