40. don't ignore us

2.9K 146 1
                                        

aku baca cerita ini dari awal terus nemu dialog sama narasi yang aku singkat-singkat, contohnya; banget jadi bgt, gitu jadi gt, jadi jadi jd HAHAHAHA. maafin yaa itu kayanya refleks soalnya ak kl ngetik selain buat cerita emg ginii, kl nemu yang salah gitu kasi tau ak yaa, trimss!!

o0o

Mata bulat berbinar itu menatap Azra bingung. Sudah dia lakukan berbagai cara agar bisa mencuri perhatian sang Ayah, tapi semuanya tidak berhasil sama sekali. Izora tengah mengerjakan tugasnya di karpet dan Meysi berdiri di sebelah Azra yang tengah duduk di meja belajar sibuk dengan code yang tampil dilayar.

"Yah, ndak mau main cama Mey?" Tangan kecil itu, menggerak-gerakan lengan Azra.

"Mey, sini, Nak. Jangan ajak ngobrol Ayah kamu, dia manusia gak jelas!" Izora mendekat dan menggendong Meysi. Dia tekan tombol di bawah layar komputer lalu code yang tadi muncul seketika hilang berganti dengan gelap dari layar yang kini mati. Dia langsung menatap Azra tajam.

"Kalau kamu kesel sama aku gara-gara menurut kamu, aku gak peduli, gak apa-apa, aku paham. Tapi, harus banget kamu diemin Mey dari kemarin? Emang Mey punya salah apa sama kamu?" tanya Izora menggebu, matanya berkaca-kaca. Hatinya sakit sekali melihat Meysi dicampakan begitu, lebih sakit dari dirinya yang Azra campakan. Dirinya bisa menerima jika Azra diam, karena Izora memang merasa bersalah.

Lantas, Meysi? Anak kecil itu tahu apa? Kenapa juga dia harus ikut menerima kekecewaan Azra?

Bukankah seharusnya jika Meysi sudah mengerti, dia yang akan kecewa karena memilki ayah seorang penjudi?

"Suruh siapa komputer aku dimatiin?" tanya Azra masih dengan nada yang tenang. Tatapannya ia jatuhkan ke bawah kakinya.

Izora berdecak kesal. "Kamu gak jawab pertanyaan aku?"

"Aku cuma lagi gak mau ngobrol sama siapapun, Izora."

"Ya, kalau gak mau ngobrol gak usah. Tapi minimal, kamu gendong Mey yang daritadi berdiri deket kamu dan udah caper? Kamu tega diemin dia?" tanya Izora dengan suara bergetar. "Naka, aku minta maaf. Mungkin satu hari yang aku anggap bakal biasa aja, jadi hari paling buruk buat kamu. Aku bukan gak peduli, aku cuma gak tahu harus apa. Kalau kamu mau marah sama aku, lanjutin aja. Tapi, jangan cuekin Mey juga!"

Azra mengusap wajahnya kasar. Dia tatap wajah Izora yang hidungnya sudah memerah sambil kembang kempis itu.

"Aku udah gak marah gara-gara itu, Izora. Aku cuma lagi malu sama kamu, aku malu sama Mey, aku malu sama keluargaku dan aku malu sama kelurga kamu. Aku terlalu malu ngadepin dan ngobrol sama kalian semua. Aku butuh refleksi dan introspeksi diri. Aku gak niat jadi jahat, aku cuma butuh waktu buat sendiri dulu, Izora."

Izora menghapus air matanya tadi lalu merengek kesal. "Really?! Kamu diem itu gara-gara malu? Naka, kayak sama siapa aja." Azra mendengus mendengar Izora yang seperti tengah mengejeknya apalagi saat tangan gadis itu memukul bahunya kencang.

"Kamu gak akan ngerti." Kalau bisa, Azra ingin kabur dan tidak bertemu keluarganya. Dirinya benar-benar terlalu malu untuk menampakan diri. Jadi, karena kabur akan menyebabkan masalah lain, Azra memilih diam di rumah. Butuh keberanian untuknya agar bisa mengobrol dengan percaya diri seperti biasa.

Dan, Azra belum mampu melakukan itu.

"Ya emang nggak. Aku 'kan gak main judol, jadi gak akan ngerti," balas Izora semakin menyebalkan. "Kamu boleh ngerasa malu sama keluarga kamu dan keluarga aku. Tapi, kamu gak boleh malu sama aku apalagi sama Mey. Kita itu, udah nerima kelakuan kamu yang lumayan bodoh itu kok."

"Jadi, sampai kapan kamu mau malunya? Aku kesepian banget gak kamu ajak ngobrol."

Azra memandang Izora serius. "Kamu gak malu punya suami yang main judi sampai harus ditahan di penjara?"

GARIS BATAS [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang