Luna segera duduk lalu disusul pelayan yang datang untuk menanyakan pesanan.
"Hanya kopi? Apa kamu tidak mau memesan makanan? Menu di sini cukup enak, Farel yang mengatakan," ujar Orias saat mendengar Luna hanya memesan satu gelas Cappucino.
“Aku tidak tahu jika seorang presdir sepertimu sangat senggang, sampai mengajakku bertemu hanya untuk merekomendasikan kafe yang bagus." Luna melipat tangan di dada, menatap laki-laki yang sudah membuang waktu dan menggagalkan pertemuannya dengan Marina.
Orias balas menatap. Sikap perempuan itu masih sama seperti pertama bertemu, terus terang dan langsung pada intinya. Apa yang akan dia pikirkan jika tiba-tiba Orias mengatakan ingin berhubungan baik? Bukankah selama ini mereka baik-baik saja sampai tidak pernah saling bicara?
Orias menghela napas setelah menyadari sikapnya yang buruk dalam menjalin hubungan dengan perempuan. Mungkin apa yang dikatakan Faisal benar, dia memang payah karena kurang berpengalaman.
"Aku hanya ingin mengajakmu makan siang. Apakah salah?" Orias meminum Latte miliknya sambil mengalihkan perhatian. Memikirkan topik selanjutnya untuk dibicarakan.
"Tidak ada yang salah. Hanya saja, tidak biasanya kamu ingin bertemu tanpa alasan."
Obrolan mereka terhenti sejenak ketika pelayan datang mengantarkan pesanan Luna. Segelas Cappucino diletakkan di meja lalu si pelayan pergi setelah sedikit membungkukkan badan.
"Pernikahan kita tinggal sebentar lagi."
"Aku tahu," sela Luna dengan cepat lalu meminum Cappucino-nya.
"Apa ada sesuatu yang kamu butuhkan? Jika perlu bantuan, kamu bisa katakan."
Kedua alis Luna terangkat dengan tatapan tidak percaya pada laki-laki yang akan menjadi suaminya dalam hitungan bulan ke depan. "Apa sekarang kamu merasa bersalah karena lepas dari tanggung jawab mempersiapkan pernikahan?"
Bibir tipis merah muda Orias ditarik ke atas hingga membentuk sebuah senyuman manis lalu berkata, "Sebenarnya tidak. Hanya saja, akhir-akhir ini mama dan orang-orang terdekatku mengatakan jika aku bukan calon suami yang baik, tentu saja itu sangat mengganggu pikiran."
Luna memperhatikan laki-laki tampan dengan senyuman manis yang duduk di hadapannya. Sejak awal, pernikahan mereka memang tidak didasari perasaan satu sama lain, jadi wajar jika dia tidak terlalu berharap kalau Orias akan membantu. Akan tetapi, mendengar lelaki itu lebih peduli dengan omongan orang lain membuat dada Luna terasa sesak.
"Kamu tidak perlu khawatir, aku bisa mengatasinya sendiri. Jika mereka masih membicarakanmu, katakan saja aku adalah perempuan yang mandiri," jawab Luna tegas.
Kening Orias berkerut mendengar jawaban Luna yang sedikit ketus. Namun, lelaki itu lebih suka menyebutnya dengan merajuk. "Apa kamu marah karena aku tidak memikirkan perasaanmu?"
"Kenapa kamu berpikir begitu?" sahut Luna dengan mata terbuka dan bibir berkerut.
"Mungkin saja. Kamu adalah calon istriku, tentu boleh merajuk padaku," balas Orias santai.
Tiba-tiba pipi Luna bersemu mendengar Orias mengatakan kalimat itu dengan mudah. "Aku tidak mau! Terserah apa yang kamu lakukan, aku tidak peduli."
KAMU SEDANG MEMBACA
Akhir Sebuah Rasa (Terbit)
RomanceLuna tidak pernah berharap jika pernikahan hasil dari perjodohannya akan berjalan bahagia, tetapi dia juga tidak menginginkan apabila suatu hari pernikahan itu harus dibatalkan. Dia harus menentukan, menikah atau mengorbankan perasaan selama sisa hi...