2. the biggest wound

9.8K 431 21
                                    

Melihat bocah perempuan itu menangis karena tidak mau ditinggalkan, membuat Izora ingin ikutan menangis. Masalahnya adalah, hari ini masih ospek hari kedua. Sebagai mahasiswa baru yang tidak boleh melakukan kesalahan barang sedikitpun — jika tidak ingin kena hukuman dan gara-gara Meysi menahannya sekarang, Izora berpotensi akan datang terlambat.

"Mey udah dong, jangan nangis, nanti aku pulang lagi kok," bujuknya dengan mata yang sudah berkaca-kaca.

Bayi itu menggeleng sambil memeluk lehernya lebih erat. "Mama, gimana dong? Aku kalo telat bakal dihukum nih," adunya pada Mama yang ikut mengelus-elus punggung cucunya yang tengah menangis tersedu-sedu itu.

"Mey, nanti kita jajan balon sama es krim mau? Nanti Oma beliin yang banyak deh ..." Meysi tetap menggeleng. Tidak terpengaruh dengan rayuan basi itu. "Yaudah kamu pergi aja sana, Vel. Ini bayi kalo gak dipaksa bakal nempel terus."

Izora melepas paksa tangan Meysi di lehernya lalu berlari untuk keluar rumah secepat kilat. Dan suara tangis Meysi terdengar lebih keras dari sebelumnya. Tapi, walaupun tidak tega Izora tetap melangkah keluar meninggalkannya. "Ayah, pake motor aja anterinnya. Kalo pake mobil bakal telat," kata Izora saat melihat Ayahnya duduk di kursi kemudi tengah memanaskan mobil.

"Oh gitu, Vel? Yaudah bentar Ayah panasin dulu."

Izora memakai sepatu hitamnya dan mengecek semua barang yang tidak boleh ketinggalan. Sampai sang Ayah menyuruhnya untuk segera naik motor. Ayah segera menjalankan motornya membelah jalanan. "Meysi tantrum banget hari ini, Vel," kata Ayah membuka pembicaraan.

Izora mengangguk setuju. "Iya mungkin karena dia belum pernah aku tinggalin lama kali, Yah."

Selama dua tahun ini Izora memang selalu berada di rumah, tidak sekalipun dia keluar rumah karena memang tidak ingin. Setiap membutuhkan sesuatu, dia akan membelinya secara daring. Maka dari itu, selama ini waktunya selalu full bersama bayi-nya. Hanya saja keadaan sekarang berbeda. Izora harus keluar rumah untuk melanjutkan kehidupannya sebagai manusia normal.

Jadi, tidak heran jika putri satu-satunya itu akan tantrum dan menangis sekeras itu saat dia tinggalkan. Mengingatnya, Izora jadi sedih. Kunti bogel kemasan sachet, ah ... dia jadi merindukannya. Intensitas bersama beberapa hari ini memang sedikit berkurang karena Izora yang sibuk menyiapkan segala perlengkapan ospeknya.

"Nanti pulang jam berapa, Vel? Biar Ayah jemput."

"Sore kayak kemarin sih harusnya, tapi gak usah dijemput lah, Yah. Aku naik ojol aja."

"Ayah ada meeting nanti siang sampai sore di sekitaran kampus kamu, nanti biar sekalian Ayah tungguin."

"Yaudah." Izora tersenyum. Ayah dan Mamanya tetap sangat baik dan menyayanginya setelah apa yang terjadi dua tahun silam. Padahal saat itu, raut kecewanya nampak jelas, bagaimana Ayah yang tidak pernah terlihat sedih dan selalu gagah itu terlihat lemas dengan mata berkaca-kacanya. Bagaimana Mama yang selalu berisik dan ceria tiba-tiba menjadi pendiam. Tapi entah terbuat dari apa hati mereka, Ayah dan Mama tidak pernah menghakimi Izora, bahkan mereka men-support Izora di saat gadis itu benar-benar merasa dunianya kiamat.

Beralih dari topik itu, biar kita jelaskan. Vel, adalah panggilan Izora di rumah — Ravel. Ravel diambil dari nama depannya, Laravelia. Ayahnya adalah seorang programmer, makannya jangan heran jika Ayah menamainya dengan salah satu framework pemrograman itu.

Keberuntungan sedang tidak berpihak padanya, karena saat Izora melihat jam tangannya, waktu menunjukan bahwa dia telat satu menitan. Telat beberapa detik saja, tetap akan dapat hukuman. Apalagi satu menit.

"Ayah, udah telat gimana dong?" Izora menghentak-hentakan kakinya panik. Kebisaannya dari lama yang tidak bisa hilang.

"Tenang dulu tenang. Ayo Ayah anterin masuk ke dalam."

GARIS BATAS [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang