Gadis itu sedang duduk sembari merapihkan jilbabnya. Dari jarak yang tidak terlalu jauh, Kanaya tampak cantik di mata Gus Aqmal. Bukan cantik karena polesan make up, tapi cantik karena basuhan air wudhu. Wajah gadis itu basah, sama halnya dengan ujung hijab yang dikenakannya.

Dua menit menatap Kanaya, membuat Gus Aqmal tersadar. Dia beristighfar dan memalingkan wajah, menyembunyikan rasa gugupnya. Aneh memang, kenapa dia yang gugup? Sedangkan yang sedari tadi menjadi objek pandang Gus Aqmal biasa-biasa saja.

"Kanaya," panggil Gus Aqmal berhasil membuat Kanaya menoleh. Gadis itu dengan langkah ragu menghampiri Gus Aqmal.

"A-ada apa, Gus?"

"Dari mana?"

Kanaya menggigit bibir bawahnya. "Saya habis shalat Dzuhur lalu saya lanjutkan shalat Ashar. Memangnya kenapa, Gus?"

Gus Aqmal menghela napas, dia mengisyaratkan agar Kanaya duduk. Gadis itu manut saja, Kanaya duduk di samping Gus Aqmal dengan jarak yang cukup jauh.

"Adila?"

"Masih shalat."

"Jangan buat saya khawatir," lirih Gus Aqmal. Sangat lirih, mungkin hanya dirinya yang bisa mendengarnya.

"Hah? Pripun, Gus?"

"Tidak, tunggu Adila, setelah itu kita kembali ke Pesantren." Kanaya mengangguk patuh, mereka duduk di serambi sambil menunggu Adila menyelesaikan shalatnya.

"Nay--- eh, Gus Aqmal, hehe." Tiba-tiba tubuh Adila sudah berada di belakang Kanaya, gadis itu menyengir lebar tak lupa tangannya menenteng tas ranselnya.

Kanaya melotot. "Pelanin suara kamu, Dil!"

"Iya-iya, Afwan."

"Bagaimana?"

Kanaya yang awalnya tengah fokus menatap Adila, spontan mengangkat kepalanya. Begitupun Adila yang masih beradu mulut dengan Kanaya.

"Apanya, Gus?" tanya Adila bingung.

"Hasil."

Kanaya dan Adila saling berpandangan, mereka menghela napas panjang. Ternyata berbicara dengan Gusnya ini sangat merepotkan. Tidak bisa jelas, selalu to the poin sekali eperibadeh!

"Ah iya, Alhamdulillah, Allah memberi kemudahan. Juara satu, Gus," balas Kanaya.

Gus Aqmal tersenyum tipis. "Selamat. Semoga ilmunya bermanfaat. Adila?"

Lagi-lagi gadis itu menyengir lebar. "Tadi hampir menang, Gus. Tapi gara-gara saya kebelet berak jadi saya tinggalin. Gak jadi menang, deh," celetuknya enteng. Hal itu membuat Gus Aqmal menggeleng pelan.

"Astaghfirullah, tadi kamu lari itu kebelet ke wc?!"

Adila mengangguk cepat. "Iya, Nay. Udah gak tahan."

Dalam hati, Gus Aqmal tidak berhenti beristighfar melihat tingkah santrinya yang kelewat bobrok ini. Sungguh ajaib murid Abahnya.

Teringat sesuatu, Gus Aqmal melirik arlojinya, sudah sore. Sepertinya mereka harus segera pulang. "Sudah-sudah, ayo kem---"

Jawaban Sepertiga Malam [Re-publish]Место, где живут истории. Откройте их для себя