Bunyi ketukan bolpen di meja terdengar teratur di sebuah ruangan yang begitu nyaman, kantor presiden direktur. Tempat yang lebih luas dibandingkan ruangan lain dengan ruang istirahat dalam di balik pintu lainnya, sofa berukuran lebar, dan karpet beludru kualitas terbaik terbentang di lantai.
Satu-satunya orang yang berada di sana sedang duduk di balik meja kebesaran sambil memikirkan sesuatu. Setumpuk berkas yang menunggu untuk disentuh itu bahkan tak dilirik sama sekali. Sudah hampir tiga jam, tetapi penunggu ruangan tersebut tidak bergerak selain mengetukkan ujung bolpen di meja.
Tatapan mata Orias kosong, menebak apa yang terjadi pada Luna. Raut wajah gelisah dan ingin menangis dari perempuan yang tinggal beberapa bulan lagi akan menjadi istrinya itu terbayang sepanjang waktu. Sejak kemarin, sekuat mungkin dia menahan diri untuk tidak menghubungi perempuan itu dan menanyakan kabar. Akan tetapi, keputusan itu salah, ia justru semakin kepikiran.
Orias menghela napas, entah kenapa dia semakin sering memikirkan Luna. Tiba-tiba bunyi pintu diketuk, laki-laki itu dengan cepat membuka salah satu berkas di meja yang ada ditumpukkan paling atas seperti seorang murid yang takut ketahuan tidak memperhatikan pelajaran. Entah kenapa dia harus melakukan itu padahal ia adalah bosnya. Setelah mempersilakan orang di luar masuk, sosok tinggi Farel muncul dan mendekat ke meja untuk meletakkan berkas baru di sana.
"Ini adalah laporan keuangan untuk bulan ini," katanya.
Orias mengambil dan membubuhkan tanda tangan di sana lalu menyerahkan kembali pada Farel. "Ada jadwal apa saja hari ini?"
"Ada rapat dengan direktur pemasaran serta membahas tentang cabang baru kita."
Orias mengangguk-angguk kemudian menutup berkas yang tadi dia gunakan untuk alasan bekerja. "Katakan pada mereka, rapat akan diganti lewat video call nanti malam, lalu kirim semua berkas-berkas ini ke rumah. Aku harus pergi, ada urusan." Seraya bangkit dari duduknya.
Farel sedikit membungkukkan badan ketika Orias melewatinya lantas keluar dari ruangan.
***
Setelah keluar dari salah satu kamar pasien, Luna menyusuri koridor dan kembali ke ruangannya. Sepanjang jalan dia tersenyum membalas sapaan beberapa keluarga pasien. Dibalik sikapnya yang terlihat tenang, diam-diam dokter cantik itu memikirkan kejadian saat di depan toko kue.
Luna tidak menyangka jika akan bertemu 'laki-laki itu' di sana. Seseorang di masa lalu yang sudah menorehkan sejarah tentang mimpi dan cinta. Sudah sekian lama, sejak terakhir kali mereka bicara sekaligus mengakhiri segala hubungan di antara mereka.
Kapan dia kembali?
Luna menghela napas. Hatinya benar-benar terasa kacau memikirkan itu.
"Dokter Luna, aku pikir akan mulai jarang bertemu denganmu karena segera menikah." Dokter Gunawan, senior yang memiliki tubuh paling subur di rumah sakit menghentikan Luna saat mereka berpapasan.
Luna memasukkan kedua tangan di balik jas. Bibirnya menyunggingkan senyum, balas menyapa, "Aku akan tetap bekerja sampai hari pernikahan."
"Wahh, pasti melelahkan. Aku dengar calon suamimu seorang presdir. Seharusnya kamu tidak perlu bekerja lagi atau bahkan bisa membangun rumah sakit sendiri nanti," kata Dokter Gunawan dengan tawa lebar yang hanya dibalas senyuman kecil oleh Luna. "Kalau begitu jaga kesehatanmu, jangan sampai sakit." Setelah mengatakan itu dokter tersebut kembali melanjutkan perjalanan .
Luna masih diam di tempat. Membangun rumah sakit sendiri? Kemarin Orias juga mengatakan hal yang sama. Bagaimana jika nanti dia memang memilikinya sendiri?
"Dokter itu tampan sekali. Aku baru melihat laki-laki setampan dia."
Pemikiran Luna tentang rumah sakit buyar saat tidak sengaja mendengar obrolan dua orang perawat yang lewat di koridor. Ekspresi mereka begitu gembira ditambah bibirnya membentuk senyuman lebar saat membicarakan orang yang dimaksud.
"Tenang saja, kita akan sering melihatnya. Aku dengar dia dokter baru di sini," ujar perawat satunya.
Ketika melewati Luna, mereka sempat menyapa kemudian melanjutkan topik pembicaraan obrolan tadi.
"Aku tidak tahu jika ada dokter baru," gumam Luna.
Sampai di depan pintu ruangannya, kaki Luna terpaku di tempat. Tatapan perempuan itu tertuju pada seseorang yang berdiri tidak jauh dari sana. Jantungnya berdegup kencang dengan bibir mengatup rapat. Sebuah ingatan masa lalu kembali berputar mengingat saat itu.
"Setelah aku menjadi dokter nanti, aku ingin kita bekerja di rumah sakit yang sama," kata Luna saat duduk di bangku taman milik kampus.
Tatapan matanya berbinar menatap laki-laki tinggi, putih, dengan rambut belahan tengah yang selama ini memberi semangat untuk mencapai cita-cita. Tangan laki-laki itu mengusap lembut puncak kepala Luna membuat gadis tersebut tersenyum lebar.
"Setelah menjadi dokter, aku ingin melamarmu," ujar lelaki itu.
"Janji?" tantang Luna seraya mengangkat jari kelingkingnya lalu dibalas oleh lelaki tersebut.
Saat itu semua terlihat indah dan mimpi seolah menjadi nyata. Luna dapat melalui kuliahnya dengan mudah sebab ada penyemangat yang terus menemani. Segalanya tidak ada yang sulit dan waktu berjalan cepat. Kehidupan sebagai mahasiswi kedokteran berlangsung penuh kenangan manis.
Waktu terus berlalu, saat Luna hampir menyelesaikan kuliah tiba-tiba dia mendapat kabar bahwa kekasihnya akan pergi ke luar negeri. Dia yang sedang menjalani masa magang di sebuah rumah sakit, mengejar lelaki itu sampai di bandara masih mengenakan jas putihnya. Untuk pertama kali rasa takut kehilangan dan cemas menggelayuti, ia takut ditinggal seorang diri.
"Apakah harus pergi?" tanya Luna yang merasa putus asa saat akan ditinggalkan begitu saja. Mereka berdiri di depan pintu masuk sebelum lelaki itu naik ke pesawat.
Lelaki itu mengangguk lemah seakan bukan Luna saja, tetapi dia juga enggan untuk berpisah.
"Sampai kapan?"
Laki-laki itu tampak ragu menjawab pertanyaan Luna. "Aku pasti akan kembali. Saat itu, kamu harus menjadi dokter sehingga kita bisa bekerja di rumah sakit yang sama."
Luna benci perpisahan, lebih lagi jika tidak tahu sampai kapan. Air mata jatuh seiring hatinya yang tak rela ditinggalkan. Tanpa sadar, sebuah tangan membingkai wajahnya. Dengan tatapan rasa tidak berdaya, dia menatap manik yang sebentar lagi sulit untuk ia jumpai.
"Aku pernah berjanji, setelah lulus kuliah menikahimu. Jadi, tunggu dan lakukan yang terbaik."
Kalimat itu yang menjadi penyemangat baru bagi Luna. Satu kalimat perpisahan sekaligus harapan baru. Dia melewati setiap harinya dengan berpegang teguh pada janji yang sudah dibuat oleh orang yang sangat berarti. Bertahan dan menunggu dalam waktu yang tidak sebentar.
Luna memperhatikan laki-laki di hadapannya kini. Tidak banyak yang berubah, senyum yang masih begitu hangat, tatapan mata yang menenangkan. Sosok pujaan hati yang pernah bertahan cukup lama.
Tiba-tiba Luna terkejut saat matanya menangkap sesuatu yang lebih menarik perhatian. Jas yang sama serta tanda pengenal di dada, Dr. Luis Syahputra. Apakah dokter baru yang dimaksud para perawat tadi adalah dia?
"Luis," panggil Luna tanpa sadar.
Luis tersenyum semakin lebar, senang dapat mendengar lagi suara Luna yang menyebut namanya. "Apa kabar, Luna?"
"Kamu juga dokter di sini?" Luna berbalik bertanya mengabaikan pertanyaan Luis.
Luis maju satu langkah, berdiri kurang dari satu meter dengan Luna. "Iya, mulai hari ini."
Mata Luna memicing. Apa dia berniat menepati salah satu janjinya? Sudah terlambat.
Kedua tangan Luna mengepal erat. "Kalau begitu selamat." Dia segera masuk ke dalam ruangan, tetapi tangan Luis dengan cepat menahannya.
"Aku minta maaf!" ujar Luis cepat. "Aku ... tidak memberi kabar apa pun padamu."
Luna mendengkus lalu memutar badan hingga mereka saling berhadapan. "Apa kamu tahu, berapa lama aku menunggumu? Empat tahun dan sekarang tiba-tiba datang di hadapanku seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Luis, ini tidak ada gunanya."
"Aku tahu kalau salah. Bisakah kamu memberiku kesempatan memperbaikinya?"
Luna menatap tajam. Ada banyak alasan dan luka yang membuat laki-laki itu tidak termaafkan. Sekarang, dengan mudah dia meminta untuk diberi kesempatan. "Kamu tidak bisa datang dan pergi seenaknya, Luis. Apalagi ini sudah terlalu lama."
KAMU SEDANG MEMBACA
Akhir Sebuah Rasa (Terbit)
RomanceLuna tidak pernah berharap jika pernikahan hasil dari perjodohannya akan berjalan bahagia, tetapi dia juga tidak menginginkan apabila suatu hari pernikahan itu harus dibatalkan. Dia harus menentukan, menikah atau mengorbankan perasaan selama sisa hi...