Pasangan

95 5 0
                                    

Pertemuan kita adalah kesalahan yang tidak mungkin berbuah manis. Namun, hatiku tetap terarah padamu, seperti takdir yang telah ditentukan.

Orias memanggil salah seorang pelayan dan meletakkan gelas yang sudah kosong di nampan. Laki-laki tinggi bertuksedo hitam itu menolak ketika pelayan menawari minuman lagi. Pasalnya, entah sudah berapa gelas yang dia minum di perjamuan pesta pernikahan Ardan, sahabatnya.

Pesta yang dihadiri oleh ratusan tamu undangan dari berbagai kalangan dan diadakan di gedung mewah itu cukup menunjukkan kemampuan tuan rumah dalam segi finansial. Nuansa ala barat juga begitu terasa dari hidangan makanan, dekorasi pesta, serta pengiring musiknya. Namun, masih tidak cukup jika menyebutnya sebagai pesta yang mampu menghabiskan uang ratusan miliar rupiah.

Sayang, itu semua tidak dapat membuat laki-laki tersebut merasa terhibur. Kalau saja itu bukan pesta pernikahan Ardan, mungkin dia sudah memilih pergi dari sana sejak tadi. Akan tetapi, melihat rona bahagia dari pasangan tersebut membuatnya tak enak hati untuk pergi sebelum pesta selesai. Sabar, Orias.

Laki-laki bermata sipit, berkulit putih itu memalingkan wajah dari pemandangan Ardan dan sang istri yang bisa membuat para tamu undangan iri. Orias melihat sahabatnya yang lain tampak begitu menikmati pesta dengan dikelilingi perempuan. Itu bukan hal mengejutkan, mungkin justru yang tampak aneh saat ini adalah dirinya karena datang seorang diri, padahal semua orang tahu jika ia sudah memiliki calon istri. Istri, ya? Kenapa kata itu masih sangat asing?

"Apa kamu menikmati pestanya?"

Orias menoleh. Seorang laki-laki berambut panjang sebahu dengan kacamata menggantung di hidung menyapa. Ternyata itu adalah Faisal bersama seorang perempuan yang melingkarkan tangan di lengan lelaki tersebut. Pacar baru.

"Lumayan," jawab Orias asal.

Faisal membisikkan sesuatu di telinga perempuan blasteran Amerika yang dia bawa, sehingga pergi meninggalkan mereka berdua. Ekor mata Orias tidak lepas dari wanita yang terlihat tidak rela melepas pasangannya itu. Berambut panjang pirang, lipstik merah menyala di bibir penuhnya, dan bentuk tubuh yang sempurna di bagian depan belakang.

"Kalau kamu membutuhkan pasangan, kenapa tidak mengajak Luna?" tanya Faisal saat memergoki Orias menatap pacarnya. Laki-laki tinggi itu tahu jika setelah bertunangan, Orias bahkan tidak pernah membawa calon istri di setiap pertemuan. Bersikap seperti lelaki lajang yang hidup bebas tanpa ikatan.

Bibir tipis, merah muda Orias terangkat ke atas. Senyum yang bisa dibilang paling menawan di antara sahabat-sahabatnya itu terkespose begitu saja. "Aku suka sendiri."

Faisal mendesah, memasukkan tangan di saku celana karena merasa kosong tanpa ada yang menggenggamnya seperti tadi. "Pernikahan kalian tinggal 6 bulan lagi, 'kan? Tapi, kenapa masih belum ada kemajuan?"

"Memang apa yang kamu harapkan? Melihatnya selalu ada di sampingku setiap kali aku pergi?" Pandangan Orias kembali tertuju pada Ardan. "Itu hanya bisa kamu lihat dari pasangan seperti mereka," balasnya.

Sebelah tangan Faisal terangkat, memanggil pelayan yang berkeliaran membawa nampan minuman. Pria yang sejak tadi menarik perhatian lawan jenis karena rambutnya yang terkesan seksi dan berani tampil beda itu mengambil minuman dengan alkohol berkadar rendah dari beberapa gelas yang tersedia.

"Aku lihat, kamu masih tertekan dengan pernikahan itu." Faisal meneguk cairan berwarna kuning bening. "Benar juga, kalau jadi kamu, pasti juga akan seperti itu, tapi setidaknya aku masih menyukai perempuan."

Orias berdecak, jika Faisal sudah membahas tentang pernikahannya pasti akan berakhir buruk. Laki-laki itu akan habis-habisan mengomentari keputusan yang ia ambil mulai dari hal terkecil sampai terbesar. Dia jadi berpikir, kenapa saat sang ibu menjodohkan, ia tidak bersikeras menolak? Dengan begitu tidak perlu menjadi bahan perbincangan.

"Cara bicaramu terdengar seolah aku tidak menyukai perempuan. Jika orang lain yang mendengarnya, mereka akan salah paham," sahut Orias mengingatkan.

Orias berbalik badan dan berjalan menuju tempat yang lebih tenang. Berada di tengah banyak orang dalam waktu lama membuat dadanya sesak, apalagi sejak tadi Faisal membicarakan hal pribadi di depan umum. Meski tidak semua tamu dia kenal, tetapi itu cukup memalukan.

"Apa rencanamu selanjutnya?" tanya Faisal yang rupanya mengikuti di belakang.

"Membatalkannya. Itu jika boleh terjadi." Mata Orias menelisik setiap sudut, tempat itu semakin malam lebih ramai orang yang datang. Terasa ketika hampir tidak ada ruang kosong lagi.

Faisal tersenyum meremehkan, masih teringat secantik apa calon istri Orias di pesta pertunangan mereka waktu itu. Wajah sempurna dengan hidung mancung, bibir mungil serta tatapan tajam dari mata sipitnya, belum lagi kulit yang seputih susu dengan bentuk tubuh ideal bagai model papan atas. Jika dibandingkan dengan perempuan yang pernah dia kencani selama ini, mereka tidak ada apa-apanya. "Apa kamu belum puas dengan kecantikan Luna?"

Langkah kaki Orias berhenti ketika mereka sudah cukup jauh dari pengantin, sehingga tidak terlalu sesak dan banyak orang. Laki-laki itu terdiam, memikirkan Luna yang bisa dikatakan pasangan paling sempurna untuknya. Akan tetapi, sampai detik ini ia masih menganggap perempuan itu seperti orang asing sebab hanya tahu sosok calon istri dari sisi luar. Apa dengan begitu mereka masih disebut pasangan?

Tiba-tiba sebuah tepukan pelan menyadarkannya. "Selagi pernikahan kalian masih jauh hari, gunakan itu untuk mencoba menjalin hubungan lebih dekat. Jika ternyata kalian memang tidak cocok, perceraian bukanlah hal mustahil di kalangan orang seperti kita," ujar Faisal.

Orias termenung. Perceraian adalah keputusan yang paling mudah sekaligus menyedihkan. Jika berpisah merupakan hasil akhir dari hubungan itu, kenapa tidak dari awal saja diakhiri? Walau tidak memiliki perasaan apa pun, tetapi ia ingin menikah sekali seumur hidup seperti orang tuanya. Apalagi bagi seorang perempuan, tidak ada yang punya keinginan untuk segera bercerai setelah menikah.

"Aku yakin, jika kamu mau. Luna pasti akan jatuh cinta padamu. Jadi, lakukan aksi menaklukan calon istri." Faisal terus menyemangati dengan seringainya.

"Baiklah. Lagipula tidak ada salahnya untuk mengenal lebih dekat calon istriku. Anggap saja dia perempuan pertama yang beruntung bisa dekat denganku," sahut Orias sambil tersenyum manis.

Akhir Sebuah Rasa (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang