Aku masih ingat, bagaimana aku terasa asing di rumah ini. Pesan terakhir yang pernah kukirim, ingin pulang, tak pernah terbalas oleh mama. Itupun, sebelum Diandra lahir.

Ya Allah, ini tempat aku dibesarkan, tapi kenapa rasanya aku berada di rumah orang lain?

"Ma," cicitku. Entah terdengar atau tidak. Tapi mama menoleh.

Urung kuutarakan, kami mendengar suara berisik dari dalam. Aku terkejut saat melihat papa datang dengan napas terengah menatapku dan mas Ray bergantian.

"Kamu pulang, Nak?"

Seperti ada yang menyeruak dari dalam dadaku mendengar kalimat itu. Sederhana, tapi membuatku sesak sampai tulang punggung rasanya menegak.

"Kamu pulang?" Papa tertatih maju dan membuatku mengangguk kaku.

"Pa ...." Jemariku bertautan saling meremas di atas pangkuan.

Aku ingin berdiri menyongsong papa yang tertatih, tapi lututku terasa lemas tertahan. Segan dan ragu, apakah jika aku mendekat lantas akan disambut dengan suka cita?

Sedangkan selama ini, aku bahkan hampir dianggap tiada.

Aku tak mau menggantungkan harapan semu itu, sekuat apapun keinginanku.

Jangan terlalu percaya diri! Suara batinku mengingatkan. Lihat, mama duduk memberi jarak. Memangnya kamu diterima?

Tertunduk menyadari, membuatku urung untuk berdiri menghampiri papa. Sekuat hati aku mengingatkan diri akan tujuanku datang kemari.

"Naya ... datang untuk minta maaf." Sejenak jeda sekedar memberi ruang untukku menelan ludah dan menghentikan papa mendekat. "Naya ... Minta maaf atas segalanya."

"Sudahlah. Yang penting kamu baik-baik saja. Kamu sudah pulang, dan, papa lihat hubungan kalian membaik, bukan?"

Kuberanikan diri menatap kedua orangtuaku bergantian. Mama masih enggan menoleh padaku. Kedua lengannya bersendekap dan sesekali aku bisa mendengar beliau menghela berat. Sedangkan Papa, masih di tempatnya berdiri. Menatapku dengan pandangan yang tak bisa kuartikan.

"Naya ... Sudah tahu siapa Naya sebenarnya."

Terlihat mama dan papa saling berpandangan, terkejut dengan apa yang baru saja kukatakan.

"Maksud kamu?" Untuk pertama kalinya mama bersuara.

"Naya ... Sudah menyakiti mama dengan hanya lahirnya Naya di dunia ini. Maafkan Naya yang baru tahu, ternyata Naya tidak pernah lahir dari rahim mama, tapi dari wanita lain."

Aku bahkan tak berani menatap mereka lagi. Aku malu, untuk berada di sini saja aku merasa tak pantas.

"Entah dengan cara apa, Naya harus mengganti rasa sakit hati mama. Tapi yang mungkin mama dan papa lupa, seorang anak tak pernah meminta untuk dilahirkan. Maafkan atas ketidaktahuan Naya selama ini. Naya minta maaf ... Naya benar-benar minta maaf."

Tubuhku merosot, terduduk dalam posisi bertelut menunduk.

"Naya!" Mas Ray terkejut menahan lenganku.

"Terima kasih, atas kesabaran mama dan papa merawatku hingga besar. Kalau bukan karena mama dan papa yang berbesar hati mungkin aku sudah mati."

"Cukup!" Mama menghardikku, membuat lidahku langsung kelu.

Jantungku berdetak kencang, seperti dulu-dulu ketika mama mulai memarahiku. Aku bisa memasang wajah tenang, tapi tidak dengan reaksi tubuh yang bekerja secara natural tanpa bisa kuatur seenaknya.

"Cukup omong kosong ini."

Kuberanikan diri mengangkat muka, dan kusaksikan sendiri pipi mama yang telah basah.

Nayyara, Lost in MarriageWhere stories live. Discover now