⁰². dua

34.7K 4K 438
                                    

"Ma, haus." Jay melempar ranselnya asal. Menghempaskan tubuh ke sofa dengan menyandarkan kepala.

Sang Mama—Aera—datang membawa secangkir susu yang jelas bukan susu sapi. Cowok itu mengambil dan segera mendekatkan cangkir ke bibir. Baru mencecap di lidah, dia langsung melempar susu itu ke lantai sambil melepeh.

"Jangan ngasal dong, Ma! Kalau Jay sakit, gimana?!" tukasnya dengan alis tertekuk.

"Itu masih seger, gadis usia dua puluh tahun yang baru melahirkan. Harus dimana lagi Mama cari yang sesuai lidah kamu?"

"Pokoknya Jay nggak mau tau, Jay kehausan, Ma! Laper! Kalau gini terus, Jay bisa mati!" Dia menatap Aera nyalang.

"Semuanya kamu tolak, Mama harus gimana lagi, sayang?"

Cowok itu mengusap wajah gusar.

Sejak lahir hanya mengonsumsi asi, itulah dirinya. Tidak bisa menerima makanan normal seperti manusia biasanya.

"Mama bakal cari lagi. Tapi sekarang sebagai gantinya, kamu minum jus buah dulu, ya?" Aera memberikan jus wortel yang langsung dibuang Jay.

"Nggak bisa! Jay nggak mau makan selain asi!" Tanpa berkata-kata lagi, cowok berperawakan tinggi itu beranjak menuju kamarnya di lantai dua. Meninggalkan Aera yang dibuat pusing harus mencari kemana lagi. Selama 15 tahun dia bertahan memberi makan putra tunggalnya itu. Masih lebih baik memberi nasi, malangnya dia harus menyediakan hal yang sulit untuk dicari.

°°°

"Park Hana."

Baru saja namanya disebut, dengan senyum tawar dia berjalan ke depan mengambil surat ulangannya.

"Seperti biasa, kamu yang tertinggi," ujar Bu Rose, guru biologi yang terkenal paling tegas.

Hana menerbitkan senyum tipis, berbalik ke kursinya lagi.

Kertas ulangan dibagikan ke setiap murid. Hingga selesai, dan pelajaran kembali dimulai.

"Na, susu lo kok tambah gede, sih?"

"Eh!" Dengan melotot Hana membekap bibir Jeslyn rapat-rapat. Temannya itu berceletuk di tengah keheningan, murid sekitar pasti dapat mendengar. Rona yang duduk dibelakang berpindah ke depan, menelisik yang dikatakan Jeslyn, membuat Hana menutupi bagian dadanya menggunakan ransel. "Kalian apaan, sih!"

"Bener, tambah gede, Na," ucap Rona.

"Ish!" Hana berdelik tajam, melirik ke papan tulis dimana Bu Rose sedang menggambar susunan sel.

"Cerita ke kita! Ada apa?" Jeslyn bertanya usai menepis lengan Hana yang membekap bibirnya.

"Nggak ada apa-apa."

"Pasti ada sesuatu. Tuh, telinga lo merah."

Sontak Hana menutup kedua telinganya. Ketika sedang gelisah, daun telinganya sangat tau bereaksi, memerah.

"Ayo cerita, Na! Lo nyembunyiin sesuatu, kan? Apa? Ayo, cerita!" Mereka terus mendesak, membuat Hana kelabakan, spontan dia bangkit dan meminta ijin ke toilet.

Dia berlari terbirit-birit, dadanya kembali terasa berat. Sebelum koridor ramai karena bel istirahat baru berbunyi, lekas dia berlari menuju toilet. Sangat disayangkan, setiba di toilet, tidak ada bilik yang kosong. Menunggu sejenak, namun yang ditunggu belum juga keluar, kedengarannya mereka anak cheers yang sedang mandi. Tidak ada waktu untuk menunggu lagi. Oleh sebab itu Hana memilih keluar mencari toilet lain.

Selama limabelas menit berkelintaran mencari toilet, selalu saja ada perkara, misalnya toilet rusak sehingga dikunci, penuh, atau keramaian. Yang membuat Hana panik karena dadanya menjadi lebih berat. Merasa tidak kuasa menahan sesak, dia berlari ke gudang ujung yang jarang dilalui orang.

Breastfeeding Prince✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang