Satu

25K 2.1K 231
                                    

Terbiasa hidup dengan tata tertib yang diterapkan oleh Papa selama 17 tahun lebih aku hidup. Belum pernah sekalipun aku membantah peraturan yang Papa buat. Dari mulai bangun pagi dan olahraga, wajib minum 8 gelas air putih setiap hari. Papa tidak pernah absen bertanya, sudah minum berapa gelas air putih hari ini, Kak?

Papa juga punya aturan soal makanan dan minuman, healthy food. Jangan jajan gorengan terlalu sering, jangan kebanyakan minum air es, jangan makan junk food, dan masih banyak lagi larangannya. Untuk yang satu ini, aku masih maklum. Papaku dokter, wajar kalau dia selektif memilih makanan dan minuman untuk keluarga.

Aturan lain yang tidak kalah ketatnya adalah aturan jam pulang untukku dan adikku. Sewaktu masih sekolah, aku wajib langsung pulang jika tidak ada kegiatan ekstra kurikuler. Aku juga tidak punya jam malam, lewat magrib aku masih keluyuran siap-siap pasang telinga dengan baik. Kecuali kalau aku izin main ke rumah teman satu kompleks, Papa tidak akan marah. Meskipun tetap Papa cek kebenarannya.

Tak kalah penting lagi, ada aturan yang bikin cowok-cowok pada kabur. Tidak boleh pacaran sebelum lulus SMA. Maka dari itu, aku tidak punya sosok manusia yang orang lain sebut pacar atau mantan pacar. Aku juga tidak mengenal istilah anniversary, mensiversary atau apa pun itu yang berkaitan dengan pacaran. Aku tidak pernah tahu rasanya sensasi punya pacar.

Mau naksir cowok gimana, kalau tiap ketemu cowok tampan yang muncul dalam otak itu bukan bentuk hati tapi wajah sangar Papa.

Papa adalah benteng pertahanan yang sulit ditembus oleh para cowok yang ingin mendekati anak-anak gadisnya.

Malam ini, aku bergabung dengan Mama yang sedang menonton televisi sambil menunggu Papa pulang dari rumah sakit tempatnya praktik.

"Ma... boleh ya?" Aku merengek. Meminta izin pada Mama untuk menonton film bersama Satria. Hari sudah gelap, adzan magrib juga sudah berkumandang tiga puluh menit lalu. Artinya, aku tidak boleh ke mana-mana kecuali ke minimarket.

"Males ah, Kak. Papa kamu tuh nanti heboh tahu anak gadisnya belum pulang jam 9 malam."

Wajahku langsung tertekuk dengan sempurna. Masih bergelayut di lengan Mama, aku melempar puppy eyes siapa tahu Mama luluh dan mau membantuku agar Papa tidak marah.

"Tapi kan sama Satria," kataku, sengaja dibuat lirih. Tapi serius, aku ingin sekali menonton film tersebut dan ini kesempatannya apalagi tiket nonton Satria yang bayar. Kapan lagi Satria akan sebaik itu memberikan tiket nonton dan uang makan secara cuma-cuma.

"Papa kamu nggak pandang bulu kalau marah, Kak."

Aku menghela napas. Mama benar, Papa kalau marah seram. Makanya Mama paling malas menghadapi Papa kalau lagi marah.

"Filmnya bagus lho, Ma. Sayang banget. Apalagi dapat traktiran dari Satria."

Mama sama sekali tidak merespons, saat kutadahkan wajah untuk melihat wajah Mama. Mama ternyata sedang memandangiku.

"Ya, Ma?"

"Kan bisa nontonnya besok aja. Sore-sore gitu sebelum Papa pulang, kamu udah di rumah."

"Orang Satria ngajaknya sekarang."

Mama berdecak tidak suka. "Satria juga masa gak ngerti kalau kamu punya tata tertib."

"Ngerti. Cuma ini maunya Kakak juga kok, Ma. Bantuin Kakak ya, sekali aja. Ya?"

"Gak boleh."

"Yah...!"

Aku melepaskan rangkulan, dan berjalan gontai menaiki tangga menuju kamar. Rasanya ingin teriak, ingin memaki aturan-aturan Papa yang terlalu ketat ini. Kadang iri melihat teman-teman seusiaku bisa main ke mana pun di malam hari tanpa takut akan dimarahi oleh papanya. Sementara aku punya bodyguard susah sekali ditaklukan.

That Should Be MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang