один ; Schiffe und Meer

1.2K 136 13
                                    

Selat Marley – Paradise, 845

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Selat Marley – Paradise, 845

Anak laki-laki itu masih memejamkan kedua matanya. Perjalanan dari distrik Shiganshina menuju Marley cukup menguras banyak energi untuk anak berusia sepuluh tahun sepertinya.

Sebuah tangan keriput membelai surai kuningnya dengan lembut. "Bangun, Armin." Bisik ibunya. Membuat anak itu perlahan membuka mata birunya.

Cahaya senja masuk dengan sopan ke dalam armada yang mereka tumpangi. Armin menguap, mengucek-kucek kedua matanya yang gatal. Rasanya ia sudah tidur begitu lama, tapi tubuhnya masih terasa lelah.

Kapal berjalan lebih cepat sebelumnya. Bocah itu bangkit dari tempat tidur. Duduk di atas ranjang, matanya memandang gulungan ombak laut melalui jendela bulat kamar kapal.

Terlihat sebuah satu titik kecil dari kejauhan. Mata biru Armin menyipit, mungkin itu adalah pulau. Ada beberapa titik yang tak kalah kecil menyebar di sekitarnya, mungkinkah itu Pulau Marley? Jika benar, maka mereka sudah dekat.

"Kau mau minum, sayang?"

Armin mengangguk samar. Bangun dari tidur lalu disambut dengan pemandangan air laut sedikit membuatnya mabuk. Ditambah dengan kapal yang terombang-ambing pelan. Walau begitu, ia tak pernah sedikit pun membenci laut.

Ibunya menyodorkan setengah gelas jahe merah yang masih hangat. Armin langsung menengguk hingga tetes terakhir. Tenggorokannya terasa panas-panas pedas sesaat, namun perutnya jauh lebih baik.

"Apakah itu pulaunya?"

Pertanyaan Armin dijawab dengan anggukan kepala sang Ibu. "Kita akan tinggal disana. Setidaknya dua minggu sampai pekerjaan ayahmu selesai." Ibunya menjelaskan.

Armin mengangguk paham. Apa yang akan ia lakukan untuk menghabiskan waktu di Marley? Ah, andai Eren dan Mikasa boleh ikut pergi dengannya, pasti ia tidak akan pusing-pusing memikirkan rutinitas hariannya.

"Kau tidak keberatan 'kan, Armin?" Ayahnya bertanya.

Armin menggeleng cepat, "Tentu tidak, Ayah."

"Aku khawatir jika kau tiba-tiba merengek minta pulang karena rindu dengan dua temanmu itu," Pria itu terkekeh kecil setelah menyeruput kopinya. "Sayangnya, kita kesini bukan untuk liburan."

"Tenang saja, Ayah. Armin sudah ijin kok dengan mereka kalau kita pergi bukan untuk berlibur. Lagipula, ini untuk kebaikan masyarakat Paradise."

Ayahnya menganggukkan kepala sambil tersenyum samar. Ibunya melakukan hal serupa. Mereka bersyukur di anugerahi anak laki-laki yang cerdas dan juga dewasa lebih cepat dari anak seumurannya.

Ini adalah kali pertama keluarga Arlert melakukan perjalanan keluar pulau—sekaligus keluar benua. Membawa pengaruh baik bagi keluarga mereka dan juga penduduk pulau Paradise.

Paradise ; AruaniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang