chapter ini 3500 words, vote dulu gakkk?!🤓
o0o
"Awas! Aku mau pulang ke rumah Ayah aja!"
"Nggak, gak boleh." Azra merentangkan tangannya menutupi lemari agar Izora tidak bisa mengeluarkan baju-bajunya. "Jangan gini, Ra ..." pinta Azra memelas.
Tubuhnya yang tadi sudah dingin karena mandi kembali memanas karena ketakutan. Takut, takut ditinggalkan Izora untuk kedua kalinya.
"Sekarang kamu ngomong gini tapi tadi bentak-bentak aku!" seru Izora dengan suara terputus-putus karena tangisnya masih belum bisa dia hentikan.
Bentakan Azra tadi, benar-benar menyakiti hatinya. Tidak pernah ada satu orangpun yang pernah membentaknya seperti itu. Tapi tadi, Azra malah menjadi orang pertama yang melakukannya dan membuat Izora ingin kabur seperti ini. Yang Izora inginkan adalah dibujuk dan diajak bicara seperti biasanya, bukan malah dibentak dan dimarahi seperti tadi.
"Kamu juga sering ketus, cuek dan ngebentak. Aku balas satu kali, kamu langsung mau kabur?" tanya Azra.
"Sekarang, tahu 'kan gimana rasanya kalau aku balas balik? Aku bisa sama kayak kamu, Izora. Aku bisa marah, sakit hati dan aku bisa kasar kalau aku mau. Tapi 'kan nggak gitu. Aku milih sabar dan ngalah tiap kamu kayak gini. Jadi, bisa 'kan kalau sekarang kita saling hargain perasaan masing-masing dan jangan seenaknya?"
Izora tidak menjawab karena kini dia semakin terisak. Azra masih saja memarahinya padahal sakit hati sebelumnya masih belum sembuh. Tapi sepertinya, tidak ada niatan dari laki-laki untuk berhenti karena sekarang laki-laki itu terlihat akan membuka mulutnya lagi.
"Aku udah minta maaf karena bawa temen tapi gak izin. Itu 'kan masalah awalnya? Tapi, kamu masih terus diem dan gak hargain aku kayak tadi, semua niat baik aku malah kamu salahin," protes Azra, tidak peduli jika Izora tambah menangis.
"Ngobrol, Izora, ngobrol. Bilang yang salah dan masih ganjelnya apa, berkali-kali aku ingetin. Ngobrol, ngobrol, ngobrol! Aku siap nerima semua kemarahan kamu asal kamu gak tiba-tiba diam dan ketus. Aku cape, Izora. Aku juga bingung kalau kamu selalu kayak gini. Aku harus gimana?" Lagi, Azra kembali bertanya dan mampu membuat Izora merasa dipojokan. Nada suara Azra masih lembut seperti biasa dan kini terdengar putus asa.
"Kamu bukan anak SMA kayak dulu yang bisa kabur-kaburan kalau ada masalah. Kamu, harus selalu izin sama aku dan aku gak izinin kamu keluar rumah kali ini. Aku gak akan izinin kamu pergi ninggalin aku lagi, Izora. Gak akan. Sekarang, masih mau ngelawan dan nguji kesabaran aku?" Mata merahnya menyorot Izora yang sudah menundukan kepalanya sambil sesekali menghapus air mata yang terus keluar.
"Nda ... Ayah ..." Meysi yang sedari tadi berdiri di antara keduanya langsung melingkarkan tangan mungilnya di paha Izora dan Azra. "Ndak boyeh mayahin Bunda, Ayah." Bibirnya mencebik dengan mata berkaca-kaca. Tampak tidak tega melihat Izora yang menangis tersedu-sedu.
Azra menurunkan pandangannya dan melihat mata bulat itu berkaca-kaca. Hal itu membuatnya langsung merasa bersalah. Ia melupakan anak kecil ini sejak tadi dan malah berteriak bahkan membanting pintu di depannya. Bahkan, mereka malah beradu mulut di depan anak kecil ini. Azra langsung mengangkat Meysi ke gendongannya. "Nggak marah. Mey kaget dan takut, ya? Maaf." Azra mengusap air mata yang jatuh dari pelupuk mata Meysi.
Lalu tangannya berpindah untuk menghapus air mata Izora, tapi langsung sang empu tepis. "Aku mau pulang ke rumah Ayah! Aku gak butuh izin kamu! Aku gak mau tinggal sama kamu lagi!"
"Terserah. Lakuin semua yang kamu mau, childish!" ketus Azra dan langsung menyingkir dari depan lemari hingga Izora buru-buru melanjutkan pekerjaannya tadi. Memasukan baju-bajunya dengan baju Meysi ke dalam koper.

KAMU SEDANG MEMBACA
GARIS BATAS [TAMAT]
RomanceBukan dunia atau tuhan yang tidak adil. Tapi, pilihan hidupnya yang salah. Tapi, tidak! Bukan hanya dia yang salah. Manusia yang tengah berdiri di depan sana dengan bahagia dan percaya diri itu juga andil dalam membuat masalah ini. Bedanya, dia haru...