29. no hard feelings?

3.3K 132 32
                                    

Banyak sekali hal yang Izora suka dari Azra. Hal-hal yang sempat hilang dari hidupnya. Azra yang selalu mengerti dan sabar dengan sikap kekanakannya, Azra yang selalu bisa memberi makan egonya, Azra yang selalu bisa menerima sikap manjanya. Azra yang tubuhnya tinggi, Azra yang selalu wangi dan tampan, Azra dengan semua sikap lembutnya. Sebenarnya, semua yang ada di luar dan dalam Azra, Izora suka.

Makannya, setelah lama berusaha menjauh tanpa memberi kabar dan kepastian, perasaannya tetap sama. Karena apa? Karena rasa kagum dan sukanya lebih besar dari rasa bencinya.

Sudah berusaha membenci tapi yang muncul di kepala bukan hanya satu kelakuan bejatnya, Izora malah teringat semua kebaikannya. Dan ternyata, cara itu cukup bisa untuk membuatnya memaafkan. Membiarkan hati mempengaruhi keputusan, setelah kemarin mati-matian mempertahankan logikanya.

Dan ternyata, tidak seburuk itu.

Jika Izora masih berusaha denial mempertahankan logikanya agar tidak menerima Azra kembali, mungkin sekarang dia tidak akan merasakan kebahagiaan dari hal-hal kecil seperti sekarang. Berbaring di karpet dengan Meysi, bantalannya paha laki-laki yang sedang fokus dengan laptop karena tengah bekerja padahal sudah waktunya untuk beristirahat.

Sebagai salah satu Web Developer yang keahliannya masih di tingkat menengah dan pendapatan dihitung per jam, Azra tidak ingin menyia-nyiakan waktunya hanya untuk diam. Makannya, selagi ada waktu luang, akan dia kerjakan sebisanya.

"Astaga, Mey, diem tangannya!" Azra yang sedari tadi fokus dengan laptop langsung menunduk karena Meysi memainkan sesuatu yang tidak boleh sembarang disentuh. Aset pribadinya!

Meysi yang mendengar suara Azra lebih tinggi dari biasanya, dan tawa yang melebur dari Izora langsung menangis. "Eh, enggak marahin kamu kok, enggak." Azra sedikit panik. Dia langsung membawa Meysi kepelukannya dan mengusap-usap punggungnya. "Maaf-maaf. Tadi suaranya kekencengan, ya?"

Izora terpingkal, bahkan sampai air matanya keluar. "Aduh Meysi beranian banget!" Izora ikutan duduk, perutnya sakit.

"Tau nih. Bunda istri Ayah aja belum pernah pegang-pegang itu."

"Ih!" Izora menepuk kaki Azra yang memakai celana pendek itu dengan keras. "Kamu tuh kenapa ngomongin gituan terus?! Katanya nikahin aku bukan cuma buat itu!"

"Loh, aku cuma ngomong aja?"

"Tapi nyebelin banget dengernya!"

"Oh, harus langsung praktek berarti." Azra meleburkan tawanya karena Izora bersiap memukulnya layi. "Iya deh, enggak lagi. Maaf ya, Bunda."

Izora hendak memprotes.

"Kamu tuh, ya gak apa-apa lah harusnya aku panggil Bunda," sela Azra karena tahu apa yang akan Izora bicarakan.

"Tapi geli. Aku ini masih anak kuliahan, masa udah dipanggil Bunda?"

"Loh emang kalau masih anak kuliahan gak boleh dipanggil Bunda? Selama udah nikah dan punya anak boleh aja dong, masa kamu mau kalah sama orang pacaran yang panggilannya mama papa?"

"Emang ada?"

"Banyak."

"Mereka apa gak merinding, ya?" Izora tidak habis pikir. "Pokoknya jangan panggil aku Bunda! Kalau ada orang yang gak tahu kita udah nikah, pasti mereka bakal merinding juga!"

Azra tertawa. "Iya-iya."

"Kamu masih lama, ya? Aku sama Mey udah ngantuk nih nunggu dari tadi."

"Tidur duluan aja, Ra. Nih lihat, masih banyak merahnya. Artinya apa?" Azra mengangkat alisnya.

"Banyak cintanya. Soalnya, kata Mei-Mei di Upin-Ipin kalo merah artinya cinta."

Azra tertawa. "Kalau itu sih aku ke kamu. Ini beda lagi, yang bener apa?"

GARIS BATAS [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang