ᴮᵃᵍⁱᵃⁿ ᵈᵘᵃ ᵖᵘˡᵘʰ

9 5 0
                                    

Aku hanya bisa merenung sepanjang malam sambil mengingat perkataan Dokter Ke, “ada sesuatu yang diciptakan hanya untuk dipandang, bukan digenggam”. Entah mengapa kali ini aku merasa seperti manusia paling egois di dunia. Aku sudah mengutuk semesta selama 17 tahun tapi ternyata masalahnya bukan pada semesta, tapi pada diriku sendiri. Diriku yang egois.
      
Aku terlalu menginginkan Putra untuk selalu ada di sisiku walaupun sebenarnya dia tidak pernah mau seperti itu. Aku yang selalu ingin bersamanya walaupun dia sebenarnya ingin terbang bebas dengan sayapnya. Aku telah mengurungnya dengan keegoisanku dan saat itu, semesta membantunya bebas. Bebas dariku.
      
Aku tersadar akan sesuatu. Seorang malaikat tidak akan pernah pergi meninggalkan seseorang yang harus dijaganya. Jika Putra pergi begitu saja, itu berarti sejak dulu hadirnya tidak pernah untukku. Itu berarti sejak dulu ia tidak pernah menjadi malaikatku. Itu berarti sejak dulu aku hanya kehilangan seorang teman, bukan malaikat.
      
Lantas, di mana malaikatku? Apa dia tersesat? Apa dia takut dengan aku yang tanpa sadar sangat egois ini? Atau memang apa sejak dulu tidak pernah ada malaikat yang ditugaskan untuk menjagaku? Apa semesta se-benci itu denganku? Tidak, aku tidak akan memprotes jika memang begitu. Aku memang pantas mendapatkannya karena selama ini, aku menyalahkannya atas segala hal yang terjadi dalam hidupku yang sebenarnya itu salahku.
      
Suara decitan pintu yang terbuka membuatku langsung terduduk dengan was-was. “Siapa di sana?” tanyaku dengan suara penuh kecurigaan.
      
Dia tidak menjawab. Tapi seper detik kemudian seorang pria masuk ke dalam kamar kos ku. “Aku ingin melihat bintang,” katanya sambil melepas masker yang menutupi matanya.
      
“Agustus?” tanyaku tak percaya. “Bukannya besok kamu ada jadwal? Kenapa tengah malam ke sini?”
      
“Aku harus bertemu dengan seseorang,” jawabnya lalu langsung berdiri di depan gambar gugusan bintang yang tertempel di dinding kamar kos ku.
      
Aku tidak berkata apapun, berusaha memberinya ruang.
      
“Aku datang lagi. Mohon maaf sebelumnya, Ibu, Ayah. Aku mengatakan sesuatu yang seharusnya tidak pernah keluar dari mulutku dan lagi-lagi, aku melakukan tindakan yang bisa meregang nyawaku. Tapi sama seperti sebelumnya, aku selamat. Ada seseorang yang menyadarkan ku.”
      
Agustus berhenti. Sepertinya, dia sedang berusaha menahan tangisannya.
      
“Maafkan aku tidak bisa menepati janjiku. Aku berusaha hidup dengan baik. Tapi aku selalu gagal. Aku sudah berusaha sekuat mungkin. Tapi di setiap malam, aku selalu saja berubah menjadi seorang pria yang menyedihkan. Maafkan aku, aku tidak bisa memberikan kalian satu-satunya hadiah yang bisa aku berikan.”
      
“Maafkan aku. Kalian selalu mengajariku untuk bersikap jujur, tapi aku selama ini berbohong. Aku berbohong pada semua orang bahkan diriku sendiri dengan berpura-pura bahagia, berpura-pura hidup dengan baik. Padahal, aku tidak pernah begitu. Hidup dengan baik terlalu sulit untuk aku lakukan. Bahagia terlalu tinggi untuk ku gapai.”
       
Ia menunduk. Tak lama kemudian, Agustus melangkah menuju pintu dengan langkah gontai.
      
Saat selangkah lagi tubuhnya keluar sempurna dari kamar kos ku, tiba-tiba mulutku terbuka. “Kamu sudah berusaha. Sedih adalah hak mu, tidak ada yang bisa menyalahkan mu akan itu. Kamu manusia kamu berhak sedih.” Kataku yang berhasil menghentikan langkahnya.
      
Ia menoleh, menatapku dengan tatapan datar tanpa ekspresi. “Kalau begitu, apa kamu bukan manusia? Kamu tidak bisa merasakan sedih. Aku iri padamu.”

***
      

Aku memotret Agustus yang tengah asik bergaya itu tanpa sedikit pun suara. Dia benar-benar kurang ajar. Dia pikir aku apa? Iya sih, aku memang tidak bisa marah dengan apapun yang ia katakana. Tapi seharusnya dia tetap menjaga sikapnya.
      
Satu jam kemudian, pemotretan akhirnya siap. Aku segera mengemas barang-baragku dan menuju halte bus karena tidak ada pekerjaan lain yang harus aku lakukan.
      
“Maafkan aku.” Aku terkejut saat melihat Agustus yang tiba-tiba berdiri di sampingku padahal tadi aku melihatnya pergi naik mobil dengan Gio.
      
“Ngapain kamu di sini?” tanyaku sewot.
      
“Maafkan aku, tadi malam aku benar-benar tidak bisa mengontrol emosiku. Kamu boleh mencanciku sepuasmu, aku pantas mendapatkannya,” ulang Agustus dengan wajah yang menunduk.
      
Aku membuang napasku kasar. “Kamu pantas iri padaku.”
      
Aku sama sekali tidak berbohong dalam mengatakannya. Agustus pantas iri padaku karena aku jauh lebih beruntung darinya. Malam itu, aku hanya kehilangan seorang teman. Sedangkan Agustus, dia kehilangan kedua orang tuanya sekaligus. Agustus hidup dalam kesdedihan, penyesalan, dan kerinduan yang membuat hidupnya sangat menderita. Setiap helaan napasnya terasa sangat berat. Sedangkan aku, aku selamat akan hal itu. Aku hidup tanpa sedikit pun rasa sedih, bersalah, dan rindu. Aku bebas dari derita yang seharusnya aku terima.
      
Aku jauh lebih beruntung dari Agustus.
      
Agustus menggelengkan kepalanya. Dia tampak tidak setuju. “Kamu pasti sakit hati ….”
      
“Kamu tahu aku tidak bisa,” potongku yang langsung menciptakan suasanya canggung.
      
Aku lagi-lagi membuang napasku dengan kasar. “Malam itu, aku hanya kehilangan seorang teman. Putra sejak dulu tidak pernah menjadi malaikatku. Sejak dulu tidak pernah ada malaikat dalam hidupku. Kamu pantas iri padaku.”
      
Agustus mereung selama beberapa detik sebelum dia berbicara. “Aku tidak mau kamu seperti ini. Kamu harus hidup sepertiku,” katanya.
      
Aku mengangguk. Agsutus benar, aku harus hidup sepertinya. Hidup dengan kesedihan, rasa bersalah, rindu. Hidup sebagai penderita Alexithymia bukanlah suatu kutukan. Tapi suatu jalan pintas yang seharusnya tidak pernah aku tempuh.
      
“Maka dari itu, aku akan membantumu sembuh,” sambung Agustus.

𝔸𝕝𝕝 𝕀 ℂ𝕒𝕟 𝕊𝕖𝕖 𝕀𝕥'𝕤 𝕐𝕠𝕦Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang