Persiapan untuk acara pernikahan, telah kami selesaikan sejak satu minggu yang lalu, dari pakaian untuk calon pengantin dan keluarga, tempat dan keperluan wedding organizer yang lainnya. Pernikahanku dengan Rasyid hanya tinggal menunggu waktu tiga pekan lagi. Selain itu, kami juga disibukkan dengan kekhawatiran-kekhawatiran, takut tamu undangan tidak banyak yang datang untuk memeriahkan pesta pernikahan sederhana kami.
Aku sedang duduk santai di kursi beranda rumah sembari menikmati teh hangat dan menunggu kiriman koran datang ke rumah. Sebelumnya, beberapa menit yang lalu, Alya, tetangga baruku sempat mengajak lari pagi untuk sekadar berkeliling komplek, namun aku tidak menerima ajakannya karena aku sedang merasa tidak enak badan dan seluruh tubuhku terasa pegal-pegal. Aku sempat pergi ke dokter, diantar oleh Rasyid untuk memeriksa kesehatanku. Aku hanya disuruh beristirahat, jangan terlalu banyak pikiran dan kegiatan yang membuat badanku kelelahan.
"Rasyid jadi ke sini?" tanya kakakku sekeluarnya dia dari dalam rumah.
"Iya. Sebentar lagi mungkin," jawabku sembari melirik jam pada handphone.
Kakakku hanya menganggukkan kepala kemudian dia kembali lagi ke dalam rumah.
Tidak lama mobil Rasyid datang dan parkir di depan rumahku. Dia keluar dari dalam mobil sambil menunjukkan senyuman khasnya.
"Lumayan macet juga ya, di jalan barusan. Lagi ada acara di alun-alun, festival band kayaknya."
Inilah yang aku sukai dari Rasyid. Sebelum aku bertanya apapun yang telah dilewatinya, dia selalu mengatakannya terlebih dahulu. Melaporkan tiap hari-harinya kepadaku, tanpa aku minta. Aku senang mendengar tentang hari-harinya, mendengar apa yang telah dia lewati dalam seharian yang penuh kepenatan.
Bahkan sebelum dia duduk dan meminum teh yang telah aku persiapkan untuknya, dia sempat mengatakan...
"Itu rumah yang pertama pas masuk komplek, udah laku ya?" tanya dia.
"Iya mungkin."
"Iya, Nar. Soalnya tadi aku lihat banyak mobil-mobil yang ngangkut barang-barang. Kayak orang pindahan gitu." Mendengarnya aku hanya bisa geleng-geleng kepala. Dia hanya diam ketika kami sedang berselisih, selebihnya dia akan terus mengoceh. Mungkin selama kami menjalin hubungan, yang dominan berbicara adalah dia.
"Ya udah, mending kamu minum dulu teh anget nya, nanti keburu dingin," pintaku sembari menyodorkan secangkir teh hangat kepada Rasyid yang akhirnya duduk di sebelahku.
Mendengar aku berbincang bersama Rasyid, kakakku keluar dari dalam rumah dan mengobrol sebentar bersama Rasyid. Kabarnya mereka akan bekerja sama untuk membuka cabang usaha kuliner yang sudah ditekuni oleh kakakku sejak 5 tahun yang lalu. Setelah mendengar rencana untuk berwirausaha itu, papaku menawarkan untuk meminjami modal kepada kakakku dan Rasyid. Namun, Rasyid dan kakakku menolak untuk menggunakan uang dari papa walaupun hanya meminjam.
Setelah Rasyid menganggurkanku duduk seorang diri, akhirnya dia selesai mengobrol bersama kakakku dan kembali duduk bersamaku.
Rasyid menoleh ke arahku dengan tatapan yang tidak asing bagiku.
"Binar..."
"Ada yang mau aku omongin sama kamu."
"Nanti kalau kita udah nikah, kamu gak usah kerja ya?"
Rasyid membuatku tersentak, meletakkan handphone yang sedari tadi ada di genggamanku. Bagaimana bisa Rasyid mengatakan demikian? Bukankah kami pernah membicarakannya bersama-sama? Bahkan di hadapan keluargaku dia menyetujui dan memberiku ijin setelah menikah nanti aku tetap bisa bekerja.
"Kamu kok gitu? kita udah sepaka-"
"Keperluan kita juga nanti terpenuhi, Nar."
"Karena kamu mau buka cabang usaha sama kakakku?"
"Bukan. Ya, kan kamu sendiri udah tahu gajiku, tanpa aku buka usaha sama Kak Dion pun kebutuhan kita nanti pasti terpenuhi, Nar."
Aku membelalakan kedua mataku, sedikit tidak percaya dengan apa yang dikatakan Rasyid. Bagaimana bisa dia berubah pikiran secepat ini dan memberitahu saat suasana hatiku sedang baik? Padahal dia tahu, aku paling tidak suka jika suasana hatiku dirusak dengan tiba-tiba seperti keadaan saat ini.
