"Su__sudah selesai Gusti Pangeran" Jawabku agak tercekat karena begitu berbalik badan jarak kami kurang dari setengah meter. Tersadar lalu buru - buru melangkah bergeser dan bergerak mensejajari Sawitri.

"Kenapa Kanda hanya berdiri di sana terus. Apa Kanda menungguku ?" Suara Kanjeng Praya mengalun merdu diiringi senyum lebar dan menampakan gigi putih rapi.

Berbeda seratus delapan puluh derajat dari penampakan perempuan ketus yang berpapasan dengan kami di depan pendopo tadi. Mengelengkan kepalaku pelan menatap pemandangan itu. Oke ... Cinta memang seluar biasa itu, bagai memiliki kepribadian lain saat berada di hadapan orang terkasih. Pemarah jadi penyabar, malas jadi rajin, ketus jadi ramah, berantakan jadi rapih.

"Kenapa kau mengeleng - gelengkan kepalamu ? Kau sedang menghinaku." Ucapan Kanjeng Praya menyentakku

Inhale ... exhale ... sepertinya aku sangat berbakat menarik masalah mendekat padaku tanpa harus banyak berusaha. Tersenyum salah tingkah lalu menunduk "Maafkan hamba, Kanjeng ... hm ... tadi ada lalat Kanjeng ... benar ada lalat." Jawabku sambil mengibas - ngibaskan tangan ke udara. Berkelit lebih baik dan mana mungkin aku ceritakan apa yang ada di dalam pikiranku, bisa habis aku.

"Cepat duduk Praya, tidak perlu mencari - cari masalah pagi ini apalagi dengan pelayanku. Mereka itu urusanku atau lebih baik kau kembali ke kediamanmu. Kau tahu benar bahwa aku benci keributan " Suara dingin Pangeran Anusapati membuat mata Kanjeng Praya mengerjap cepat

Tersenyum kembali lalu duduk di hadapan Pangeran Anusapati "Tentu, aku hanya bertanya Kanda. Tidak usah begitu marah atau ada alasan lain hingga Kanda bisa marah ?" Karena tidak adanya jawaban dari Pangeran Anusapati. Kanjeng Praya memandang aku dan Sawitri bergantian "Kalian bisa tinggalkan kami, sekarang !" Perintahnya dengan bibir yang kembali mengulas senyum namun tak bisa menghilangkan kesinisan dalam setiap katanya.

"Baik Ka..." Ucap Sawitri yang terhenti walau belum selesai

"Tetap berdiri di sana !" Perintah Pangeran Anusapati pada kami berdua dan tentu menghentikan ucapan Sawitri

Menaikkan sebelah alisnya Kanjeng Praya berucap "Baiklah jika itu mau Kanda. " Lalu mengisi pirinya dengan sedikit makanan.

Sisa waktu dihabiskan dengan suara Kanjeng Praya yang menceritakan kesehariannya atau apa saja yang dibicarakan dengan ayahnya menyangkut Pangeran Anusapati. Dia tetap bercerita walaupun orang yang dia ajak bercerita hanya membalas dengan dehaman.

Sebaliknya aku berusaha fokus pada satu titik selain wajah mereka berdua. Walaupun begitu aku masih merasakan bahwa Kanjeng Praya terlalu sering melirik padaku.

***

"Rengganis ayo cepat, kalau tidak kita akan mendapat tempat yang kurang baik." Suara Sawitri terdengar buru - buru sambil menarik tubuhku yang sedang berdiri di dekat Nyi Knasih yang sedang memasak kudapan.

"Benar kata Sawitri, kalian harus segera berangkat." Balas Nyi Knasih tanpa mengalihkan pandangan dari pekerjaannya

Berjalan terseok - seok menggimbangi langkah cepat Sawitri "Astaga, kita harus ke mana sebenarnya ? Pangeraan Anusapati menyuruh kita ke suatu tempat atau bagaimana ? Paling tidak tolong jelaskan dulu kepadaku, Sawitri." Berusaha menahan tarikan tangannya.

Menghentikan langkahnya lalu berbalik menghadapku, menghembuskan napas pelan "Sebenarnya apa saja yang kau tahu di hidupmu selama ini ?" Tanyanya putus asa

"Sawitri, aku butuh jawaban dan bukan pertanyaan lain."

"Kita akan pergi ke taman Bubuji, Rengganis" Jawabnya singkat, padat dan tidak jelas bagiku.

"Dan untuk apa pula kita ke taman Bubuji ? Apa kita diminta memetik bunga atau kita juga harus membersihkan taman itu ?" Tanyaku histeris

Memejamkan matanya sesaat "Demi Dewa di nirwana, Siapa kau sebenarnya ? Sampai - sampai taman Bubuji saja kau tidak tahu. "

"Aku ... Rengganis tentu saja"

"Aaisshh ... "

"Taman Bubuji adalah tempat yang dijadikan area pembersihan diri. Sebelum upacara menyambut tahun baru saka di pendopo agung. Biasanya ada ritual pembersihan diri bagi semua perempuan istana, termasuk Baginda Ratu di Taman Bubuji. Kaum pria terlarang memasuki taman itu, jika ada yang nekat masuk dan tertangkap para penjaga. Dipastikan dia akan dibunuh di tempat, kalau tidak salah ada batu khusus untuk yang digunakan prajurit untuk mengasah pedang guna memotong leher penyusup di sana." Memandangku kalut sambil sedikit bergidik, Sawitri melanjutkan "Nah berhubung perempuan di istana ini banyak sekali, maka kita harus buru - buru agar mendapat tempat yang tepat. Mengerti Rengganis ?"

"Tidak " Jawabku keras kepala "Aku heran kenapa orang - orang di sini begitu mudah membunuh orang. Sedikit - sedikit dihukum bahkan dibunuh. Tidakkah mereka sadar bahwa setiap manusia itu berhak hidup. Manusia biasa tidak bisa menghidupkan manusia yang sudah mati, jadi mereka juga tidak berhak membunuh manusia yang hidup begitu saja. Setiap orang berhak hidup dan mempertahankan hidupnya. Kecuali orang itu melakukan kejahatan kemanusiaan yang luar biasa, baru masuk akal untuk diberi hukuman mati. Membunuh karena hal yang tidak terlalu fatal itu melanggar HAM" Jelasku mirip Bu Siti yang adalah guru PKn

Tangan Sawitri terulur tepat di atas dahiku "Apa kau sakit, Rengganis? Makin hari ucapanmu sama sekali tidak aku mengerti dan 'ham' itu apa ?" Tampak berpikir sejenak "Ham ... Ham ... ah maksudmu kau ingin makan ?" Ucapnya sambil menepuk keningnya sendiri.

Mulutku terngaga mendengar pertanyaan Sawitri. Jujur aku bingung antara ingin tertawa atau menangis saat mendengarnya.

"Siapa yang ingin makan ?" Pertanyaan Raden Sadawira yang mendadak membuat kami berdua terlonjak pelan. Ternyata dia bersama Pangeran tengah berjalan keluar dari pendopo. Terlalu asik berdebat membuat kami tidak sadar sekitar.

"Kalian sebaiknya bergegas ke taman Bubuji, matahari sudah mulai bergerak ke barat." Ucapan Pangeran Anusapati pelan tanpa menghentikan langkahnya tidak seperti Raden Sadawira yang berhenti tidak jauh dari kami.

***

Taman Bubuji ternyata terletak tidak jauh dari Pasar Singasari, sehingga hiruk - pikuk orang masih terdengar di pelataran. Namun semakin ke dalam suasana tenang dan sejuk mulai menyapa kami.

Taman ini dibatasi sesuatu yang mirip tembok dari bebatuan alam yang cukup tinggi. Di dalamnya dipenuhi aneka bunga dan dikepung rindangnya pohon - pohon yang seolah mewadahi air yang berkilauan ketika ditempa sinar matahari. Segarnya mata air yang bermuara dari Gunung Arjuno, menjadi sumber air yang tak pernah kering, walau di musim kemarau sekalipun.

Masuk ke area kolam ternyata memang sudah banyak dayang yang berdiri memenuhi tempat ini. Walaupun agak terhalang tetapi mataku menangkap pemandangan berupa beberapa kolam, dengan kolam yang lebih besar berada di tengah area. Mungkin kolam itu semacam kolam utama.

Di tepi kolam ada enambelas jaladwara berbentuk patung perempuan berderet. Pancaran air keluar dari berbagai bagian tubuh. Ada juga sebuah patung berupa arca Dewi Durga yang berdiri di atas dua kepala kera yang mengeluarkan air dari mulutnya.

Kerumunan tiba - tiba tersibak, para pelayan perempuan menunduk dan memberi hormat. Sawitri dan aku otomatis mengikuti gerakan mereka. Di sana mulai terlihat serombongan perempuan dengan pakaian yang sangat berbeda dari apa yang kami kenakan.

Para perempuan bangsawan berjalan anggun membelah kerumuman. Nampak pula Kanjeng Praya Ayu Nan Triacandra berada diantaranya. Namun bukan dia yang menarik perhatianku, tetapi pada sesosok perempuan cantik lain yang berjalan paling depan. Perempuan yang tampak tidak muda lagi itu, namun waktu ternyata tak mampu memudarkan kecantikan ragawinya.

Jika kalian bertanya adakah yang lebih cantik darinya menurutku. Jawabannya iya, jika aku berada di masa depan, tetapi karena kini aku berada di masa lalu maka jawabannya tidak.

Aku yakin, perempuan cantik ini yang telah membuat Tunggul Ametung rela menjadi seorang penculik dan Ken Arok rela menjadi seorang pembunuh. Perempuan yang dipercaya sebagai sang nareswari atau perempuan yang akan melahirkan keturunan raja - raja di tanah Jawa, dialah Ken Dedes.

----------------Bersambung----------------

1 Agustus 2020

SINGASARI, I'm Coming! (END)Where stories live. Discover now