13. Arti Sebuah Melepaskan

Mulai dari awal
                                    

"Bisa nggak sih lo bangkit dari kubur sebentar aja? Bisa nggak lo menjawab semua pertanyaan gue secara langsung?"

Kemudian ia menerawang langit dengan sepasang mata yang memburam.

"Karena cuma lo doang yang bisa ngertiin gue."

Akhirnya, Nana hanya bisa menghela napas panjang. Kemudian kembali melangkah sebab hari yang mulai petang.

○○○》♡♡♡《○○○

Di sebuah sore yang temaram, Rinso berjalan menyusuri jalanan komplek yang lenggang. Dia baru saja kembali menonton pertandingan futsal antara RT 4 dengan RT 6. Kalau bukan karena Cetta dan Jaya yang bertanding mewakili RT mereka, sebenarnya Rinso malas sekali menonton pertandingan seperti ini. Untungnya, RT 6 yakin RT mereka memenangkan pertandingan masuk final. Minggu depan mereka akan bertanding lagi, melawan RT 1.

Sepanjang perjalanan, Rinso memandangi jalanan dengan gamang. Dulu, ia pernah melewati jalanan ini bersama seekor kucing kampung yang pernah ia pikirkan siang dan malam. Sore ini, ia menapaki jalan ini sendirian. Kucingnya Pak Samsudin, Bimo, mungkin tidak kalah keren. Bimo adalah kucing angora. Bulunya putih bersih seperti bunga kapas. Sepasang matanya berwarna biru terang . Tidak seperti Bambang, Bimo punya suara erangan yang jauh lebih merdu. Meski akhirnya jalinan tali kasih antara dia dan Bimo kembali kandas, Rinso tidak pernah menyesal telah mencintainya.

Tapi lebih dari Bimo, ternyata segala hal tentang Bambang tertinggal jauh lebih lama dalam ingatannya. Rinso masih ingat, bagaimana Bambang memintanya datang ke pos ronda dan memberinya sepotong ikan tongkol sebagai hadiah ulang tahun. Sayangnya, hari itu telah lama usai. Kini segalanya hanya tinggal kenangan.

Lama tidak bertemu karena Mas Jovan tidak pernah mengijinkan Bambang untuk datang, terkadang Rinso dihantui rindu. Sesekali ia berharap di tengah malam, di tengah erangan anak-anaknya yang minta disusu, Bambang datang melompat dari loteng. Sekadar melihatnya dari luar jendela, melambai dan berbisik, "Aku di sini."

Tapi Bambang tidak pernah melompat dari loteng meskipun ia telah menunggu sepanjang malam. Kucing itu ternyata tidak berniat memperjuangkan dirinya. Lantas, apa yang bisa Rinso lakukan? Tidak ada. Pilihannya hanya melepaskan dan melanjutkan hidupnya seperti sedia kala.

Sore ini, di jalan ini, mungkin takdir sedang ingin bercanda dengannya. Di bawah semburat oranye langit senja, ia menemukan kucing jantan itu di seberang jalan... bersama kucing betina lain. Kucing ras angora dengan bulu senada dengan warna langit sore itu.

Rinso berhenti berjalan, begitu pun dengan Bambang. Kucing betina berwarna jingga di sebelahnya mengeong lembut, mungkin berkata, "Ada apa?" tapi Bambang tidak menjawabnya. Segala hal di sekitar mereka seakan-akan berhenti bergerak. Mereka saling menatap satu sama lain.

Tidak ada yang bisa mereka katakan. Jarak di antara mereka terlalu jauh hanya untuk menanyakan kabar satu sama lain. Akhirnya, mereka hanya saling terdiam di jalan masing-masing. Rinso yang hendak berjalan pulang ke arah selatan, sementara Bambang entah mau pergi kemana ke arah utara.

Mungkin ada banyak hal yang ingin Bambang katakan padanya, tapi Rinso memilih untuk mengalihkan pandangannya lebih dulu. Hingga dengan penuh keyakinan, ia mulai mengambil langkah maju. Sampai suara Bambang terdengar jelas di telinganya, mengeong dari seberang jalan bermaksud memanggilnya. Tapi Rinso hanya berhenti sejenak, menoleh dengan tatapan sendu, sebelum akhirnya benar-benar meninggalkan Bambang bersama kucing betina yang entah siapa namanya.

"Sudah tidak ada lagi yang bisa kita lanjutkan. Semuanya telah selesai. Aku hanya berharap, kita bisa bahagia dengan jalan yang sudah kita pilih sekarang." Rinso mengeong lirih, berjalan semakin jauh meninggalkan Bambang yang kini hanya bisa menatapnya dalam kesenduan. Seakan menyesal telah meninggalkannya selama ini.

Narasi, 2021✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang