SERPENT 17: The Secret Meeting

Start from the beginning
                                    

"Itu lebih dari cukup, terima kasih."

Tentunya, teman terbaik untuk melewati satu hari di tengah dera musim panas adalah segelas teh dingin berteman cake buah buatan sendiri.

Renjun menurut saja saat ia dibawa melewati pintu kaca geser menuju balkon luas yang terlindung oleh kanopi. Pot-pot berbunga mini membentuk barisan rapi, dengan tanaman hijau merambat yang tumbuh vertikal pada rangka besi menuju gravitasi. Ada dua buah sofa panjang, tiga bean bags, dan meja kayu besar di sana. Lanskap biru pegunungan pembatas Seoul dan lekuk aliran Sungai Han, ditambah sentuhan metropolis kota jadi pemandangan spektakuler penyegar mata.

"Sungguh tidak ada luka serius?" Tanya itu jadi pembuka ketika mereka sudah duduk nyaman di sana. Jeno benar-benar tidak sempat bertatap muka dengan Renjun setelah kejadian, karena langsung dibawa pulang ke ibukota oleh orangtuanya. Meski sudah memaksa, ia sama sekali tidak diizinkan Yunho keluar dari kamar rawat, pun Jeno baru mengetahui (lewat informasi Jungwoo) kalau Renjun juga ternyata sudah dijemput pulang oleh keluarganya.

Gelengan Renjun jadi jawaban. Hanya sedikit lebam dan goresan—ia sendiri merasa heran dengan keajaiban yang menimpa. Jatuh dari ketinggian semacam itu, paling tidak, minimal patah tulang ia derita, tapi Renjun malah baik-baik saja tanpa satupun luka serius di tubuh—kecuali tanda penuh misteri di pinggangnya.

Dan dia menahan diri untuk tidak berpikir bahwa siluet ular besar (yang mungkin hanya ilusinya semata) menjadi penolong di kala datang marabahaya.

Tunggu, apa ini berarti jika Jeno juga melihat hal serupa? Kalau benar dia menyaksikan hal yang sama, apa dia juga merasakan deras adrenalin sewaktu makhluk besar itu meluncur turun ke arah mereka?

Perlukah ia bertanya padanya?

Uumh, nope.

Tidak usah saja.

Karena hal itu terdengar 'lumayan' gila di telinga.

"Justru Kak Jeno yang mengalami luka serius..." kalimat tadi dijeda, mata melirik tidak enak hati pada bebat perban di lengan. "... maafkan aku, akibat kecerobohanku, jadi malah membahayakan nyawa segala." Sedikit samar, namun ia masih ingat jelas pada lelehan merah yang menuruni sisi wajah, juga ringis di antara napas tersengal seolah menahan rasa sakit luar biasa.

"Yang penting Renjunie tidak apa-apa, aku lega."

Percakapan mereka terhenti oleh hantaran nampan berisi piring-piring kue, berbagai camilan, dan seteko besar es teh dengan banyak irisan lemon.

Tidak banyak yang dijadikan bahan obrolan, karena terlihat jelas jika Renjun masih merasa canggung setelah peristiwa yang menimpa mereka pada malam naas itu. Ia memberanikan diri untuk sedikit bercerita kalau Soobin dan Seungmin (yang masih dalam mode pulang kampung) mengetahui peristiwa yang menimpanya lewat perantara Haechan. Mereka panik tidak percaya, plus sangat heboh sewaktu menanyakan keadaan Jeno dan dirinya.

Detik-detik bergulir, dan seiris kue lain sudah mampir di piring sebagai pengisi ronde kedua.

"Kerja paruh waktu?"

Peach di ujung garpu urung masuk ke mulut Jeno, ketika topik mengenai kegiatan selama libur musim panas disebutkan ke permukaan. Beberapa tugas dan proyek kelompok, juga rencana kerja part time di kafe rekomendasi tempat kerja Haechan.

Pandangan Renjun menerawang jauh pada panorama di hadapan. "Tadinya ingin begitu, tapi karena musibah kemarin, keluargaku jadi menimbang ulang izin mereka." Padahal semangatnya begitu menggebu untuk menjalankan part time pertama—dia sudah tidak sabar ingin merasakan sensasi menerima upah pertama kali dari hasil keringat sendiri.

SERPENT - NORENWhere stories live. Discover now