Pulang

3.1K 113 49
                                    

Kalau ada yang bertanya bagaimana rasanya ‘ditembak’ sama sahabat sendiri dan sebulan kemudian ditinggalkan, tanyakan pada Puput. Gadis itu masih ingat betul ketika ia sedang dalam perjalanan pulang dari bandara dan tak ada angin tak ada petir tiba-tiba Gamma mengajaknya ke KUA. Iya, Kantor Urusan Agama, tempat para pasangan mendaftar jika ingin melegalkan hubungan secara hukum dan agama.

Reaksi Puput saat itu hanya mampu melongo beberapa detik dengan mulut menganga dan mata melotot menatap sahabatnya yang masih berkonsentrasi menyetir. Oh, satu tangan Gamma menggenggam tangannya lembut.

“How come?!” pekik Puput akhirnya, di antara napasnya yang tiba-tiba terasa berat.

“Kenapa? Nggak mau?” Gamma melirik Puput sekilas dan kembali menatap jalanan. Ia melepaskan tangannya yang menggenggam Puput saat harus mengeser pedal gigi.

“Bukan... bukan nggak mau.” Puput menunduk menatap telapak tangannya dan ada yang terasa aneh di sana. Oh Tuhan, sudah tidak terhitung berapa kali ia dan Gamma pernah bersentuhan dan tidak pernah timbul rasa seaneh sekarang.

“Jadi, mau?”

Puput mendongak. “Ke K-U-A? Bukan K-A-F-E?”

“Iya, KUA. Aku sama kamu, daftar ke sana.”

Jawaban tegas Gamma seketika itu juga membuat Puput bungkam.

Seminggu kemudian, Gamma memberi tahu bahwa sebenarnya ia mendapat beasiswa melanjutkan kuliah pascasarjana di Bonn, Jerman, dan akan berangkat dalam tiga minggu ke depan. Sengaja ia tidak memberi tahu siapa pun demi surprise. Semua orang memberinya selamat dan bersukacita, apalagi saat ia mengadakan syukuran kecil-kecilan khusus untuk teman-teman terdekat. 

“It’s not farewell, Put.” Gamma berbisik di antara riuh tawa saat pesta.

“You, asshole!” Puput pun pulang duluan dari acara tersebut.

Dua tahun berlalu, Puput mendapat email dari Gamma yang mengabarkan rencana kepulangannya ke Indonesia, lengkap dengan nama maskapai dan jadwal penerbangan. Dan, di sinilah Puput sekarang, terminal 2 Bandara Soekarno-Hatta, menunggu dengan jantung berdebar kencang dan senyum yang tidak bisa ia tahan. 

Sudah satu jam ia menunggu dan beberapa kali bolak-balik ke toilet. Bukan untuk buang air, melainkan melatih mimik bagaimana ia akan bereaksi saat bertemu Gamma nanti. C’mon, it’s been two years! Awalnya Puput berpikir ia ingin serta-merta memeluk Gamma dan berkata betapa ia rindu. Namun, rencana itu segera dicoretnya karena terasa terlalu drama queen. The drama queen thinks that she’s too drama queen?

Lalu Puput mulai melatih diri di depan cermin, mengucapkan kalimat-kalimat, 

“Hai, apa kabar?” Terlalu kaku, mereka sahabat, kan? Harus lebih rileks.

Mimik sok asik: “Eh gila, kamu berubah banget!” Sebenarnya tidak ada yang terlalu berubah dari Gamma, mereka sering komunikasi, kok. Thanks skype, LINE, facebook, and all social media.

Mimik manja: “Mana oleh-oleh buat aku?” Oh Tuhan, jangan sampai Gamma mengira dirinya cewek matre.

Mimik keibuan: “Gimana perjalanan? Capek?” Terlalu basa-basi. Jelas capek lah 12 jam perjalanan belum lagi harus transit.

Dan masih banyak beragam jenis kalimat dengan mimik wajah berganti-ganti yang Puput latih sampai-sampai tiap orang yang datang ke toilet meliriknya dengan tatapan ini-perempuan-otaknya-konslet.

Puput menghela napas panjang, mengenang kembali ajakan Gamma saat mereka pulang dari bandara dua tahun lalu. Sebenarnya setelah itu tidak ada pembahasan lebih lanjut tentang hubungan mereka. Apa sepulang dari bandara hari ini Gamma akan melakukan hal sama? Ajakan lebih serius, mungkin?

Suara derap sepatu dan dorongan troli membuat Puput mendongak dan melihat rombongan orang-orang datang dari koridor kedatangan. Ia bergegas mendekat ke besi pembatas, ikut berdesakan dengan para penjemput, berjinjit, menjulur-julurkan kepala mencari sosok pemuda tinggi, kurus, dengan rambut ikal di antara orang-orang yang berjalan. 

Itu dia!

Puput tersenyum lebar melihat sosok sahabatnya, melambaikan tangan dan hendak berteriak memanggil Gamma, kalau saja ia tidak melihat seorang perempuan muda berambut ikal pendek sebahu yang menggandeng siku sahabatnya. Gamma mendorong troli berisi ransel dan koper sedangkan gadis di sampingnya menjijing tas mungil. Mereka ngobrol dan tertawa santai tanpa peduli sekitar, berjalan mendekat ke arah Puput yang berdiri di dekat pintu keluar. Tiga... Dua... Satu...

“Gamma!”

Yang dipanggil menghentikan langkah dan menoleh, raut keterkejutan terlihat jelas di wajah pemuda itu. Sedangkan si gadis-entah-siapa ikut berhenti dan bergantian menatap Puput dan Gamma dengan sorot bingung.

“Lho, kamu jemput aku?” Gamma menatap Puput. 

Puput menelan ludah. Well, di email yang mengatakan ia akan pulang, Gamma memang tidak pernah meminta Puput untuk menjemput, sih.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 06, 2015 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

CoupL(ov)e 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang