9). What if...?

237 62 64
                                    

To make your dreams come true, I'll just watch you from here. -F.M.

*****

"Morning, Luna. Eh, lo kenapa?" tanya Yoga ketika melihat raut wajah Luna yang berbeda dari biasanya pagi ini. Cowok itu hendak bertanya lebih lanjut, tetapi ekor matanya menangkap ekspresi Nara dari bangku belakang yang sekarang main mata dengannya, memberikan isyarat supaya Yoga membiarkan Luna dalam dunianya sendiri terlebih dahulu.

"Luna lagi PMS. Lo lebih baik cari aman aja." Virga memberitahu Yoga dengan bisikan yang hampir tidak jelas karena takut kalau-kalau Luna menolehkan kepalanya dan menatapnya dengan tatapan yang jauh lebih menakutkan daripada makhluk bayangan. "Trust me, you'll be regret after seeing her anger!"

Yoga lantas menganggukkan kepalanya nurut, sementara Nara mengerjapkan matanya berkali-kali hingga seperti orang bintitan tatkala memperhatikan ada perubahan spesial dari Yoga.

Kacamata yang biasa bertengger di atas hidungnya sekarang telah hilang, yang justru semakin menambah visual Yoga dengan sangat ekstrim.

"Ngomong-ngomong, penampilan lo jadi kece gini deh. Gue syukaaaak banget!" puji Nara dengan ekspresi seperti anak kecil yang lantas mendapat hadiah pelototan dari Virga.

"Oh. Jadi udah berani nikung terang-terangan?" tanya Virga dengan nada berbahaya sementara Nara mengedipkan sebelah matanya dengan nakal pada pacarnya.

"Sori, aku susah nahan diri kalo liat cowok bening dikit. Nggak apa-apa kali ya, cuma cuci mata nggak dosa, kan?" tanya Nara dengan ekspresi imut, membuat Virga tidak jadi marah padanya.

Kekuatan cinta rupanya bisa sedahsyat ini ya.

"Gue rasa penilaian lo bener soal kacamata," kata Yoga yang memberanikan diri untuk mengajak Luna berbasa-basi, sedangkan yang diajak berbicara sekarang tampak berusaha tersenyum meski suasana hatinya belum sebaik itu.

"Iya ya. Lo jadi lebih keren sekarang," respons Luna akhirnya setelah merasa kalau mengabaikan Yoga bukanlah tindakan yang baik. "Lo pake softlens dong, ya?"

Yoga menggeleng. "Mata gue normal, kok. Gue cuma selalu merasa lebih pede kalo pake kacamata, meski ternyata gue baru sadar kalo itu malah memperburuk penampilan gue."

Luna tersenyum, merasa kalau senyuman dan keramahan Yoga seperti obat untuk suasana hatinya. Mendadak dia merasa agak menyesal dengan takdir yang telah digariskan dalam hidupnya belakangan ini, lebih tepatnya sejak dia memutuskan untuk melepas Ferdian Michiavelly dari prioritas utama hidupnya.

"Ga."

"Hmm?"

"Menurut lo, andaikan gue nyerah sedari awal, apa gue bisa lebih cepat ketemu sama lo?" tanya Luna secara tidak terduga, karena ekspresi Yoga sekarang terlihat begitu syok. Mulutnya bahkan dibiarkan terbuka selama beberapa saat hingga tidak sadar kalau bel masuk telah berdering.

"Mak-maksud lo?"

"Gue baru menyadari eksistensi lo setelah lo pindah ke kelas ini. Gue sempat bertanya-tanya apakah ini karena gue terlalu fokus dengan apa yang gue genggam hingga nggak nyadar kalo selama dua tahun penuh, gue satu sekolah sama lo? Gue jadi merasa malu sama diri gue sendiri waktu pertanyaan itu melintas dalam benak gue. Jadi gue tanya sama lo, menurut lo, apakah jalan ceritanya akan berbeda kalo kita ketemu lebih awal?"

Guru pelajaran pertama belum masuk, yang menjadi kesempatan bagi Yoga untuk melanjutkan obrolan ini karena dia merasa mendapatkan titik terang dari hubungannya dengan Luna. Dia lantas memutar tubuhnya menghadap cewek itu dan menatapnya dengan tatapan yang serius.

I'm Down For You • AGAPE [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang