"Jadi, mentor kelompok aku waktu ospek itu Mei —"
"Panggilnya kok masih Mei-Mei?! Ganti gak?!"
Azra mengelus dahi Izora yang mengerut karena sedang protes padanya. "Yaudah, aku panggil apa?"
"Inul," balas Izora. Tiba-tiba nama itu terbesit di kepalanya.
"Oke, Inul." Azra mengiyakan karena malas urusannya makin panjang. Izora yang sudah mau diajak bicara dan mendengar penjelasannya, harus dia manfaatkan kesempatan ini baik-baik. "Oke, awalnya cuma sebatas itu, aku aktif sih waktu ospek sampai dapat beberapa hadiah karena jadi maba paling sering ke depan lah, maba paling —"
"Iya-iya tau! Udah deh gak usah sombong," potong Izora, lagi. Orang ini memang tidak ber-attitude ketika sedang marah, seenaknya memotong omongan orang. Kalau bukan istri, bukan Azra elus dahinya, tapi akan dia toyor sampai geger otak.
"Nah, si Mbak Inul —"
"Manggilnya emang Mbak gitu? Biar sama kayak panggilan kamu di rumah? Mas, Mbak?!"
Azra menghela nafas. "Sayanggg, biarin aku cerita dulu tanpa dipotong, boleh? Kamu ini marah-marah sendiri terus, giliran dijelasin malah kayak gini," ucap Azra menahan diri untuk tidak menaikan oktaf suaranya.
"Yaudah, maaf. Sok lanjutin."
"Si Inul ini kayaknya suka sama aku dari sana, tapi semua masih biasa aja. Sampai, aku daftar masuk BEM dan dia mulai deketin aku. Yang deketin aku bukan cuma dia btw, tapi yang berhasil deket dan bisa aku terima cuma dia." Azra tersenyum tipis melihat Izora yang menahan diri untuk tidak memotong ucapannya. Padahal, Azra yakin sudah banyak kata-kata mutiara yang ingin perempuan itu lontarkan.
"Dia itu kalau ngomong sama siapapun lembut banget dan sikapnya sangat keibuan, rambutnya panjang selalu digerai terus wang—"
Izora melepaskan pelukan Azra. "Kok malah puji-puji dia?!"
"Oke, yang bagus-bagusnya aku skip." Azra kembali menarik Izora yang sedang bersungut-sungut. Serba salah sekali manusia ini. "Karena dia lebih dewasa dari aku, aku jadi gak susah untuk ngertiin dia dan dia ini orangnya tenang banget. Yang ada malah dia yang lebih banyak ngertiin aku. Deket sama dia cuma beberapa bulan sih, tapi aku ngerasa ada yang beda. Aku jadi bisa manja —"
Tidak bisa! Izora sudah tidak bisa mendengarkan Azra yang menceritakan perempuan lain. Hati dan otaknya sudah sangat-sangat panas. "Udah lah gak usah diceritain, intinya kamu gak pacaran sama dia, kan? Terus, sekarang gak pernah ketemu lagi?"
"Iya. Lagian, waktu dia masih ada di kampus, kita udah gak pernah deket-deket. Aku bilang kalau aku udah punya kamu." Azra menatap Izora yang kini terdiam. "Udah, kan? Kamu jangan marah lagi, ya?"
"Bentar. Kamu pertama pacaran 'kan sama aku yang kayak gini — aku sadar diri ya. Terus baru ketemu perempuan lain dan sikapnya jauh beda sama aku? Jujur deh, sebenernya tipe cewek kamu kaya dia, kan? Kamu juga cape sama sikap aku yang masih kayak gini?"
Azra terdiam sebentar, berpikir. Sebelum akhirnya mengangguk.
"Sebenernya iya. Ada waktu dimana fisik aku lagi cape dan kamu suka tiba-tiba marah dan nyimpulin semua yang ada di pikiran kamu tanpa nanya yang sebenernya itu apa. Kayak kemarin sampai gak ngizinin aku tidur di kamar dan rasanya bikin tambah cape," jelas Azra berusaha jujur. "Tapi karena ini kamu, gak tahu kenapa tapi aku selalu bisa sabar, aku udah biasa aja dan ngerti, jadi gak apa-apa. Karena sekarang seluruh hidup kamu udah jadi tanggung jawab aku, mungkin udah waktunya untuk aku ngasih tahu kalau ada sikap kamu yang salah dan itu tugas aku untuk buat kamu lebih baik 'kan, Ra?"
"Jadi selama ini kamu sering cape karena sikap aku?" Azra gelagapan, takut Izora tersinggung dengan ucapan jujurnya. "Maaf ya karena sikap aku masih banyak jeleknya." Izora merangkum wajah Azra dengan kedua tangannya. "Aku mau kok kamu didik. Tapi pelan-pelan ya, Naka?"

KAMU SEDANG MEMBACA
GARIS BATAS [TAMAT]
RomanceBukan dunia atau tuhan yang tidak adil. Tapi, pilihan hidupnya yang salah. Tapi, tidak! Bukan hanya dia yang salah. Manusia yang tengah berdiri di depan sana dengan bahagia dan percaya diri itu juga andil dalam membuat masalah ini. Bedanya, dia haru...