"Kan kita udah omongin ini berdua. Kamu setuju kalau nanti aku tetep kerja, kita udah sepakat itu lho?"
Kini Rasyid memasang wajah serius, suasana mendadak menjadi tegang. Dia yang awalnya berbicara dengan penuh kehati-hatian, sekarang mendadak seperti menyerangku. Aku merasa tidak nyaman dan tidak ingin berselisih dengannya.
"Lagian apa yang kamu butuhin dari kerja sih Nar? Penghasilan? Kamu gak perlu khawatir itu."
"Kamu kan tahu sendiri, aku kerja karena aku menyukai pekerjaan aku."
"Kamu nanti sibuk. Terus siapa yang mau nemenin aku dan urus aku di rumah? Belum lagi kalau nanti kita punya anak. Gimana coba?"
Aku sudah tidak bisa menjawab kalau sedang berdebat dengan Rasyid dan dia mulai memasang wajah seriusnya sembari meninggikan nada bicaranya. Dia menatapku penuh. Aku mengalihkan pandangan dan menatap lurus ke depan di mana terdapat mobil Rasyid diparkirkan. Rasyid mengembuskan napas panjang, dia berusaha memperbaiki keadaan, dia memegang tanganku, aku menepisnya cepat.
Suasana tegang pun mendadak jadi hening. Kami bergeming. Aku coba memikirkan kembali perkataan Rasyid dan sepertinya Rasyid sedang memikirkan kembali ucapan-ucapannya barusan. Dia terlihat menyesal dengan perkataannya. Dari sudut mataku aku bisa menangkap dia melirik kepadaku dan berusaha mencairkan suasana.
Kami masih saling diam. 30 menit berlalu dengan tiada bunyi di antara kami. Tidak pernah kami tidak berbicara selama ini ketika bersama. Aku enggan untuk memulai pembicaraan kembali, karena aku masih terlalu berapi-api mengingat apa yang dikatakan Rasyid. Sementara itu, Rasyid dari tadi sibuk membaca koran, dia selalu mendiamkanku saat aku sedang marah, namun dia tidak pernah beranjak dari sisiku.
Kami berdua dikejutkan dengan suara notifikasi dari handphone Rasyid.
"Ke rumah aku sekarang. Kak Lita baru pulang dari Medan, dia pengin ketemu sama kamu," ucap Rasyid setelah membaca pesan singkat dari kakaknya.
Tanpa menjawabnya, aku langsung memasuki rumah dan memilih salah satu pakaian berwarna cream dengan garis-garis coklat tua di tengahnya. Tidak mengulur waktu lama, aku tahu Rasyid selalu tidak suka menunggu, terlebih menungguku saat berdandan ketika akan bepergian.
Di perjalanan kami masih saling diam. Ada jarak yang tercipta di antara kami, hanya karena permasalahan yang sebenarnya sudah dibahas beberapa bulan yang lalu. Kami berdua sudah sepakat, namun tiba-tiba Rasyid berubah pikiran. Aku benci saat Rasyid bersikap seperti itu.
Kak Lita menyambut kedatanganku, dia mengulurkan kedua tangannya dan mencium kedua pipiku. Perlakuannya selalu membuatku terasa istimewa, mungkin karena aku akan menjadi adik iparnya, istri dari adik satu-satunya. Aku tersenyum lalu menatap perut Kak Lita yang sedang mengandung buah hati pertamanya. Kak Lita memandang penuh kepada aku dan Rasyid, ia mengernyitkan kening.
"Bentar, kalian baik-baik aja kan?" tanya Kak Lita penuh curiga.
Rasyid mendekat dan melingkarkan lengannya di pinggangku. Dia mengangguk. Lalu mencium kepalaku, aku tersenyum.
***
Hai...
Gimana nih sama part ini? Kalau ada kritik/saran gapapa komen aja yaa...
Oh iya, maaf ya baru update lagi, padahal aku janjinya cerita ini bakalan sering update. Soalnya kemarin-kemarin laptop aku gak bersahabat banget ☹️ Lemot terus jadi pas mau copy tulisannya dari mic.word ke wattpad lama gitu, jadi males ke akunya kalau lagi semangat nulis eh tiba-tiba laptopnya ngambek huh... 😪
Btw, makasih ya buat yang udah semangatin aku, apalagi pas kemarin part pertama cerita ini dipublish. Huhu... Makasih banget 😭
Part kedua segini dulu ya, nanti ada kejutan di part 4, kalian gak akan nyangka deh pokoknya tungguin terus ya!
Jangan lupa vote (klik bintang pojok bawah), komen, dan follow buat yang belum follow aku (follback? bilang aja aku gak pelit follback kok)
Daahhh!

KAMU SEDANG MEMBACA
Untuk Seorang Lelaki
RomanceSesuatu yang pergi memang takkan kembali, tapi akan terganti.