ᴮᵃᵍⁱᵃⁿ ˢᵉᵐᵇⁱˡᵃⁿ ᵇᵉˡᵃˢ

20 6 0
                                    

   
Aku mengerutkan dahiku heran. Kenapa mendadak Dokter Ke mengubah jadwalku? Padahal aku seharusnya konseling pukul 9 malam. Kenapa mendadak diubah jadi pukul 10 pagi? Mana lokasinya di resotoran mahal lagi dan yang lebih penting lagi, aku harus kerja jam segitu. Sebenarnya aku bisa saja ambil cuti. Toh, hari ini Agustus tidak ada jadwal penting.
      
“Ada apa?” suara Gio muncul dari ponselku.
      
“Aku akan cuti hari ini,” kataku to the poin.
      
Ada jeda beberapa detik sebelum Gio kembali bersuara. “Baiklah, kamu boleh cuti. Tapi ingat, besok kamu harus masuk tepat waktu karena Agustus ada jadwal pemotretan.” Gio memberi izin.
      
“Baiklah.”
      
Setelah menutup telepon dari Gio, aku segera bergegas menuju restoran tempat aku dan Dokter Ke akan bertemu. Entahlah, aku punya firasat buruk tentang ini.

***
      

Aku turun dari bus. Restorannya cukup jauh dari pemberhentian bus. Jadi, aku harus berjalan setidaknya selama 15 menit. Untungnya sekarang masih pagi, jadi aku tidak sampai keringatan karena matahari yang bersinar begitu terang.
     
“Selamat datang, apa Anda sudah memesan meja sebelumnya, Nyonya?” tanya seorang resepsionis yang mengenakan pakaian hitam. Selintas, tampilannya mirip seperti pramugari yang cantik dan anggun dan tentunya berbeda denganku yang hanya memakai kaos dan celana jeans.
      
“Ya, atas nama Keana,” jawabku sama sekali tidak terganggu dengan orang-orang yang melihatku dengan tatapan aneh karena sepertinya aku memakai baju yang salah. Ya, siapa yang peduli. Negara ini menjunung tinggi kebebasan berekspresi. Jadi tidak masalah jika aku memakai sesuatu yang beda, bukan?
      
“Baiklah, silakan menuju meja 14 di sebelah sana, Nyonya.”
      
Aku mengangguk lalu segera berjalan menuju arah yan tadi telah ditunjuk resepsionis itu.
       
“Oh, kamu sudah datang, Feb?” sambut Dokter Ke yang sedikit terkjut melihatku tiba-tiba duduk di hadapannya. “Aku pikir kamu akan terlambat.”
      
“Aku ambil cuti hari ini.”
      
“Baguslah. Kamu sudah bekerja dengan keras. Kamu perlu waktu libur untuk beristirahat,” komentar Dokter Ke.
      
“Kenapa Anda tiba-tiba mengubah jadwal saya dan melaksanakan konseling nya di tempat umum seperti ini? Anda tahu saya tidak suka privasi saya terganggu,” protes ku yang tentu saja tidak setuju dengan tindakan Dokter Ke kali ini.
      
“Tenanglah, Feb. Tidak ada yang akan mengusik privasimu. Hari ini kita hanya mengobrol ringan dan saling bertukar pendapat. Kita akan mulai setelah satu orang lagi datang.”
      
“Eh.” Aku baru sadar jika di meja ini ada tiga buah kursi. “Siapa?”
      
Saat Dokter Ke ingin menjawab pertanyaanku, seorang pria yang menggunakan pakaian casual duduk di sampingku. “Maaf aku terlambat,” katanya.
      
Dokter Ke tersenyum melihat kehadiran pria itu. “Selamat datang, Agustus.”
      
Aku membelalakkan mata saat mengetahui siapa pria yang duduk di sampingku.
      
“Apa yang kamu lakukan di sini?”tanya kami berdua serempak.

***
      

Agustus terbangun dari tidurnya saat seseorang menelponnya.
      
“Halo, ada perlu apa?” tanyanya dengan suara serak khas orang bangun tidur.
      
“Selamat pagi, Agustus. Apa kamu baru bangun?” suara lembut dan bersemangat seorang wanita yang sangat Agustus kenal suaranya itu muncul.
      
“Ada apa Anda menelpon saya, Dokter Ke?” tanya Agustus.
      
“Mari bertemu hari ini di restoran tempat dulu kita sering pergi jam 10,” ajak Dokter Ke yang sebenarnya lebih terdengar seperti perintah dengan cara yang sangat halus.
      
“Tapi ….” Agsutus terdengar ragu.
      
“Ada apa? Kamu sibuk hari ini, Gus?” tanya Dokter Ke.
      
“Tidak.” Agustus membantah. “Aku hari ini tidak ada jadwal penting. Aku bisa menyuruh Gio membatalkannya.”
      
“Jadi apa masalahnya, Gus?”
      
“Bukankah aku bukan pasienmu lagi, Dokter Ke?”
       
Ada jeda sejenak. “Sudah kubilang sejak dulu kamu bukan pasienku dan aku bukan doktermu, Gus. Kita berteman. Jadi, kali ini mari bertemu sebagai teman.”
      
Agustus berpikir sejenak. “Baiklah, Dokter.”

***
      

Senyum Dokter Ke merekah lebah saat melihat reaksi kami berdua yang sangat terkejut. “Walaupun aku tahu kalian saling mengenal, aku tidak tahu kalian sedekat ini,” ucapnya dengan nada manis.
      
Aku memutar mata malas. Berusaha tetap santai walaupun diriku yang sebenarnya sudah terungkap oleh Agustus. Seorang perempuan galak yang mengunjungi psikolog. Entah apa yang ia pikirkan tentangku.
      
“Jangan khawatir.” Dokter Ke berusaha membuat kami tenang karena kami terlihat sangat tegang. “Seperti yang kukatakan, kita hanya mengobrol santai saja sebagai teman, bukan pasien atau dokter,” sambungnya.
      
“Apa kalian sudah menunggu lama?” tanya Agustus yang sepertinya sudah tidak terlalu tegang lagi.
      
“Tidak, jangan khawatir.”
      
“Apa yang ingin Anda bicarakan, Dokter?” kali ini, aku yang angkat bicara. Entah kenapa tiba-tiba rstoran besar ini menjadi sangat panas.
      
“Aku ingin bicara soal kejadian 31 Desember.”
      
Aku langsung menatap Dokter Ke datar. “Maaf, Dokter. Tapi kata Anda kita hanya mengobrol ringan saja,” protesku. Ya, tentu saja kejadian 31 Desember sama sekali bukan hal sepele bagiku.
      
Dokter Ke tersenyum.

“Tampaknya kamu masih menganggap kejadian itu sebagai sebuah kutukan, Feb.” Pandangan Dokter Ke kini beralih ke Agustus yang tampak sedang mengatur napasnya. “Bagaimana denganmu, Gus?”
      
“Saya pikir kita seharusnya membahas hal lain saja, Dok.” Agustus juga tidak setuju.
      
Dokter Ke mangangguk. Entahlah, aku tidak paham kenapa dia begitu.

“Kamu harus mengubah cara pikirmu. Sekarang, coba ambil sudut pandang semesta yang menyayangi setiap makhluk-Nya, bukan dari sudut pandang seorang yang selamat dari kecelakaan maut namun kehilangan seseorang yang berharga.”
      
Kami berdua hanya terdiam. Sekuat apapun aku berpikir dari sudut pandang lain, yang bisa kubayangkan sama. Seorang anak laki-laki yang berlumuran darah sedang memelukku dari belakang.
      
“Apa bintang-bintang yang kalian lihat itu indah?” tanya Dokter Ke memecah keheningan.
      
Kami mengangguk.
      
“Sekarang coba puji keindahannya, bukan merindukan kehadirannya. Karena terkadang, ada sesuatu yang dicipakan hanya untuk dipandang, bukan untuk digenggam.”

𝔸𝕝𝕝 𝕀 ℂ𝕒𝕟 𝕊𝕖𝕖 𝕀𝕥'𝕤 𝕐𝕠𝕦Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang