17

5.1K 240 22
                                    

Apartemen Gara tampak ramai, seperti biasanya di hari sabtu malam minggu. Komunitas atau semacam geng yang Gara ketuai selalu berkumpul di apartemennya sekadar mengobrol atau membahas lainnya. Namun sang pemilik apartemen tampak tak memiliki semangat mengobrol; mencicipi koka-kola.

"Gar, lo kenapa sih? Dari tadi diem mulu, kenapa?" tanya Tara menyadari gelagat aneh dari Gara. Tidak biasanya sang ketua bersikap diam saja.

"Lo kayak enggak tahu si Gara aja, Tar. Kalo dia diem berarti ada masalah di keluarganya," sahut Joni membenarkan.

Sementara Ferdi hanya diam menyimak, sebenarnya dia juga merasa aneh dengan sikap keterdiamannya Gara. Aneh, satu kata yang ada dalam benak Ferdi saat melihat Gara.

Risi dengan berbagai pertanyaan mengenai dirinya. Dia bangun dari duduk, berjalan menjauh dari apartemennya sendiri menuju luar. Sungguh pikiran dia benar-benar kacau, sang papa selalu bisa membuat pikiran Gara tak tenang.

Apalagi ditambah bayangan Aishwa selalu saja terlintas dalam pikirannya. Semakin Gara mengusir bayangan wajah itu, semakin dia mengingat kepada Aishwa. Terlebih mengingat petang menuju malam. Seulas senyum seringai terbingkai di wajah.

"Aishwa," gumam Gara.

"Sangat menarik benar-benar menarik," lanjut Gara. Berjalan ke arah lift, baru saja ingin masuk dering ponsel berbunyi menandakan ada panggilan masuk.

Gara berdecak kesal mengetahui siapa yang memanggilnya—sang mama. Pasti wanita cerewet itu sedang disuruh oleh sang papa untuk meneleponnya, lalu menyuruh pulang. Gara bimbang antara menjawab atau mematikannya.

Langkah Gara masuk ke lift sana, mengabaikan panggilan masuk yang berulang-ulang. Sangat menganggu, dia mengangkat panggilan itu dengan perasaan dongkol. Benar-benar menyusahkan saja.

"Apa?" Bukannya memberi salam atau berucap sopan santun. Gara justru menyentak.

Embusan napas kasar terdengar dari ujung telepon sana.

[Kamu di mana? Pulang, papa kamu ingin berbicarakan sesuatu!]

Suara itu begitu penuh penekanan di indra pendengaran. Gara berdecak kesal, dia memutuskan sambungan telepon begitu saja. Lalu keluar dari lift menuju basement apartemen di mana mobil milik terpakir.

Gara tahu apa konsekuensinya jika tidak datang saat sudah diperintah oleh sang mama. Lebih baik menurut daripada dia jadi anak gelandangan nantinya.

"Menyebalkan!" ketus Gara kepada dirinya sendiri.

***

Aishwa bersembunyi dibalik punggung sang kakak. Takut berhadapan dengan sang papa, apalagi menatap wajah penuh kilatan emosi dari sang papa. Dia meremas ujung kaos milik Rajendra. Tidak sanggup menerima berbagai perlakuan kasar atau mendengar hal buruk mengenai dirinya.

"Katakan siapa anak yang sedang dikandung itu, Aishwa!" teriak Farhan murka. Baru saja dia sampai di rumah, dia sudah dikejutkan oleh berita kehamilan anak gadisnya.

Sangat malu dirasa oleh Farhan. Dia jadi merasa gagal mendidik anak-anaknya sendiri. Belum lagi dia harus menutup telinga mendengar ocehan para tetangga dan kerabat jika berita kehamilan Aishwa menyebar begitu saja.

Tubuh Aishwa bergemetar takut. Cengkereman di kaos Rajendra semakin kuat. Rajendra melirik ke arah kaosnya, lalu menatap sang papa.

"Percuma berteriak dan marah, semuanya sudah terjadi. Membuang tenaga saja," ucap Rajendra.

Rajendra merasa kalau emosi tidak akan pernah menyelesaikan satu masalah saja, yang ada malah semakin panjang. Dia berjalan mendekati sang papa, menatap laki-laki paruh baya itu dengan penuh harap.

Kesucian yang ternodaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang