BAB 05 MENCOBA MENGERTI

10.3K 2.3K 172
                                    


NOVAN POV

"Oiii... susah bener dicariin. Kemana aja sih Van? o lupa gue, udah ada bini ya sekarang?"
Suara itu mengganggu dari buku yang sedang aku baca. Aku sudah ada di rumah, tempat yang selama dua tahun ini aku gunakan untuk tidur, belajar dan makan. Pokoknya rumah milik Papa ini memang aku tempati sejak aku pulang dari Inggris. Tempat bersembunyiku dari Nara, istriku. Aku merasa sangat bersalah saat ini kepada Ara. Dia masih mendiamkanku, ngomong juga seperlunya saja. Bahkan tadi saat aku ajak pulang ke sini, dia lebih memilih pulang ke rumah Tante Imel. Katanya dia masih harus membiasakan diri lagi, karena selama dua tahun Ara sudah hidup dengan mandiri. Dan memang aku bisa melihat kalau Ara sudah dewasa saat ini. Tidak seperti saat terakhir aku meninggalkan Ara dua tahun yang lalu.

"Udah tahu masih nanya," jawabku akhirnya saat Mahardika duduk begitu saja di sofa yang ada di ruang tengah tempat aku bersantai dan nonton televisi ini. Mahardika itu sahabatku sejak dari awal masuk ke kampus. Maka saat kemarin Ara mulai ikut ospek aku menitipkan Ara ke Mahardika. Dia juga tahu kalau Ara itu istriku, Mahardika tahu semua ceritaku.

"Yeeee ngambek lu. Owh iya bini lu yang manis mana? Kok kagak ada? Jangan-jangan lu umpetin di dalam kamar?"
 Mahardika sudah celingukan dan kemudian menatapku lagi.

"Ara nggak mau pulang ke sini."

Jawabanku membuat mata Mahardika melebar. Dia bahkan kini memajukan tubuhnya untuk lebih dekat ke arahku, aku langsung mendorong tubuhnya.

"Apaan sih? Jauh-jauh deh."

 Dia menyeringai lebar dan kini menjauh tapi masih menatapku dengan penasaran.

"Loh masih ngambek apa gimana?"

Kuanggukan kepala lagi dan kini meletakkan buku yang masih aku pegang ke atas meja. Kuhela nafasku dan kini menyugar rambutku. Aku bingung.

"Dik, ngerayu cewek pake apa?"
Mahardika yang masih menatapku serius malah seketika menggelengkan kepala, dia mulai mengambil kacang atom yang ada di dalam toples.

"Ehm gue kagak pernah ngerayu cewek, yang ada gue yang dirayu."

semprul.

Dia cengengesan saat aku melotot ke arahnya, tapi kemudian dia mulai bersandar di sofa dan mengunyah kacang yang dimasukkan ke mulutnya. 

"Ehmmm, gimana bisa gue kasih lu saran. Lha gue belum pernah nikah, lu kan yang udah. Mungkin di atas kasur..."

Aku langsung melempar bantal duduk ke arah wajah Mahardika dan dia terkekeh. 

"Nggak usah mancing-mancing. Udah tahu aku itu belum sampai tahap itu sama Ara. Kami itu pacaran, orang pacaran gimana sih?"
Alis Mahardika terangkat satu.

"Tapi pacaran halal gitu loh Dik. Aku jagain Ara banget, dia masih polos dan masih kecil. Aku ingin keintiman itu besok saat Ara udah siap."

Mahardika masih manggut-manggut dan mengunyah kacangnya.

"Jadi Ara masih perawan ya? Duh si mamas ini kok ya betah gitu. ckckckck salut gue."

Omongan nggak guna ini mah sama si Dika. Aku kembali menghela nafas dan kini menatap jam yang melingkar di tangan. Tadi janji sama Ara, makan malam aku akan menjemputnya lagi. Aku ingin bicara lebih banyak dengan Ara. Setidaknya kalau dia belum bisa menerimaku kembali, aku masih bisa bertemu dengannya setiap hari.

***** 

Pukul setengah 8 aku sudah sampai di rumah Tante Imel. Tapi Tante Imel mengatakan kalau Ara sudah tertidur, katanya kecapekan. Tentu saja aku langsung berpamitan untuk masuk ke dalam kamar Ara. Benar saja, aku menemukan Ara sudah meringkuk pulas di atas kasur. Aku melangkah mendekati kasur dan kini duduk di tepinya. Merapikan selimut dan mengusap rambut Ara dengan sayang.

