Calon Menantu Ideal

53 3 0
                                    

Beberapa bulan yang lalu.


Seorang lelaki bersetelan jas rapi, berkulit putih, dan memiliki sepasang mata sipit duduk diam menikmati kopi americano dengan tenang sambil mendengarkan perkataan dari wanita paruh baya yang duduk berseberangan. Sesekali bibir merah muda yang tipis itu bergumam, merespon ucapan wanita yang tidak lain adalah ibunya, Marina Padila. Mata sipitnya melirik jam yang melingkar manis di lengan kiri, sudah hampir satu jam dia duduk di sana.

Rapat yang harus dia hadiri jadi tertunda demi menemani sang ibu yang baru saja pulang dari Los Angeles, sekaligus untuk mendengarkan ceramah panjang lebar. Hari ini, sebelum Orias menghadiri rapat, asisten khusus, Farel, mengatakan jika ibunya tiba-tiba datang ke hotel. Seperti sekarang, mereka berada di restoran yang terletak di lantai dasar sambil makan siang.

"Orias," panggil Marina. Wanita yang memakai blus merah, berambut keriting sebahu, dan memiliki mata yang sama dengan sang anak.

"Iya?" Orias langsung tersentak saat sedang memikirkan beberapa jadwal yang tertunda lalu menatap sang ibu dengan ekspresi polosnya.

Marina menghela napas berat. Jauh-jauh dia dari bandara datang dan langsung menemui sang anak, tetapi respon yang diberikan justru seperti itu. "Apa di kepalamu itu hanya ada pekerjaan? Mama sejak tadi bicara tentang masa depan, tapi kamu malah sibuk memikirkan hal lain. Mama jadi semakin khawatir tidak akan pernah menggendong cucu selama masih hidup," gerutunya.

Orias tersenyum kecil. Akhir-akhir ini, Marina memang sering membahas tentang memiliki cucu di telepon, padahal dia tahu jika anaknya bahkan tidak memiliki pasangan. Mungkin, karena mendengar bahwa Ardan akan melangsungkan pernikahan, sehingga ia juga ingin agar Orias segera menyusul. Selain itu, di usia yang menginjak hampir lima puluh tahun, dia ingin sekali menghabiskan waktu dengan bermain bersama sang cucu. Hal itu membuat perempuan yang selalu tampak awet muda karena rajin melakukan perawatan tersebut semakin sensitif.

"Apa yang Mama katakan? Orias hanya bekerja sebaik mungkin demi hotel yang sudah papa percayakan. Lagipula, jika hotel kita semakin besar, bukankah Mama dan papa juga akan merasa senang?" Orias berkilah, sama sekali tidak merasa bersalah.

Setelah Orias menyelesaikan pendidikan, Ayah Orias dengan senang hati menyerahkan posisinya sebagai pemilik hotel. Selama itu pula, Hotel Padila menjadi semakin berkembang, bahkan saat ini memiliki beberapa cabang di berbagai kota.

"Jangan membicarakan masalah bisnis dengan Mama. Usiamu sudah hampir tiga puluh tahun dan kamu masih belum menikah," sahut Marina kesal. Meskipun dia tahu seberapa penting hotel itu bagi keluarga mereka, tetapi ia tidak ingin Orias hanya sibuk memikirkan pekerjaaan.

"Mama hanya ingin kamu mulai berpikir serius mengenai pernikahan." Marina meminum espresso yang tadi dia pesan dengan elegan.

Sebelah alis mata Orias terangkat. "Pernikahan politik?"

"Jangan berpikir macam-macam!" sahut Marina cepat.

Perempuan itu tidak habis pikir, bagaimana bisa sang anak memikirkan untuk menjalani pernikahan politik? Sepertinya, isi kepala Orias memang sudah penuh dengan perjanjian bisnis. Marina memijit keningnya yang mendadak pusing.

"Apa tidak ada perempuan yang kamu suka?" tanya Marina dengan suara lemah.

Belum sempat Orias menjawab, tiba-tiba seorang perempuan berkulit cokelat dan berambut pendek berjalan dengan gaya yang dibuat-buat mengarah ke mereka. Marina yang menyadari perhatian Orias teralihkan, menengok ke belakang, mencari tahu apa yang sedang dia lihat.

"Tuan Muda Orias, akhirnya bisa bertemu denganmu. Aku sudah beberapa kali menanyakan pada Tuan Muda Faisal, tapi dia tetap tidak memberitahuku dan malah bilang untuk berhenti mencarimu lagi." Perempuan itu mengeluh sesampainya di depan Orias.

Akhir Sebuah Rasa (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang