Jalur Trans Barelang yang luar biasa mulus membawa Dimas berkendara lebih cepat dari biasanya. Pemandangan yang semula berupa susuran batas jembatan tak lama berganti. Barisan pohon-pohon di kanan kiri berkelebat menemani sisa perjalanannya. Sekali lagi Dimas memeriksa lokasi Eja yang Nala kirimkan di ponsel Raihana, menelan air liur, merasa gugup seiring mobil yang dikemudikannya bergerak semakin dekat dengan tempat tujuan.

Di suatu persimpangan Dimas berbelok memasuki kawasan tak beraspal. Sunyi menyambutnya di sepanjang jalan berkelok yang dia lalui. Sedari tadi tak ada satu pun kendaraan yang melintas di jalan itu selain dirinya. Membuat dia merasa sedikit waswas. Selagi matanya bergulir memantau situasi di sekitar, Dimas menambah kecepatan hinggs lambat laun, dari kejauhan dia melihat sebuah bangunan tampak mengintip di balik pucuk pepohonan. Wujud bangunan itu semakin menjelas di depan mata ketika Dimas akhirnya tiba di pelataran parkir yang tersusun dari batu terakota. Barang sesaat diawasinya bangunan bertingkat empat itu. Wajahnya tampak masih sangat baru. Dipulas menggunakan cat berwarna putih pucat. Usai memarkir mobil, Dimas bergegas memasuki lobi. Dia tidak menemukan siapa pun di meja penerima tamu. Mencoba memanggil seseorang, tetapi hanya sunyi yang menjawabnya.

Tanpa ragu Dimas melangkah masuk lebih jauh. Merasakan hawa mencekam yang begitu kental dan tak terjelaskan dari mana datangnya mengelilingi tiap sudut tempat itu. Satu per satu anak tangga disusurinya, ruangan demi ruangan diperiksanya, tetapi tak ada tanda-tanda keberadaan seseorang pun di sana. Membuat rasa cemas dan gelisah itu semakin kuat meliliti dirinya. Mencekik lehernya sampai-sampai Dimas harus berkali-kali menelan ludah.

Dimas memicingkan mata. Satu pemandangan ganjil di balik kelokan selasar tak sengaja ditemuinya saat dia memandang berkeliling. Di sana, dia mendapati sebentuk tangan manusia tampak terkulai di atas lantai. Telapaknya berwarna putih pucat seperti mayat. Dimas berlari cepat untuk memeriksanya, menghampiri seorang pria yang tengah terbaring kaku dengan wajah menghadap dinding selasar. Lekas dibaliknya tubuh pria itu. Di bagian dadanya tersemat papan nama dengan tulisan G. Lazuardi. Pria itu tampaknya belum lama tewas. Suhu tubuhnya masih hangat saat Dimas menyentuh bagian kulitnya yang telanjang. Darah mengalir turun dari leher pria itu menuju pakaian khas seorang dokter yang dikenakannya. Dan Dimas tercengang, hatinya ikut mencelus ketika menemukan bolpen berukir nama Nala berdiri tegak menembus leher pria itu.

"Apa mungkin ... Eja yang membunuhnya?" Pikiran keji itu mendadak muncul, lalu Dimas menggeleng, tidak sanggup membayangkan Eja melakukan itu. Dia masih berjongkok di dekat mayat Lazuardi, mencari-cari sesuatu, hingga tak lama dia menemukan bekas alat suntik tersembunyi di antara celah kaki pria itu.

Dimas membatin, bagaimana ini? Apa yang harus dia lakukan? Kalau Eja sampai membunuh seseorang .... Tidak! Dimas buru-buru menyangkal praduga itu dari dalam pikirannya. Namun, nalurinya sebagai seorang penyidik tak kuasa menghindari segala kemungkinan yang bisa saja terjadi. Dalam keadaan terjepit, Eja bisa saja terpaksa menghabisi nyawa Lazuardi sebagai upaya untuk membela dirinya. Maka, dengan penuh pertimbangan dan ketakukan akan masa depan Eja yang semakin terpuruk, Dimas mencabut bolpen itu dari leher Lazuardi, lalu menyembunyikannya di saku celana. Sementara bekas alat suntik itu, dibawanya berlari menyusuri selasar. Dimas memanggil-manggil nama Eja, tak terhitung lagi sudah berapa banyak jumlahnya. Harapannya menciut ketika Eja tidak kunjung menyahut.

Ucapan Agam kini bagai teror yang membuat jantungnya berdetak seakan hendak mendobrak dada. Dimas baru saja melihat mayat. Eja bukan lagi mungkin dalam bahaya, tetapi dia benar-benar sedang dalam bahaya.

"Eja!" suara Dimas terdengar sedikit bergetar, membayangkan kengerian macam apa yang harus Eja lalui di tempat terkutuk ini. Dimas bertanya-tanya: mengapa sejak tadi tak ada seorang pun yang dapat dijumpainya di tempat ini? Dan ke mana perginya para petugas serta penghuni tempat rehabilitasi ini?

SIGNAL: 86Where stories live. Discover now