"Maafin Kakak ya Ra, maaf banget. Kakak nggak maksud untuk membohongi kamu." Aku menghela nafas dan teringat saat dulu aku pulang ke sini. Tapi saat itu permintaan Mama  dan Papa langsung agar aku tidak mengganggu Ara. Dia lagi giat-giatnya belajar, Mama Papa takut kalau Ara tahu aku kembali ke Indonesia, pendidikan Ara akan diabaikan, dan juga Mama takut Ara hamil terlebih dahulu sebelum dia lulus SMA. Orang tua dan kekhawatirannya. Maka aku menyetujui semua itu, untuk kebaikan Ara. Dan nyatanya memang berhasil, aku menjauh, Ara bisa masuk fakultas MIPA dengan nilai bagus, apalagi lolos seleksi masuk perguruan tinggi terbaik di kota ini. Bukankah pengorbananku ini berhasil? Tapi aku juga bisa mengerti kekecewaan Ara.

Aku baru akan beranjak dari dudukku saat tanganku tiba-tiba ditarik oleh Ara. 

"Kak, jangan tinggalin Ara lagi. Ara nggak mau... Ara..."

Mataku membelalak mendengar suara Ara. Mata dia masih terpejam, dan dia masih tertidur. Mengigaukah dia?

Aku akhirnya menaikkan kakiku dan mulai memeluknya lagi. Rasanya begitu nyaman.

"Iya, Kakak akan di sini Ara. Menjagamu."

****** 

Aku masih mengantuk saat mendengar pekikan tertahan, mataku baru saja membuka saat merasakan tubuhku di pukul dengan bantal.

"Aduh."

"Kak Novan?"
Suara Ara terdengar parau khas bangun tidur. Aku segera mengusap mataku dan menyesuaikan dengan cahaya lampu yang baru saja dinyalakan. Ara tampak menyipitkan matanya.

"Iya ini aku," jawabku sambil menegakkan tubuhku. Aku ketiduran di sini.

"Kapan Kakak datang?"

Ara merapikan rambutnya dan kembali mengusap matanya. Ini pasti masih larut malam. Ara selalu terbangun.

"Ehm tadi pukul 8, tapi kamu udah bobok."

jawabanku itu membuat Ara mengernyitkan kening, tapi kemudian hanya mengatakan owh saja. Dia masih tampak bingung.

"Kamu mau Kakak tidur di kamar lain?"
 Ara kembali menatapku, tapi kemudian menggelengkan kepala.

"Mau Kakak tetap di sini?"
 Tapi Ara menggelengkan kepala lagi.

"Terus maunya Kakak dimana?"

Ara masih tampak berpikir, aku menunggunya dengan sabar. Sedetik kemudian Ara menghela nafas nya "Ara masih marah sama Kakak, Ara juga masih kecewa sama Kakak. Tapi Ara juga nggak mau kalau Kakak menjauh. Apalagi Kakak tambah keren gini, cewek di kelas Ara pada ngomongin Kakak. Apa iya Ara bisa nahan semua itu? Kalau Kakak menjauh, mana bisa Ara gapai Kakak lagi? Nanti kalau kecantol cewek lain gimana?"

Astaga. istriku ini memang menggemaskan.

Aku tersenyum dan kini mendekat ke arah Ara lalu menggenggam jemarinya.

"Jadi intinya Ara mau Kakak tetap di samping Ara kan?"
 Dia menatapku lagi, kali ini dengan mata bulatnya yang tampak cantik itu. 

"Tapi Ara masih marah sama Kakak."

Aku tersenyum lagi dan kini menepuk kepalanya "Iya. Kakak tahu kamu masih marah sama Kakak. Maka di sini Kakak akan berusaha semampu mungkin untuk meredakan amarah itu. Boleh kan?"

 Ara mengerjap tapi kemudian menganggukkan kepala. Ah dia manis sekali, istriku.

BERSAMBUNG

 UHUK UHUK LAGI PENGEN KETIK MEREKA BERDUA RAMEIN RAMEIN YUK


Kekasih HalalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang