16. consent and life choices

4.9K 202 4
                                    

"Gue mau nikah sama lo."

Azra yang sudah sampai di depan rumah Izora dan tengah melepas seat belt langsung terdiam mendengar ucapan Izora yang sangat tiba-tiba, matanya langsung berbinar dan menatap Izora tidak percaya. "Loh beneran? Kenapa tiba-tiba mau?"

Izora mengangguk. "Gue mau. Asal lo bisa jawab pertanyaan ini," jawab Izora. "Alasan lo mau nikah sama gue itu apa?"

Azra kembali terdiam mendengarnya, ini dia harus menjawab sampai bisa memenuhi ego Izora, kan? Salah jawab, bisa-bisa dia melajang seumur hidup. Azra masih terdiam, di kepalanya sibuk merangkai kata-kata yang akan dia keluarkan.

"Lama banget mikirnya!" ketus Izora seperti biasa.

"Bentar, Ra." Azra kembali melanjutkan kesibukannya, jari kakinya ia hentak-hentakan secara tidak sadar. Ternyata, menghadapi pertanyaan seperti ini secara tiba-tiba tanpa perencanaan cukup mengasah mentalnya.

"Kalau jawaban aku gak sesuai expect kamu, tolong tetep nikah sama aku, ya?"

"Gak, gue gak mau kalau gitu," tolak Izora langsung. "Cepet dong jawabnya, pengen rebahan nih."

"Bentar, sabar dulu. Antara hidup dan mati nih."

"Alay," cibir Izora.

"Oke, alasan pertama, aku memang harus nikahin kamu karena aku udah ngambil virginity kamu dan buat kamu hamil terus kesusahan sendiri. Aku salah dan harus bertanggung jawab untuk itu. Tapi lebih dari itu, aku juga cinta sama kamu. Kehilangan kamu dua tahun ini buat aku sadar kalau ternyata, hidup tanpa kamu itu gak seru dan sebagian dari diri aku kayak ada yang hilang, aku selalu butuh kamu. Dengan ataupun tanpa kejadian ini, aku tetep akan nikah sama kamu dan wujudin impian-impian yang kita buat dulu, kamu inget, kan?"

Izora menggeleng dan tentu saja itu hanya pura-pura, tidak ada hal yang bisa dia lupakan dari laki-laki ini, semua masih tersimpan rapat di ingatannya yang kecil.

"Lo memang udah siap dengan segala macam konsekuensinya kalau kita nikah? Mental dan fisik lo siap? Bukannya target lo nikah itu setelah lulus S2? Dan sekarang S1 pun, lo belum lulus."

"Kesiapan, ya? Siap gak siap aku harus siap sih, Ra. Walaupun keadaan saat ini gak sesuai rencana aku, bukan berarti aku gak mikirin ini. Kedepannya mungkin akan lebih banyak hal baru yang gak pernah aku duga bakal ngalamin, tapi seperti yang kamu mau dulu, aku siap jadi perisai buat kalian. Lagian, keadaan saat ini sudah lebih baik dibanding dulu, kan? Sekarang, aku udah lebih percaya diri, Ra. Asal ada dan bareng kamu, aku pasti bisa."

"Ternyata, aku juga menggantungkan diri sama kamu, Ra. Persis saat itu, kamu menggantungkan diri sama aku, tapi ternyata aku malah nyerah duluan dan kamu harus berjuang sendirian, maaf ya."

"Lo emang tega banget sih, amit-amit banget jadi cowok," caci Izora. "Tapi, yaudah lah, udah lama juga," lanjutnya membuat beban besar di hati Azra sedikit menghilang, bukankah artinya Izora sudah mulai mau memaafkannya?

"Jadi, gimana rencana lo setelah gue iyain ajakan lo itu."

"Ya ... Kita nikah?"

Izora mendengus. "Iya, tau! Maksud gue, apa persiapan lo sampai berani ngajak gue nikah, yang harus lo tanggung bukan cuma gue aja, tapi ada Meysi juga," jelas Izora. "Ya, gue tau keadaan lo sekarang itu masih jauh dari kata mapan, terus gimana, lo sanggup ngehidupin kita?"

"Sanggup. Kalo yang kamu takutin itu materi, kamu tenang aja. Dari beberapa minggu lalu aku beraniin daftar freelance di Upwork, gajinya lumayan banyak dan selalu aku tabung. Kamu gak lupa 'kan kalo aku juga bisa coding?"

"Ya enggak lah, orang dulu yang ngajarin lo 'kan Ayah gue."

Ini yang belum dibahas, dulu Izora tidak boleh berpacaran karena pasti setiap orang tua selalu khawatir dengan hal ini. Tapi, seperti banyak gadis yang selalu memaksa dan mengatakan bahwa dia mampu menjaga diri, Ayah mengizinkan. Tapi dengan syarat, kalo mau pacaran harus di rumah, agar tetap bisa Ayah pantau.

GARIS BATAS [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang