"Kamu lahirnya normal atau caesar, Ra?"
"Aku normal, Mbak. Waktu itutuh kayak semua dilancarin gitu aja," jawab Izora. Saat ini ia sedang memasak di dapur, bersama Mbak Hawa. Rumah keluarga Naradhipta kini terlihat banyak orang. Alasannya adalah, Ibu yang tiba-tiba mengadakan syukuran.
"Keren dong kamu. Terus, kamu ada ngalamin morning sickness?"
"Itu juga nggak, Mbak. Aku bersyukur banget karena Meysi tuh mungkin ngerti atau gimana gitu, pokoknya sejak dalam perut dia gak pernah nyusahin aku. Malah, waktu hamil bukannya mual-mual dan males makan, aku malah banyak makan sampai akhirnya gendut banget," jelas Izora. Untuk pertama kalinya dia menceritakan hal seperti ini pada orang lain, bahkan Azra sekalipun belum mengetahuinya.
"Oh iya, kamu naik berapa kilo waktu itu?"
"Hampir dua puluh kilo, Mbak. Itu moment tergendut dalam hidup aku sih, soalnya berat badanku hampir nyentuh delapan puluh kilo."
Mbak Hawa yang sedang mengaduk-aduk bumbu rendang tertawa, lucu mendengar ucapan Izora. "Kayaknya, Mas Azra kepikiran kamu gimana-gimana deh, Ra. Waktu itu dia tiba-tiba nanya kalau hamil dan melahirkan tuh gimana," jelas Mbak Hawa. "Aku kira dia cuma pengin tahu, gak expect ternyata dia hamilin kamu. Maafin adeknya Mbak ya, Ra. Dia tuh gimana ya, suka mikirin semua sendiri tanpa nanya-nanya atau cerita sama kita."
Izora tertawa mendengar itu. "Iya, Mbak. Gak apa-apa, yang salah bukan cuma Naka aja kok. Tapi emang ya, Mbak. Dia tuh mikirnya jauh banget, udah gitu dipendem sendiri. Makannya pusingnya juga sendiri."
"Iyaa!! Dia tuh harus pelan-pelan biar bisa diajak cerita gitu," terangnya. "Tapi, sekarang Mas Azra baik 'kan sama kamu?"
Izora mengangguk. "Baik terus dia mah, Mbak."
"Syukur deh. Oh iya, masih insomnia?" tanya Mbak Hawa berbisik. Orang yang membocorkan hal ini pada Izora adalah Mbak Hawa. Mbak Hawa tahu Azra mengonsumsi obat ini karena Azra sendiri yang memintanya pada suami Mbak Hawa yang bekerja sebagai psikiater — Mas Adam. Mbak Hawa tidak bertanya dengan sengaja karena tahu ada kode etiknya, tapi dia tahu karena saat itu di sedang memainkan hp suaminya dan Azra mengirimkan pesan itu.
Dan sampai saat ini Mbak Hawa memilih untuk diam karena Azra pun tidak pernah bercerita dan saat dipancingpun dia tetap tidak menceritakannya. Mbak Hawa artikan kalau Azra tidak ingin orang lain tahu.
"Masih, Mbak. Bahkan kayaknya lebih parah deh? Dia tidur tuh cuma dua atau tiga jam aja. Katanya nikah bisa nyembuhin insomnia, kan? Apa aku gak bisa buat dia nyaman ya sampai kehadiran aku gak ngaruh sama sekali?" tanya Izora tiba-tiba merasa overthinking. Izora sudah banyak membaca terkait insomnia ini, dan menikah bisa menjadi salah satu alternatif penyembuhan.
"Ish, enggak lah. Dia tuh seneng tahu bisa tinggal sama kamu. Cuma ya kalau masalah insomnianya aku kurang ngerti sih, nanti aku tanya Mas Adam deh," balas Mbak Hawa tapi tidak kunjung membuat ekspresi cemas di wajah Izora hilang. "Gak usah tiba-tiba ngerasa gitu dong, Ra. Mas Azra tuh nyaman dan suka banget sama kamu. Waktu kamu nolak diajak nikah dia sampai kelihatan stress banget."
"Aku tiba-tiba takut aja, Mbak. Apa aku ajak ngobrol soal ini aja, ya?"
"Boleh kalau kamu gak keberatan."
"Ra, Meysi jatuh nih." Tiba-tiba Azra menghampirinya dengan Meysi yang menangis di gendongannya.
"Aduh-aduh, mana sini aku lihat." Izora yang tadi sedang memotong-motong daging bergerak mencuci tangannya. "Jatuh di mana?"
"Di rumput sintetis sih, dan gak ada luka sama sekali," cicit Azra.
"Aduh kasiannya anak akuu." Izora mendramatisir sambil membawa Meysi ke gendongannya. "Kalau udah mulai alay gini berarti dia lagi mode Azraqi," cibir Izora sambil melirik Azra.

KAMU SEDANG MEMBACA
GARIS BATAS [TAMAT]
RomanceBukan dunia atau tuhan yang tidak adil. Tapi, pilihan hidupnya yang salah. Tapi, tidak! Bukan hanya dia yang salah. Manusia yang tengah berdiri di depan sana dengan bahagia dan percaya diri itu juga andil dalam membuat masalah ini. Bedanya, dia haru...