"Taeyong, kau tidak ingin menginap saja di apartemen ku?"
Dia baru saja pulang dari kerja kelompok. Iya, Taeyong adalah seorang pelajar menengah atas.
Taeyong pulang bersama Winwin, teman sebangkunya, yang kebetulan juga satu kelompok dengannya, bersama dengan dua teman lainnya, Yuta dan Lucas.
"Tidak usah, nanti aku merepotkan. Lagipula aku harus memastikan kalau Jeno makan dengan benar." Ucap si lelaki itu, pemilik paras tampan dan cantik di saat yang bersamaan .
"Hm, aku iri deh dengan Jeno, dia punya hyung yang baik macam dirimu. Sedangkan aku? Aku hanya punya hyung yang tak sengaja di dapati ibuku dari pasar loak." Winwin merengut sebal.
Taeyong terkekeh, manisnya. "Ada-ada saja."
Keduanya hening, hanya ada deru nafas menguap keluar bertarung dengan udara dingin.
Sudah biasa Taeyong pulang jalan kaki bersama Winwin, karena rumahnya satu arah.
"Tae," Winwin terlihat ragu, tercetak jelas dari bagaimana ia memandang, "uhm... soal itu."
Alis tertaut, "soal apa?"
Winwin menggigit bibir bawahnya, ia ingin mengatakan sesuatu yang mungkin akan sangat sulit untuk mengungkapkan.
"Itu..."
Lama Taeyong berfikir, hingga kemudian ia paham apa maksud pembicaraan Winwin.
"Oh, soal itu. Jika kau belum siap tidak apa-apa, aku tidak memaksamu."
"T-tapi..."
"Winwin, kau tau kan jika kau mengambil keputusan, maka kau juga harus menerima kenyataan sewaktu-waktu," Taeyong menghela nafas, "bahwa aku bisa mengetahui kapan kematianmu datang."
Winwin refleks menelan saliva lambat, "b-b-baiklah."
"Jangan sampai kelepasan memegangku atau aku akan melihat bagaimana kau meninggalkan dunia ini nanti."
"Ih, baiklah-baiklah, dasar cerewet!" Winwin menggembungkan pipi, sorot mata kemudian teralih pada sebuah restoran makanan cepat saji, "Taeyong.."
"Apa?"
"Aku lapar," Winwin meringis, memegang perutnya.
"Hm, cepat beli makanan sana."
"Kau tidak ikut?"
"Tidak, aku menunggu di sini saja. Kau mau ke restoran itu kan?"
"Iya, kalau begitu tunggu di sini ya. 10 menit!"
Winwin segera berlari, menembus rintik-rintik guyuran salju yang begitu dingin, meninggalkan Taeyong yang berdiri di bawah pohon sakura, tepatnya di pinggir jalan.
Lelaki Lee itu menghela nafas, sesekali melihat lalu lalang kendaraan.
Cuaca begitu dingin, hingga membuat Taeyong harus memakai jaket tebal dan syal bulat yang melilit kepalanya. Si mungil sesekali menginjak salju di kakinya, menendangnya kemudian dengan bosan.
Ah, ngomong-ngomong kalian pasti bertanya-tanya sekarang, apa menjadi seorang Lee Taeyong itu menyenangkan?
Jawabannya adalah, tidak.
Mempunyai kekuatan aneh sejak ia lahir, dapat melihat gambaran abstrak bagaimana orang itu mati hanya dengan menyentuhnya?
Terdengar tak masuk akal, tapi itulah faktanya.
Lee Taeyong lahir ditengah-tengah jutaan manusia normal, eksistensi satu banding seribu. Dia berbeda, tak sama dengan orang lain.
Kedua orang tuanya meninggal, sejak Taeyong masih berusia sepuluh tahun, saat itu Lee Jeno-adiknya, masih berusia tujuh tahun.
ESTÁS LEYENDO
168' hours, with Jaehyun | Jaeyong ✓
Fanfiction[PART LENGKAP] "Biarkan aku menghabiskan 168 jam terakhirku, denganmu. Sebelum aku benar-benar pergi." ©shnaxxya, 2020.
168' with Jaehyun
Comenzar desde el principio
