"Jangan banyak bicara. Jika memang tidak mau disini keluarlah."

Haechan sebenarnya ingin keluar, tapi ia tidak segila itu.

Angin malamnya sangat dingin, bahkan didalam tenda saja terasa, bagaimana kalau diluar?

Tapi, ia benar-benar tidak mau tidur bersama raja Mark. Hasrat ingin membunuh milik Haechan bisa saja tiba-tiba bangkit.

Tangan yang merengkuhnya segera disingkirkan. Haechan membawa tubuhnya menjauh dari Mark.

Ia memang sudah setuju untuk tidur bersama, hanya tidur. Ia tidak bisa mentolerir perlakuan yang seperti tadi.

"Sekali lagi kau menjahiliku seperti tadi, aku benar-benar akan membunuhmu raja Rigel Markala Ludra yang terhormat."

"Tapi aku berhak melakukan apa yang aku mau karena kau istriku, Adara Haechan Ludra."

"Berhenti mengganti margaku! Aku masih Altair."

"Kau yang berhenti bicara. Kita akan melanjutkan perjalanan pagi-pagi sekali."

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Makamnya bukanlah tempat yang besar. Hanya tempat sederhana yang sepertinya sangat dirawat dan dijaga.

Haechan berdoa disebelah Mark yang juga memejamkan matanya. Ia membuat banyak doa untuk ibu dari raja yang kini berada disebelahnya.

Ia memang membenci anaknya tapi tidak akan membenci ibunya. Lagipula beliau sudah tiada.

Suatu kebodohan jika Haechan melakukan hal itu.

"Kenapa makam ibumu jauh sekali?"

"Karena dia sendiri yang meminta untuk dimakamkan disini."

"Aku meminta makamku berada di tengah-tengah taman bunga istana Altair."

"Apa maksudmu?"

"Ya, siapa tau aku tidak kuat tinggal di istanamu dan memutuskan untuk mengakhiri hidupku."

"Jangan bicara macam-macam ratu Haechan."

"Baiklah maafkan aku."

Dari penekanan suara Mark membuat sudut dalam diri Haechan merasa ketakutan.

Ia sadar apa yang ia ucapkan memang kelewatan. Tapi tenang saja, Haechan bukanlah orang yang seperti itu.

Kalaupun nanti ia mati, setidaknya ia harus memberikan pelajaran dulu untuk raja Mark kita yang terhormat.

MARK✓Where stories live. Discover now